Tiffany menggeliat dihangatnya tubuh Andre yang memeluknya di atas tempat tidurnya kini.
Meskipun Andre belum menyatakan cinta padanya tapi Tiffany sudah sangat yakin jika Andre juga mencintainya, mereka bahkan menghabiskan malam bersama dan bercinta penuh gairah.
Matanya tidak dapat terpejam kembali, ia merasa sangat beruntung telah mendapatkan Andre terlebih saat Andre mempererat pelukannya saat tubuh mereka hanya ditutupi oleh selimut tipis, hangatnya dekapan Andre terasa hingga menyentuh hatinya.
"Aku mencintaimu.."
Tiffany mengangkat kepalanya, semburat merah mempercerah wajah lemasnya saat mendengar Andre mengucapkan kalimat cinta, meskipun matanya terpejam tanda mengigau.
"Aku mencintaimu.." Senyuman merekah telah terukir kini di wajah Tiffany sampai senyuman itu kembali turun.
"Maya.. aku mencintaimu."
Air mata menetes seketika, Bagai angin di musim penghujan, badai itu datang menyapu hati Tiffany yang kini sudah hancur berantakan.
Andre mencintai wanita lain, bagaimana mungkin.. bagaimana bisa ia mendesah saat berada diatas tubuhnya dan bersikap seolah ialah wanita satu-satunya yang dicintainya.
Dengan tubuh bergetar, Tiffany melangkah goyah mengambil setiap pakaiannya yang berserakan di lantai sebelum memakainya dan akhirnya pergi meninggalkan Andre sendiri.
Hatinya hancur, ia tidak terima. Siapa Maya yang dimaksud oleh Andre hingga didalam mimpipun ia masih mengucapkan cintanya.
Ia tidak akan diam saja.. siapapun wanita itu, ia akan mencaritahu dan menghancurkannya.
...
Malam semakin larut dan Marve yang tiba-tiba terbangun akhirnya memutuskan untuk mengambil air minum karena merasa sedikit haus dan melihat gelasnya kosong jadi ia memutuskan untuk mengambilnya ke dapur, sebelum itu ia mengecup singkat kening Maya yang masih terlelap dengan nyamannya menyembunyikan tubuhnya dibalik selimut tebal.
Ia sedikit menyesal karena membuat Maya agak demam malam ini akibat hujan yang menerpa mereka.
Marve menuangkan air kegelasnya, ia sedikit kesal karena Rara masih belum juga pergi dari rumahnya, jika saja kesalah pahamannya dengan Maya telah selesai maka ia akan menyeret wanita itu segera setelah ia melihatnya.
Hanya saja ia tadi masih harus membujuk Maya dan mengikutinya jadi ia tidak memiliki waktu untuk mengurusi Rara.
Dengan mendesah kesal, Marve bergegas kembali ke kamarnya saat Rara datang menghampiri Marve tanpa diduga dan memeluknya dari belakang.
"Marven.. maafkan aku, aku mohon."
"Lepaskan aku sebelum aku melemparmu dsri sini." Marve mengeratkan giginya, suaranya terdengar dingin diselimuti amarah namun Rara terus mendekapnya erat maka dengan kasar ia melepaskan tangan Rara yang melingkar dipinggangnya.
"Aku sudah mengatakan padamu untuk menghilang dari pandanganku dan kamu masih tetap berada disini.. apa kamu ingin aku benar-benar menyingkirkanmu?" Marve mencengram kasar dagu Rara dan menatapnya tidak senang, hingga Rara akhirnya menangis.
"Kamu lupa jika kita pernah memiliki kisah indah.. aku menyesal meninggalkanmu, aku tahu jika cintamu pada Maya hanya sebuah pelarian, Marven jangan tutup matamu.. aku tahu hanya aku yang kamu cintai bukan."
Rara menangis dan memohon, ia bahkan mencengkram erat tangan Marve namun Marve menarik tangannya dengan cepat dan kasar. "Kamu salah.. kehadiran Maya justru membuatku sadar bahwa aku bahkan tidak pernah benar-menar jatuh cinta padamu." Ucap Marve memekik, ia sungguh tidak tahan dengan sikap Rara saat ini.
"Pergi dari rumahku sekarang juga." Akhirnya Marve melontarkan kalimat itu dan membuat Rara kalang kabut kini, ia kebingungan terlebih saat Marve mulai melangkah menjauh hingga akhirnya ia terjatuh pingsan.
Marve menoleh karena mendengar suara hentakan dan benar saja ia mendapati Rara telah terjatuh pingsan.
Ia melengos tidak perduli dan melangkah menuju kamarnya hingga sampai di anak tangga terakhir ia kembaki menoleh dan Rara masih tidak bergeming jadi itu artinya ia sungguh pingsan?
Dengan perasaan enggan akhirnya Marve kembali menuruni tangga lalu menggendong tubuh Rara dan membawanya kembali kekamarnya.
Ia meletakannya di atas tempat tidur lalu segera keluar dari kamar Rara, namun pada saat ia keluar Maya telah berdiri menunggu di depan pintu.
Menatap Marve dengan tatapan nanar nyaris menangis.
"Dek.." Lidah Marve menjadi keluh, ia terlalu terkejut hingga sulit berucap.
"Menyenangkan sekali dapat diam-diam memasuki kamar mantan kekasihmu dimalam hari bukan? Sekarang aku sudah mengerti dengan jelas." Maya berkata dengan nada datar, bibirnya sedikit menyunggingkan kekecewaan yang terpancar diwajahnya.
Ia lantas melangkah lebih dekat lagi dan menyentuh dada suaminya dengan telunjuknya "Alasan mengapa kamu tetap mempertahankannya dirumah ini." Lanjut Maya, matanya merah.. Amarah serta rasa kecewa menjalar kesrluruh tubuhnya sebelum Marve menjelaskan apapun dari bibirnya, Maya telah lebih dulu meninggalkannya.
Kini Maya hanya dapat menangis dibalik pintu kamarnya menghiraukan semua panggilan Marve yang menggetuk pintunya berkali-kali dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Maya.. mas mohon dengarkan mas sebentar." Marve terduduk lemas, suara tangisan Maya yang terisak terdengar menyakiti hatinya.
Mengapa ia begitu bodoh hingga harus melukai perasaan Maya lagi.
Maya sendiri hanya dapat menangis, ia sudah tidak sanggup lagi berkata karena membayangkan apa yang mungkin saja terjadi oleh dua orang dewasa dimalam hari di dalam kamar membuat Maya tidak habis pikir mengapa Marve begitu tega padanya.
"Sayang.. buka pintunya, mas dapat menjelaskan semuanya." Marve memohon, ia tidaj kuasa menahan tangisnya kemungkinan Maya benar-benar terluka kini membuat perasaannya hancur berkeping.
...
Pagi akhirnya tiba, kantung mata Marve telah menghitam, ia masih duduk di depan pintu kamarnya menunggu Maya keluar.
"Apa yang terjadi tuan?" Dewi segera berjalan mendekat dan membangunkan Marve yang duduk lemas dilantai, tepat disaat Maya membuka pintu kamarnya dengan mata sembab.
Sorot matanya terlihat redup dengan cepat Marve memeluknya dengan erat "Sayang.. mas dapat jelaskan semuanya." Marve berkata seraya mempererat pelukannya.
Maya menahan nafasnys, hatinya sangat sakit hingga ia merasa dadanya menjadi sesak.
"Lepaskan aku.. atau aku akan benar-benar meninggalkanmu." Ucap Maya dengan dinginnya.
Dewi membulatkan matanya semourna, ia begitu terkejut mendengar ucapan yang dilontarkan Maya pagi ini.
Dengan terpaksa, Marve melepaskan pelukannya dan menunggu Maya memandang wajahnya taoi Maya sangat enggan bahkan hanya untuk berbagi udara yang sama dengan Marve saat ini.
Ia kemudian melepaskan tangan Marve yang mencengram kedua lengannya sebelum akhirnya meninggalkan Marve tanpa mengucap sepatah katapun.
"Apa yang sebenarnya terjadi tuan?" Dewi bertanya dengan semua rasa oenasaran dihatinya tapi Marve tidak menjawab dan hanya terduduk lemas kembali di lantai.
Maya sebisa mungkin menahan tangisnya saat duduk memunggu di dalam taxi yang ditumpanginya, harusnya ini menjadi hari yang sangat dinantinya, saat Agung mengatakan jika Raden telah berada di Indonesia, harusnya ia pergi bersama dengan Marve sekaligus menceritakan semuanya namun keadaan rumit yang menimpanya membuatnya tidak dapat mengajak Marve bersamanya.
Maya mendesah, hatinya telah menjadi hitam kembali. Mengapa Marve begitu tega padanya hingga ia harus menahan semua rasa sakit ini.
Tapi ia tidak boleh melemah, dengan menarik nafas dalam Maya keluar menuruni mobil taxi yang ditumpanginya dan memasuki hotel tempat dimana ia bertemu janji bersama Agung dan juga Raden.
Ia memasang kaca matanya, mata bengkaknya tidak boleh terlihat oleh siapapun jadi ia menutupinya dengan kaca mata yang kini menggantung indah diwajahnya.
...