Pusing hingga akhirnya pingsan tak sadarkan diri. Itulah yang dirasakan Beno.
"Aww, apa ini? ", teriak beno sembari menyingkirkan kepiting kecil yang baru saja mencubit hidung Beno.
Seketika itu, Beno terbangun dari hamparan pasir putih yang selama satu minggu ini menjadi alas baginya terlelap. Ia duduk lalu menyandarkan dirinya di bawah pohon kelapa tak berbuah namun cukup rindang dna membuatnya nyaman.
Kepalanya masih terasa pusing, mungkin karena terbawa arus pusaran air dahsyat itu. "Dimana aku ini?" Tanyanya pada diri sendiri sambil memijat lembut kepalanya.
Ia kini berada di pantai tak berpenghuni. Ia tak tahu kini ia berada. Ia hendak mencoba menyalakan ponselnya yang selama ini tersimpan di saku jaket pemberian Ayahanya. Namun, beberapa kali ia mencoba, itu percuma saja. Ponsel kesayangannya itu mati, terkena air saat terjebak dalam pusaran.
Tapi sebentar, ia kan tadi pergi bersama Indra.
"Dimana Indra?"
Ia mencoba berjalan mencari Indra dari ujung pantai hingga ke ujung lain. Tapi tak pernah ia temukan pria berkulit sawo matang itu. Bukannya menemukan Indra, Beno malah menemukan alat pancing yang tadi ia bawa dan juga sebungkus nasi basah disana. Ditambah lempengan kayu yang terbelah dari perahu mereka yang hancur.
Ia mengangkut semua benda itu dengan kedua tangannya. Lalu kembali duduk di bawah pohon kelapa. Udara sejuk mulai berhembus, tubuh Beno yang terguyur air lautan mulai merasa kedinginan. Perutnya keroncongan tak tertahankan. Tapi ia tak punya apa-apa.
Air laut sedang surut kala itu. Untuk menahan rasa laparnya, ia memutuskan untuk menangkap ikan dengan sisa alat pancing yang ia temukan. Lautan sudah jadi dunianya sejak kecil, menangkap ikan saat pasang surut tentu saja hal mudah bagi Beno. Baru sekejap saja ia menceburkan dirinya kedalam air laut, dua ekor ikan sudah diraih tangannya.
Segera ia tumpuk sisa-sisa kayu dari perahu Indra untuk dijadikan bahan bakar. Tapi, ia tak punya korek api atau pemantik api untuk memasak ikan itu.
Namun ia tak kehabisan akal, otaknya terus diotak-atik, diputar balik, hingga akhirnya ia menemukan sebuah cara untuk mendapatkan api yang ia sangat butuhkan kini.
Pertama, ia keluarkan ponsel mati miliknya. Ia bongkar isi ponsel yang sudah tak bisa dipakai lagi itu. Ia jemur semua itu sekitar 10 menit.
Tiba-tiba
Kruyuk.. kruyyyuukk
Perut Beno sudah meminta jatah makan hari ini. Karena sudah tak tahan lagi, terpaksa ia makan nasi basah yang ia bekal dari rumah.
Wlee!! Rasanya aneh, gak enak," Gerutunya setelah memuntahkan secuil nasi basah.
Tapi apalah daya, perutnya tak berhenti bersuara, meskipun rasanya sedikit aneh karena tercampur dengan air laut, ia terpaksa terus memakan nasi itu sedikit demi sedikit.
Sabar Beno, nanti kamu akan makan ikan bakar lezat," Gerutunya lagi.
Meski terus dipaksakan, tapi lidahnya tak menerima suapan nasi itu lagi. Sungguh memualkan.
10 menit berlalu, Beno mengambil isi ponsel yang tadi ia jemur di bawah terik matahari. Setelah ia bawa, ia taruh di dekat tumpukan kayu yang dia kumpulkan. Ia menyusun tumpukan kayu seperti akan membuat api unggun, ada sedikit celah dibawah tumpukan kayu itu. Beno menaruh baterai ponsel yang sudah ia jemur di bawah tumpukan itu.
Selepas itu, Beno mengeluarkan sebilah pisau kecil yang ia temukan dari balik jaket kesayangannya. Ia menutupi sebagian wajahnya dengan tangan sebelah kirinya. Dan tangan kanannya mencoba menusuk-nusuk baterai ponselnya dengan pisau itu dan.
Terciptalah percikan api yang cukup besar dari baterai ponsel itu. Perlahan api itu semakin membesar dan menjalar ke tumpukan kayu di atasnya.
Setelah api cukup besar, Beno menusuk dua ekor ikan dengan papan kayu yang ia potong sebelumnya. Ia pun menaruhnya di atas bara api yang cukup besar.
Sembari menunggu ikannya matang, Beno mencoba mencari orang sekitar, mungkin ada yang bisa membantunya pulang.
Ia berjalan, menyusuri hamparan pasir putih yang nampak indah dari kejauhan. Namun tak satupun manusia ia temui. Tak satupun kendaraan yang bisa ia pakai untuk pulang. Lantas ia pun bergegas kembali ke tempatnya semula membakar ikan, takut ikan miliknya malah gosong dilahap api.
Saat tengah berjalan menuju tempatnya semula, tiba-tiba kedua matanya mengamati rimbunnya pepohonan. Entah apa yang dilihatnya disana.
Padahal hanya sekumpulan pohon saja. Rasa penasaran menuntun langkahnya. Ia berjalan mendekati pepohonan itu. Tanpa diduga, matanya cukup jeli memperhatikan sekitar. Sebuah dinding besar terpampang namun terhalang semak-semak dan tanaman rambat dibalik rimbun pepohonan.
"Kenapa ada dinding di pantai ini? Membentang pula," Heran Beno setelah mengamati betapa panjangnya dinding dihadapannya kini. Ia semakin mendekati dinding tersebut. Mencoba membersihkan tanaman rambat yang menjulur dari atas dinding itu.
Sebuah relief terlukis diatasnya. Sangat indah.
Semacam sebuah simbol. Berbentuk huruf "M". Terbentuk seperti susunan puzzle yang hanya terdiri dari 8 buah batu. Namun hanya 5 buah batu yang menempel di dinding relief itu.
Ia mencari di sekitar dinding itu, di balik semak-semak, di belakang pohon besar. Dan akhirnya ia berhasil menemukan 3 batu yang ukurannya sesuai dan mungkin merupakan bagian dari dinding relief itu. Ia mencoba mengangkat dan menaruhnya di celah dinding relief yang belum tertempeli batu.
Seketika setelah semua batu tertempel, tiba-tiba bumi bergetar dalam hitungan detik, setelah itu bumi pun kembali terdiam. Namun kini, sinar terpancar dari celah celah dinding relief tadi. Beno menutupi matanya dengan lengan kekarnya menepis cahaya yang menusuk ke matanya. Setelah sinar itu hilang, ia menurunkan lengannya. Dan tiba-tiba dinding relief tadi terbelah menjadi dua seperti Gerbang besar yang terbuka.
Wow adalah sebuah kata yang tak henti-hentinya keluar dari mulut Beno. "Tempat apa ini?" Gumamnya.
Dengan hati-hati dan perlahan, Beno melangkahkan kakinya masuk ke dalam dinding itu.
Saat ia baru melangkahkan kakinya 2 langkah, ia teringat akan ikan yang sedang ia bakar tadi, jangan-jangan hangus karena kelamaan dalam api. Bergegas ia pergi ke tempat ia membakar dua ekor ikan hasil tangkapannya.
Dan benar saja, saat ia tiba di tempat pembakaran ikan, asap hitam sudah menggantikan bara api merah menyala di bawah ikannya. Ikannya bukan matang, melainkan hangus berwarna hitam pekat. Namun, karena penasaran, ia mencoba mencicipi ikan hangus itu.
"Wleeee!! Rasanya lebih aneh dari nasi basah tadi," Ungkapnya.
Gagal sudah rasanya ingin menetralkan nasi basah yang aneh dengan ikan bakar sedap. Kini ia tak bisa lagi mencicipi ikan bakar. Bahan bakar untuk membuat apinya pun sudah hangus tak bersisa. Sia-sia sudah dia korbankan baterai ponselnya untuk membakar ikan itu
"Ya sudahlah," Pasrahnya.
Ia pun kembali berlari menuju dinding berelief yang baru saja ia temukan. Setibanya disana, dinding itu sudah tertutup lagi.
"Lah? Kok dindingnya ilang?" Heran Beno.
Rasa heran kembali menghadiri benak Beno. Baru saja dinding itu terbuka, kenapa cepat sekali menghilang? Relief yang tadi ia lihat, kini tak bersisa disana. Padahal Beno benar-benar yakin, tadi ia melihatnya disana. Tapi tunggu!
Mata jeli Beno lagi-lagi melihat sesuatu diatas dinding itu. Sebuah tangan terbalik seperti tercetak diatas tanah liat. Beno mencoba mencocokkan tangan kanan miliknya disana. Dan lagi-lagi bumi bergoncang seperti tadi saat pertama terbuka.
"Aneh sekali, siapa yang merubah benda ini?" Heran Beno.