Chereads / Pulau yang Hilang / Chapter 6 - Candra

Chapter 6 - Candra

"Hei bangunlah!" Kata seorang lelaki dengan suara pelan.

Beno terbangun, dan ia sangat terkejut, saat ia tahu bahwa dirinya berada di dalam kurungan yang terbuat dari besi. Kurungan itu seperti sangkar burung. Tergantung. Banyak orang-orang yang senasib dengannya.

Pria yang tadi membangunkannya berada di sampingnya. Beno bertanya kepadanya, "Hei dimana aku?"

Pria itu melihat sekelilingnya, berharap tak ada yang melihat mereka berbicara.

"Kita ada di penjara" Sahut pria itu.

"Perkenalkan, namaku Candra. Kamu salah satu dari Para Pengawas itu, kan?" Tambah pria itu.

"Hei! Jaga ucapanmu ya! Aku bukan Para Pengawas itu, siapa mereka saja aku tidak tahu!" Timpal Beno kesal pada Pria bernama Candra itu.

Pria itu kembali melihat ke kanan, kiri, juga sekelilingnya dan berkata, "Jangan keras-keras!"

Keheningan tercipta disana. Tak ada suara. Behitu juga dari mulut bawel Candra ataupun Beno.

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu bisa disini?" Tanya Beno yang kemudian memcah keheningan antara mereka berdua.

"Aku tertangkap basah sedang mencuri kala itu," Jawab Candra tanpa melirik ke arah Beno.

"Apa? Pria itu pencuri? Pantaslah pria itu di penjara. Tapi mengapa Aku di penjara? Ini semua gara-gara gadis itu! Dia yang membuatku masuk ke dalam sangkar jelek ini" Gerutunya dalam hati.

"Aku ingin berbicara banyak kepadamu. Tapi para penjaga untuk kali ini selalu mengawasi kita. Nanti saat makan siang, kita akan dikeluarkan dari kandang busuk ini," Jelas Candra namun kali ini ia menatap mata Beno lekat.

Candra adalah pria bertato di bagian lengan dan tengkuknya, bermata sipit, berkulit putih. Tampan rupanya. Badannya, sepertinya ia cukup kuat.

Bel di penjara itu berbunyi. Menandakan sudah masuk waktu makan siang. Setiap sel atau yang disebut kandang busuk itu oleh Candra diturunkan hingga menapak di tanah lalu dibuka kuncinya secara otomatis. Mereka yang berada di dalam sel keluar. Diiring oleh beberapa penjaga dari belakang menuju ke ruang makan. Ruang makan berada di bagian paling depan penjara itu. Di seberangnya ada tempat ibadah. Dua tempat itu terpisah oleh jalan untuk keluar-masuk penjara baik orang ataupun kendaraan.

Beno berjalan di barisan paling depan, ia berjalan sendiri mengikuti penjaga di depannya dan diikuti banyak barisan di belakangnya. Pandangannya terbutakan oleh pikiran-pikiran tentang beberapa hari lalu. Saat sedang berjalan menuju ruang makan sambil pikiran yang berkelana, Candra tiba-tiba mendekat kepada Beno.

"Hai!" Sapa Candra.

Pikirannya terbuyar seketika. Beno terkejut dan hanya menatap Candra lesu, ia tak menjawab sapaan Candra. Lalu mereka berjalan bersama menuju ruang makan.

Masuk ke ruang makan. Tempat itu begitu luas, seperti aula. Banyak tempat duduk, meja memanjang sekitar 4 meter, kursi yang memanjang pula di kedua sisi meja itu. Bukan hanya satu set tempat duduk itu, melainkan ada banyak, kira-kira 10 set meja dan kursi. Meski itu tak terisi penuh oleh para tahanan, tapi diisi juga oleh beberapa penjaga yang ikut makan bersama. Ada juga meja panjang di bagian depan tempat itu. Meja ini lebih panjang dari meja tempat makan tadi, meja ini memanjang selebar bangunan itu. Banyak makanan tersaji di meja tersebut. Nah, nanti semua orang akan mengantri di depan meja panjang itu untuk mendapat jatahnya. Beno berdiri mengantri di belakang Candra.

Setelah mengambil jatah masing-masing, mereka duduk di kursi yang telah disediakan. Beno dan Candra duduk saling berhadapan. Beno dengan lahap memakan semua yang makanan yang ada di hadapannya. Lezat sekali memang. Sudah dari kemarin ia belum makan. Hanya makan nasi basah yang rasanya aneh. Ditambah ikan bakar hangus yang rasanya lebih aneh.

Candra memulai sebuah pembicaraan, "Kamu anak yang berasal dari Para Pengawas itu kan? ".

Beno hanya menggelengkan kepalanya. Karena mulutnya penuh dengan nasi dan lauk. Beno menelan perlahan apa yang memenuhi mulutnya, sebelum akhirnya ia pun menyanggah ucapan Candra, "Sudah kubilang berapa kali, aku bukan bagian dari Para Pengawas itu!"

"Tapi kamu dari kawasan itu kan?" Tanya candra lagi dengn lebih mendekatkan wajahnya pada wajah Beno. Beno menyuapkan sesendok nasi dan lauk ke dalam mulutnya lagi.

Beno dengan mulut penuhnya merasa kesal pada semua pertanyaan Candra. Ia tak ragu menyembur Candra yang wajahnya masih berjarak 20 cm dari wajah Beno.

"Bhu..kan,"Semburan itu diikuti jawaban atas pertanyaan menyebalkan Candra tadi.

Sontak saja hal itu membuat Candra kembali memundurkan wajahnya ke posisi yang asalnya agak condong kini sudah tegak kembali.

"Jorok sekali kamu!" Protes Candra sembari mengelap wajahnya dengan kain penutup meja disana.

Beno tertawa geii melihat Candra yaang baru saja disemburnya. Namun, Candra tak terlalu mempermasalahkan itu. Ia kembali memulai percakapan dengan Beno,"Ben, aku tahu ada seseorang yang punya masalah sepertimu, dia juga sama dituduh sebagai salah satu bagian dari Para Pengawas itu,"

"Lalu dimana dia sekarang?" Tanya Beno antusias.

"Ia selalu duduk di pojokan sana" Timpal Candra sambil mengarahkan pandangannya ke salah satu tempat duduk di pojokan.

Disana memang hanya ada seorang saja. Ia duduk sendiri. Bagaikan tak punya teman. Tatapannya tajam. Berkulit sawo matang. Badannya tegap. Seperti Tentara, macam ayahnya Beno.

Bel berbunyi lagi. Tanda waktu makan siang telah usai. Jam dinding kuno besar di bagian depan menunjukkan pukul 12.00. Mereka pun diantar menuju selnya kembali. Pintu sel terkunci dan kembali naik 75 centimeter dari tanah secara otomatis.

Sel nya berbentuk persegi, kira-kira berukuran 1,5 m x 1,5 m. Terdapat satu tempat tidur lengkap dengan bantal dan selimut. Tampak nyaman sepertinya. Ada juga satu buah closet duduk disana ditambah wastafel berwarna putih bersih lengkap dengan sikat dan pasta gigi disampingnya.

Masuk kembali ke kandang tergantung itu, membuat Beno bosan, apalagi dengan Candra yang telah berbulan-bulan disana.

Satu minggu berlalu, Beno dan Candra telah menjadi kawan baik. Mereka selalu bersama saat waktu-waktu tertentu. Berbicara banyak hal.

Hingga sampailah pada saat makan siang. Mereka pergi bersama ke ruang makan. Mendapat jatah. Dan duduk untuk makan.

" Aku bosan disini. Aku mau pulang", kata Beno kepada Candra.

" Apalagi aku, sudah berbulan-bulan disini", tegas Candra.

" Katanya kamu dari luar juga, kenapa bisa sampai disini? ", tanya Beno.

"Dulu disini adalah sebuah kampung, tapi semenjak para penguasa datang. Mereka membunuh semua penduduknya. Semua mati terbunuh. Aku salah satu dari penduduk itu. Namun waktu itu, aku sedang pergi ke nenekku di seberang pulau selama satu bulan. Jadi aku tak ikut terbunuh. Namun saat aku pulang, aku melihat sudah ada dinding gerbang itu. Dan saat itu masih terbuka, tak pernah tertutup. Saat aku mencoba masuk, ada salah satu penguasa berjaga disana. Aku bersembunyi. Saat penguasa itu telah pergi. Aku mencoba masuk, melewati labirin itu. Namun aku tersesat. Dan ada dua ekor sapi. Tapi saat aku hendak menyentuhnya, ada wanita yang menarikku, lalu membawaku ke desa ini. Di desa ini, kutemukan ayah dan ibuku. Tapi mereka tak pernah mengingatku. Otak mereka telah terkunci, seperti mayat. Namun, para penguasa menghidupkannya kembali dengan sebuah cairan. Dan mereka kembali hidup tapi hanya untuk mengikuti perintah, begitu pula dengan semua penduduk yang waktu itu ikut terbunuh. Aku masih manusia asli. Tapi yang lainnya manusia jadi-jadian kecuali Kepala desa dan wanita itu",jelas Candra.

"Saat aku masuk, yang aku alami pun sama denganmu, tentang sapi dan wanita itu", kata Beno.

" Pasti sama. Sapi itu bukan manusia melainkan sejenis robot ciptaan si penguasa. Tapi wanita itu, dia adalah warga disini yang melindungi orang baru datang meski dari dunia luar. Ia masih manusia asli. Dia Elia, sahabatku. Ia tak mau ada orang yang menyentuh sapi itu. Karena yang menyentuhnya akan berubah jadi manusia jadi-jadian itu", jelas Candra yang kemudian menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya, tapi tak berhenti disitu, ia kembali melanjutkan ucapannya, Sapi itu akan menyemprotkan sebuah gas pada orang yang menyentuhnya, dan. Boom..". Nasi yang memenuhi mulutnya ikut muncrat keluar saat mengucapkan kata boom. Gelak tawa dari mulut Beno keluar tak tertahankan.

Sudah, makanya kalau lagi makan, gak usah banyak omong, ujar Beno yang masih tak bisa menghentikan tawanya.

Setelah itu, Candra dan Beno melanjutkan makan siang mereka tanpa berbincang lagi. Meski banyak yang ingin Candra katakan.

Saat makanan di piring Beno sudah tak bersisa, ada satu hal yang ingin ia tanyakan pada Candra. Lantas ia pun mengutarakannya, "Jika Elia itu sahabatmu, kenapa dia tetap memasukkanmu ke dalam penjara. Jahat sekali dia sebagai seorang sahabat!".

"Kalau soal itu, entahlah, tapi mungkin karena situasi saat itu sangat kacau, jadi ayahnya akan berbuat demikian pada siapapun termasuk padaku", jawab Candra.

Beno hanya mengangguk pelan, mengiyakan jawaban Candra. "Aku heran, sebenarnya apa sih tujuan penguasa itu mengurung desa ini? Apa ada masalah sebelumnya?"

"Entahlah, saat aku masuk kemari, aku coba bertanya pada Elia, tapi ia juga sama tak tahu tentang hal ini"

"Apa kamu gak tanya sama ayahnya?", tanya Beno.

"Udah aku coba, tapi lagi-lagi jawaban yang sama yang aku dapat, alasan pengurungan desa ini tuh masih jadi misteri disini. Si penguasa tak pernah memberi tahu apa alasannya pada kepala desa"

"Kamu tau siapa si penguasa itu?"

Candra mengangkat kedua bahunya lalu berkata, "Aku gak tahu Ben, tapi saat Elia bercerita padaku, waktu itu desa ini sudah dikurung, dia pergi ke pasar, dia bertemu seorang pria gagah berjas rapi dan berjalan seperti manusia biasa bahkan ia mengejar Elia, padahal waktu itu tak ada manusia murni selain Elia dan Ayahnya"

Penjelasan demi penjelasan membuat otak Beno penuh dengan pertanyaan, "Lalu para penjaga itu? Waktu belum ada?"

"Sepertinya belum ada, penjaga-penjaga itu sebenarnya orang kiriman si penguasa, si penguasa sengaja mengirimnya kemari, tapi lagi-lagi kita tidak pernah tahu apa tujuan si penguasa itu"

"Dan.. Elia melihat wajah pria itu sangat mirip dengan si penyusup itu" Lanjut Candra sembari memandang sinis ke arah pojokan tempat si penyusup terduduk tenang.

Tak terasa waktu makan siang pun habis. Mereka melanjutkan aktifitas mereka kembali. Yang muslim beribadah. Dan yang non-muslim kembali ke selnya masing-masing