Marve terduduk lemas di atas sofa sambil memegangi kepalanya yang pening, hatinya hancur berkeping, mengapa Maya begitu tega padanya, memang semua salahnya, ia menyesali mengapa ia harus tertipu oleh Rara hingga membuat Maya salah paham tapi bahkan Maya tidak mau mendengarkan penjelasaanya semalam, mungkin memang Maya tengah mencari-cari kesalahannya agar bisa kembali dengan Andre, cinta pertamanya.
Air matanya menetes dan nafasnya sesak membayangkan jika Maya telah menyerahkan hatinya pada Andre, apakah cinta yang diberikan olehnya kurang? Apakah ia kurang memperhatikan Maya, kurang menyayanginya, selain semua kesalah pahaman dengan Rara, tidak ada hal buruk yang ia lakukan pada Maya.. Ia mencintainya dengan sepenuh hati, setiap detik yang dilaluinya bersama Maya adalah sebuah anugrah baginya, tapi mengapa.. Maya,, mengapa kamu begitu tega padaku?.
Sementara itu Dewi yang sejak tadi menyaksikan pertengkaran Maya dan Marve mencoba mengejar Maya yang kini berjalan cepat dan hampir menggapai pintu gerbang.
Maya menoleh saat seseorang menarik lengannya, ia berharap itu adalah Marve,, Ia akan menceritakan semuanya pada Marve sejelas-jelasnya agar Marve mengerti tapi ternyata itu adalah Dewi, wanita tua itu menangis dan mencengkram lengannya erat.
"Nyonya.. tolong jangan seperti ini, tuan sedang dalam keadaan emosi.. mari kita bicarakan ini baik-baik nyonya." Dewi menangis, ia memohon agar Maya mau mendengarkannya dan ikut kembali memasuki rumahnya.
"Marve bahkan tidak mengejarku bu,, dia sudah tidak mencintaiku." Maya kembali menangis.
Dewi menggeleng tanda tidak setuju dengan ucapan Maya. "Tuan sangat mencintaimu Nyonya,, hanya kamu, tidak ada wanita lain dalam hatinya.. Jangan sampai kesalahpahaman menghancurkan pernikahan kalian Nyonya." Dewi mencoba meyakinkan Maya tapi Maya malah melepaskan tangannya dengan lembut.
"Dia yang menginginkannya seperti itu, dimatanya aku adalah wanita jalang.. Aku mencintainya tapi dia menghancurkan hatiku, setelah apa yang ia lakukan kepadaku, dia masih dapat meneriaki ku dan menuduhku berselingkuh. Aku.. hanya tidak mampu bertahan, pernikahan kami sudah tidak dapat diselamatkan lagi." Ucap Maya, suaranya terdengar tenang meskipun air matanya terus mengalir.
"Terima kasih atas semua kebaikanmu bu,, selamat tinggal."
Maya sama sekali tidak menggubris panggilan Dewi, ia melangkah tanpa menoleh sedikitpun.
Aku melangkah masuk kerumah ini dengan air mata bersamaku,, dan aku juga keluar dari rumah ini dengan air mata mengikutiku,,
Hari ini akan selalu aku ingat,
Marve dengarlah..
Maya menoleh sejenak, saat pintu gerbang perlahan tertutup dan sosok Marve telah berdiri menatapnya penuh kebencian dibalik gerbang.
"Jika kita bertemu lagi.. Maka aku akan menghancurkan harga dirimu." Maya bergumam penuh keyakinan sebelum akhirnya berjalan meninggalkan kediaman Marve.
Beberapa saat berlalu, Marve menyeka air matanya, tidak seharusnya ia berkata sekasar itu pada Maya, Ia terbakar api semburu hingga membuatnya gelap mata dan melontarkan kata-kata menyakitkan itu, tidak seharusnya ia meragukan Maya, mungkin saja ada sesuatu yang belum diketahuinya tentang latar belakang keluarga Maya, harusnya ia mendengarkan Maya.
Marve bodoh...
Marve segera berlari dengan cepat tanpa memperdulikan apapun, ia membuka gerbang dengan kasar dan berlari dengan rasa penyesalan yang menyelimutinya.
Tapi perlahan langkah Marve terhenti saat melihat Maya berdiri dengan Andre yang telah membukakan pintu mobil untunya.
"Jangan naik... aku mohon.. jangan ikut dengannya." Marve berteriak dalam hati, berharap jika masih ada kesempatan untuk mereka memperbaiki pernikahan mereka tapi yang terjadi Maya memasuki mobil itu.
Maya pergi bersama pria itu.. Marve,, ia benar-benar meninggalkanmu...
Maya meninggalkanmu demi pria lain..
Marve terjatuh lemas, ia menangis terisak, memukul aspal hingga tangannya terluka dan berdarah.
Mengapa.. Maya.. Aku mencintaimu dengan sepenuh hati, aku mencintaimu demi seluruh jiwa dan ragaku..
Mengapa kamu mengkhianatiku Maya?
"Maya.. aku tidak akan melepaskanmu.. jika kelak kita bertemu lagi, aku akan membalas semua rasa sakit hatiku saat ini." Marve menatap lekat laju mobil yang dinaiki oleh Maya dan andre yang perlahan menjauh dan menghilang dari pandangannya, ia masih menangis memukuli dadanya yang begitu terluka dan sesak.
...
Maya menatap jalanan yang tidak akan ia laluinya lagi, matanya memerah, wajahnya pucat dan kepalanya terasa pening.
"Apa yang terjadi?" Andre bertanya dengan lembut dan menyentuh tangan Maya hangat.
Maya segera menarik tangannya. "Jangan menyentuhku.. aku wanita yang telah menikah." Ucap Maya dengan nada dingin, ia memalingkan wajahnya dan air mata kembali mengalir membasahi pipinya.
Andre terdiam, ia tidak berani bertanya lagi karena kedinginan sikap Maya seakan membentuk tembok yang tidak dapat dipanjatnya.
Andre kemudian membawa Maya menemui pamannya, Raden. Tanpa berkata apapun atau menjelaskan situasi yang terjadi padanya, Maya menyelonong masuk menerobos kamar hotel Raden.
Raden meminta Andre untuk pulang karena Maya terlihat sangat terguncang saat ini, dengan perlahan ia berjalan mendekati Maya dan duduk disebelahnya. Raden menepuk lembut punggung Maya dan bertanya, "Semua baik-baik saja?"
"Aku rasa tidak.. semua yang terjadi dalam hidupku hanya membawaku pada rasa sakit." Jawab Maya pelan, air mata menter dari pelupuk matanya meskipun ia terlihat diam dan menatap kosong.
Raden tidak berani bertanya saat Maya seakan menutup dirinya dengan rapat, ia mengerti kenyataan tentang orangtua Maya pasti membuat Maya sangat terpukul, ia bahkan merasakan hal yang sama tapi kali ini, sorot mata Maya yang kosong memperlihatkan jika ia telah kehilangan segalanya.
"Apa hubunganmu dengan suamimu tidak berjalan lancar nak?" Akhirnya Raden bertanya, Maya mengangkat kepalanya.
"Paman.. apa kamu bisa mempercepat kasus ini? Aku sudah tidak sabar lagi menanti kehancuran Kania." Maya menjawab tapi bukan jawaban atas pertanyaan yang Raden lontarkan padanya, hanya dengan satu tarikan nafas, Raden dapat mengerti jika hubungan keponakannya dengan suaminya sedang dalam keadaan tidak baik saat ini.
"Paman akan berusaha sekuat tenaga, agar Kania segera mendapatkan balasannya tapi.. Maya." Raden menyentuh tangan Maya lembut, "Tidak apa, paman adalah satu-satunya yang kamu miliki, kapanpun kamu siap menceritakan apa yang terjadi pda pernikahamu.. Paman akan mendengarkannya dan membantumu mencari jalan keluarnya."
"Tidak ada jalan keluar disaat aku telah keluar dari kisah kami. Aku dan suamiku telah berada diujung jalan yang tidak dapat kami lalui bersama lagi."
Raden merangkul Maya kini, ia mendekapnya hangat dan membiarkan Maya menangis sepuasnya.
Ditengan tangisnya yang perlahan menjadi tenang Maya akhirnya membuka suara kembali "Paman.. bawalah aku bersamamu, sampai waktunya tiba dan aku siap berdiri dengan tegak kembali.. Tetaplah bersamaku paman."
"Tentu saja.. Paman akan selalu ada untukmu Maya.." Raden tidak kuasa menahan tangisnya kini, ia mendekap Maya erat, mengapa keponakannya mengalami banyak sekali kemalangan dalam hidupnya membuat hatinya pilu sekaligus merasa sangat bersalah.
,,,,