Maya melangkah pelan memasuki ruangan dimana Marve di rawat kini, matanya masih terperjam, tangannya terbalut perban begitu juga dengan kakinya kanan yang digips karena patah.
Tidak terasa air mata Maya kembali menetes saat ia semakin mendekati Marve.
"Dasar bodoh.." Ucapnya pelan begitu mendengar penjelasan Bisma tadi, Maya tidak akan pernah meragukan cinta Marve lagi padanya. Ia mempertaruhkan nyawanya hanya demi menepati janjinya pada Maya.
sampai saat ini Maya belum dapat memastikan apakah semua ini nyata atau hanya mimpi buruk.
Semua ini terlalu menakutkan hingga ia tidak mampu membedakan situasi saat ini.
"Jangan pernah bermain-main dengan keselamatan mu lagi, bahkan demi diriku sekalipun." Maya kembali menangis kini, ia menyentuh tangan Marve dengan perlahan dan hati-hati.
Tangannya terasa hangat membuat hatinya ikut menghangat, Marve telah kembali padanya.
"Terima kasih karena telah kembali padaku." Ucap Maya, ia terisak hingga ia tidak mampu mengatur nafasnya.
Perasaannya bercampur antara bahagia dan sedih.
Bahagia karena Marve telah kembali dengan selamat sekaligus sedih karena keadaan Marve tidak baik-baik saja saat ini.
Sehingga Maya hanya dapat menangis sambil memegangi tangan Marve erat.
"Maya..."
Herlyn perlahan memasuki ruangan dan mendekat pada Maya smabil membawa makanan untuknya.
"Makanlah... Bi Mina mengatakan kamu belum makan sejak kemarin."
Dengan mengatur nafasnya dan menyeka air matanya ia tersenyum "Terima kasih, tapi aku tidak lapar..."
Herlyn mengerti, jika ia berada di posisi Maya maka mungkin ia akan bersikap sama.
Ia lalu meletakan kotak makanan dan beberapa buah yang dibawanya di atas meja.
"Makanlah meskipun sedikit, jangan sampai kamu sakit saat Marven sadar nanti." Ucap Herlyn kembali sambil menyentuh bahu Maya lembut.
Maya mengangguk dan menyentuh tangan Herlyn "Terima kasih."
Herlyn menahan air matanya, ia tidak boleh ikut menangis di saat Maya terlihat sangat terpukul saat ini, itu hanya akan membuat Maya semakin lemah.
"Marven pria yang tangguh, ia pasti akan sembuh dengan cepat, jadi jangan lupa akan kesehatanmu sendiri." Ucap Herlyn tersenyum, ia sangat bahagia meskipun kondisi sepupunya saat ini tidak terlalu baik tapi setidaknya Marve telah kembali dengan selamat.
"Aku akan kembali menemani kakek, kondisi jantungnya menjadi sedikit tidak baik akibat syok."
Maya mengangguk dan tersenyum tipis "Aku akan menemui kakek nanti."
Herlyn tersenyum dan mengangguk, ia kemudian meninggalkan Maya sendirian bersama Marve yang masih tidak sadarkan diri.
Meya kini merapihkan rambut Marve yang sedikit berantakan, ia meraih kursi dan duduk di sebelah Marve.
"Mas.. cepatlah sadar, aku sangat mencintaimu." Bisik Maya sebelum perlahan ia mulai mengantuk dan akhirnya tertidur.
....
Sementara itu, Agung masih melamun di ruang kerjanya memikirkan akan kejadian tadi pagi yang sama sekali tidak dapat dipahaminya.
"Jika mereka masih hidup lantas siapa jasad yang saat itu ditemukan di rumah Hendra dan Rahayu?"
Agung menyandarkan tubuhnya, semuanya sangat membingungkan baginya sampai ia akhirnya mengingat ucapan Maya saat menemuinya di taman kemarin.
"Kania memalsukan kematian ku.."
Agung mengangkat kepalanya, mengapa ia tidak berpikir sampai kesana?
Kania mendapatkan semua harta Rahayu dan Hendra begitu Maya dan Arya dinyatakan meninggal dunia karena hanya Kania satu-satunya keluarga yang tersisa meskipun ia hanya adik angkat Rahayu tapi Rahayu memasukkan namanya kedalam kartu keluarga.
Jika semua ini benar adanya maka ia tidak dapat membiarkan Maya dan Arya berjalan sendiri dan kehilangan haknya.
Bagaimanapun orangtua Maya sudah sangat baik padanya dan Hendra adalah juniornya yang sudah seperti adik baginya.
Tapi saat ini Maya baru saja mendapatkan musibah, suaminya terkena bencana longsor jadi tidak mungkin ia menemuinya pada saat ini terlebih saat itu ia mengabaikannya begitu saja.
Kini ia merasa sangat bersalah, jadi bagaimana Maya dan Arya menjalankan hidup mereka selama enam tahun belakangan ini?
Mereka masih sangat muda saat itu, harusnya ia mendengarkan kata Andre saat itu mungkin kenyataan ini akan terbuka lebih cepat dan Kania tidak akan berkuasa.
Kania pasti tidak akan membiarkan Maya dan Arya merebut apa yang sudah dimilikinya selama enam tahun belakangan.
Dan Maya juga Arya tidak mungkin tiba-tiba muncul dan mengaku jika mereka masih hidup, mereka harus memiliki bukti yang kuat untuk melawan Kania.
"Aku akan mencari jalan bagaimanapun caranya, aku akan mengembalikan hak anak-anak kalian. Aku berjanji demi persahabatan kita." Ucap Agung sambil memandang sebuah bingkai foto dimana ia berdiri diantara Hendra dan Rahayu kedua orang tua Maya dan Arya saat masih nuda dulu.
...
Hari telah pagi, udara segar berhembus melewati jendela dan menyentuh lembut wajah Marve membuatnya perlahan membuka matanya, dilihatnya Maya tengah terlelap saat ini sambil memgangi tangannya.
Marve kemudian menggerakan jari-jarinya hingga perlahan Maya membuka matanya, saat sesuatu bergerak dipipinya.
Perlahan ia mengangkat kepalanya dan Marve telah tersenyum memandangnya.
"Selamat pagi istriku."
Ia membulatkan matanya sempurna karena begitu terkejut saat melihat Marve telah tersadar kini.
"Aduh tanganku pegal.. Kenapa kepalamu sangat berat?" Ucap Marve, ia mengibas-ngibaskan tangannya karena Maya yang menindih tangannya saat ia ketiduran.
"Kamu masih bisa bercanda disaat seperti ini mas?" Maya memukul pelan bahu Marve karena kesal.
Marve meringis kesakitan dengan cepat Maya menyesali perbuatannya karena memukul Marve tepat pada lukanya.
"Lihatlah istriku ini, sangat cantik menggunakan gaun itu, maafkan mas karena mengacaukan pesta pernikahan kita."
Maya hanya dapat menahan air matanya saat Marve bahkan meminta maaf padanya.
"Pesta pernikahan bukanlah hal penting bagiku. Kamulah mas, yang terpenting dalam pernikahan kita."
Senyum lembut terukir di wajah Marve, ia kemudian perlahan menyeka air mata Maya yang menetes.
"Jangan menangis lagi... Aku baik-baik saja dek."
"Keadaan seperti ini baik-baik saja katamu? berarti keadaanku saat ini bisa membuatku hidup seribu tahun begitu?" Oceh Maya mengomel, Marve sama sekali tidak terlihat baik-baik saja dan ia masih berusaha sok kuat.
"Mengapa kamu sangat pucat? bagaimana kamu bisa hidup seribu tahun dengan wajah pucat seperti itu? kamu sakit sayang?" Tanya Marve cemas.
Maya tertawa kikuk dan menggaruk tengkuknya "Aku hanya lapar..."
"Lapar?"
Maya mengangguk "Aku belum makan sejak terakhir kali kamu menelepon ku." Ucapnya, ia tidak pandai dalam hal berbohong jadi ia mengatakannya dengan sangat jujur.
Marve baru akan mengomel saat Dewi tiba-tiba saja datang membawa makanan juga baju ganti untuk Maya.
"Anda sudah sadar tuan.." Dewi segera menghampiri karena begitu senang, Marve tersenyum dan mengatakan jika ia sudah merasa lebih baik saat ini.
"Terima kasih telah menjaga istriku selama aku pergi."
Oh jadi yang menyuruh Dewi agar para pengawal mengikutinya adalah Marve.
Maya menatap kesal kini pada Marve.
"Saya membawa bubur ayam, makanlah selagi hangat nyonya, tuan."
Dewi segera meniapkan dua mangkuk bubur untuk Maya dan Marve.
Maya kemudian meraih satu mangkik dan meniumnya pelan sebelum menyodorkan sesuap bubur pada Marve.
"Buka mulut mu mas." Pinta Maya, Marve menggeleng tanda tidak mau.
"Kamu dulu makan baru mas makan..." Marve meraih sendok yang dipegang Maya dan kemudian menyuapi Maya.
Maya hanya dapat menyembunyikan rasa tersipunya bahkan disaat seperti ini Marve tetap memperhatikannya.
"Sekarang giliran mas."
Maya kemudian menyuapi Marve dan Marve memakannya dengan senang hati.
Dewi hanya tersenyum sambil mengeluarkan baju ganti untuk Maya dari dalam tas yang dibawanya, ia terus memperhatikan bagaimana pasangan itu akhirnya dapat kembali bersama dengan perasaan penuh rasa bahagia.
...