Bersandar santai dengan tangan terlipat. Menunggu sekuat apa gadis itu mampu bertahan. Antara tetap berada di sana bersama teman-temannya atau memilih turun dan menyelesaikan urusan dengan dirinya. Hendra tahu Aruna tidak akan tahan dari bisikan orang-orang disekitar atau tatapan mata birunya.
"Baiklah kita break sejenak, jangan kemana-mana tetap saksikan bincang seru kita bersama Danu Umar". Pembawa acara begitu bersemangat mengakhiri sesi ke dua dari empat sesi yang akan mereka jalani.
Teman-teman Aruna melirik tegang kepada laki-laki yang mengawasi mereka. Lebih tepatnya mengawasi Aruna. Kejadian di Jaya Rizt Hotel memunculkan kesan bahwa calon suami Aruna adalah golongan pria posesif.
"Huh.. ". Aruna menghembuskan nafas panjang, tersenyum getir kepada teman-temannya, memberi tanda bahwa dirinya akan pamit terlebih dahulu.
Damar hampir tidak bisa mengendalikan diri untuk menarik tangan Aruna, menahan gadis itu pergi. Sayang, melakukan hal tersebut akan berakibat panjang bagi artis yang baru naik daun. Ditambah beberapa penggemarnya mulai mendekat meminta swafoto dan tanda tangan.
Aruna berjalan melewati Hendra, spontan pria bermata biru melangkah membuntutinya.
Hendra mendekat, mengelilingi tubuh Aruna ketika gadis itu mulai berhenti.
"Kita memang ditakdirkan untuk berjodoh". Hendra tersenyum penuh rasa bangga, Dia tidak perlu susah payah menangkap gadis kontrak miliknya.
Seperti mimpi buruk di siang bolong bagi Aruna, mengapa dia harus berjumpa dengan pria ini sekarang.
"Mengapa kau ada disini? kau membuntuti ku lagi?". Tanya Aruna lelah.
"Pertanyaan mu terbalik!".
"Mengapa kamu tiba-tiba berada di stasiun TV Djoyodiningrat". (ini semacam jekpot untuk ku) Handra menunjukan rasa beruntungnya.
_Oh.. Ya tuhan.. Aku tertangkap di kandang macan_ Aruna memejamkan matanya sejenak, dia tahu tidak ada cara melarikan diri.
"Tidak ada pilihan lain!!, menuruti ku atau aku paksa". Luka yang di torehkan pria ini pagi tadi belum sepenuhnya terbalut. Dan kali ini dia mulai bertingkah lagi. Hendra merangkul pundak Aruna, menggiringnya sesuai kehendak.
"Aaah Lepas". Aruna berusaha membuang tangan Hendra. Namun tubuh tinggi tegap pria itu membuatnya mudah menangkap pundak Aruna kembali.
"Aku akan nurut, Lepaas.. kau membuatku malu, lepaskan aku". Beberapa pasang mata mencuri lihat kericuhan diantara CEO dan perempuan muda yang dia bawa.
"Bisa tidak mulutmu diam!" Bisik Hendra.
"Semua akan tampak elegan jika kau berperilaku layaknya perempuan". Hendra tak habis pikir, beberapa perempuan yang mendekatinya akan merasa tersentuh andai mendapat perlakuan seperti yang diterima Aruna. Tapi anak ini malah merasa terganggu.
***
"Biarkan rambutnya terurai". Pria itu memberi instruksi kepada make up artis yang sedang sibuk memberikan sentuhan keahliannya di wajah polos Aruna.
Setelah mengurung Aruna di tempat berisikan jajaran meja rias. Hendra beberapa kali menelepon.
"Belikan calon istri ku midi dress lengan panjang ukuran M".
"Aku butuh make up artis terbaik secepatnya". Tidak lama kemudian laki-laki gumulai ini datang. Dulu Aruna pernah mendapatkan fasilitas seperti ini, pada pertemuan dua keluarga. Kala itu rambut Aruna di sanggul ringan kebelakang.
Hendra masih setia duduk di sofa dekat pintu, seperti penjaga. Sembari sesekali memainkan Handphonenya pria itu mengawasi setiap gerak gerik dua orang di depan.
"Kau sangat beruntung nona, walau CEO Hendra sedang tertimpa rumor tak sedap. Dari perilakunya saya pastikan dia memiliki rasa cinta yang besar pada anda". Make up artis bernama endruw berbisik ditelinga Aruna.
Mendengar ucapan endruw, Aruna seakan ingin menepok jidatnya sendiri. Orang ini tidak menyadari Hendra mengawasinya karena takut Aruna melarikan diri. Ah' tunggu dia bisa melakukan sedikit kenakalan.
"Em... Hendra aku haus". Aruna merasa perlu bermulut manis agar bisa melarikan diri. Biasanya ketika seseorang disekap, si korban akan meminta sesuatu lalu mereka bergegas melarikan diri.
"Hallo..!? Bawakan calon istri ku air minum!".
_Yach kenapa?? Ini sama sekali tidak sesuai rencana_.
"Tapi aku juga lapar. Aku mau camilan". Pinta Aruna, permintaan manis yang kesekian kali dia ucapkan. Balasan terbaik dari rasa remuk didalam hatinya akibat ucapan kasar tadi pagi adalah bisa lari dari Hendra. Aruna sedang berusaha mencari cara.
"Hallo.. tolong belikan camilan untuknya!".
_Ah' payah tidak seperti di film-film_ gumam Aruna hampir menyerah.
_Tunggu_ sepertinya ada hal lain yang bisa Aruna lakukan.
"Hendra aku ingin kebelakang, aku kebelet". Aruna memelas.
"Lakukan itu setelah riasannya usai, sekalian mengganti baju mu!". Jawab Hendra.
"Tapi aku maunya sekarang". Rengek Aruna.
"Baiklah ayo..". Hendra berdiri mendekat.
"Kau ikut dengan ku??, tidak sopan mengikuti perempuan ke kamar mandi". Aruna sengaja mempersulitnya.
"Memang kau tahu tempatnya?". Hendra bertanya.
"Tidak". #gagal6 versi Aruna.
_Mengapa? Mengapa semuanya tidak sesuai prediksi?! Sungguh sial nasib ku_
"Apa sudah selesai". Hendra masih berdiri dibelakang, dia mendekat menatap cermin.
"Hampir..". Melihat mata Hendra yang fokus melihat bayangan Aruna di cermin. Andruw menegurnya.
"Bagaimana cantik bukan..??". Andruw seolah meminta pengakuan atas hasil tangannya. Pria itu mengeluarkan botol kecil kemudian meminta Aruna memejamkan mata. Sesaat kemudian wajah Aruna menerima rasa basah ringan. Semburan aerosol dari tangan Endruw.
"Aku bisa mendapatkan beberapa kali lipat lebih cantik, namun anak ini yang paling menyusahkan". Ungkapan Hendra seperti keluhan dari hati. Endruw terkekeh mendengar keluhan pemilik Nara&tv.
"Baiklah ayo aku antar kau ke kamar mandi, sekalian mengganti baju mu". Pinta Hendra.
"Tidak.. kau disini saja, itu tidak sopan..". Bujuk Aruna
"Memangnya aku pernah sopan??". Hendra memberikan pertanyaan menohok.
_Aargh..benar dia tidak punya sopan santun dan mulutnya tajam_ jawaban Aruna hanya sampai di tenggorokan. Perempuan itu mulai memenuhi otaknya dengan strategi lain agar bisa menyelinap pergi.
"Kriiiing". Dering telepon Aruna. Membuat gadis itu meminta Hendra mengambilkan Handphonenya yang terletak di dalam tas, di atas sofa tempat Hendra tadi duduk. Andruw masih menahannya untuk sebuah finishing.
Diwaktu bersamaan Hendra juga mendapatkan telpon mengejutkan. Tangan lelaki itu menyerahkan handphone Aruna sembari mengangkat handphonenya sendiri.
"Hallo kakek?". Hendra.
"Hallo ayah?". Aruna.
Kedua pasang mata bertemu mengisyaratkan makna 'apa yang terjadi?'.
***
"O..oh, suasana ruang praktek ku mendadak suram, ku harap tamu ku merenggangkan urat senyumnya sehingga ikan-ikan ku tidak mengerut takut". Diana menatap akuarium miliknya, perempuan paruh baya itu selalu pandai mengomentari orang lain tanpa emosi.
"Aku tidak punya waktu untuk basa-basi". Wiryo meminta asistennya mendekat.
"Huuh.. anda dan cucu anda sama saja, benar-benar pinang di belah dua. Tidak mengucapkan minta tolong atau terimakasih pada orang yang kalian butuhkan". Diana masih senang menatap ikan warna-warni miliknya dari pada laki-laki tua Wiryo.
"Periksa ini". Wiryo menyerahkan dokumen yang diberikan asistennya. Perempuan paruh baya itu segera menoleh dan tersenyum melihat berkas yang dia inginkan. Sesaat berikutnya tenggelam dalam pengamatan.
"Jadi gadis ini yang membuat cucu anda pingsan?". Pertanyaan Diana menyisakan anggukan kaku Wiryo.
Sebuah foto gadis muda tersenyum membawa buket bunga dan piala penghargaan 'start up pendatang baru terbaik kategori craft' dari Bekraf. Diana membolak-balik halaman yang berisikan informasi tentang Aruna Kanya Lesmana.
"Gadis ini benar-benar menarik seperti namanya Aruna, bersinar kemerah-merahan". Diana mengamati foto Aruna dengan seksama.
"Aku tidak punya banyak waktu bisakah kau lebih cepat?!". Wiryo mengganggu pengamatan Diana.
"Brak". Diana menutup kasar dokumen Aruna.
"Aku juga tidak punya waktu, bisakah kau mencari dokter lain". Perempuan tua itu menirukan gaya Wiryo.
"Ya.. ya.. lakukan sesuai keinginan mu". Selain rekan lama, Diana adalah psikologi yang paling tahu kondisi Hendra. Perempuan berambut campur itu salah satu tim dokter yang pendamping Hendra sejak kecil.
"Seperti yang aku katakan. Aku punya firasat baik tentang gadis ini. Hendra bisa sembuh, namun butuh treatment panjang". Diana menatap Wiryo, dia seolah melempar pernyataan 'semua ada resikonya'.
"Bagaimana kalau dia pingsan lagi? Bukankah bisa membuatnya lebih parah??". Wajah Wiryo memunculkan semburat khawatir.
Diana tersenyum menenangkan.
"Semua treatment ada resikonya, dia bisa pingsan berkali-kali. Hendra harus melalui ini, jika kita menginginkannya sembuh total". Perempuan itu memberikan gambaran kasar resiko yang akan terjadi.
"Mengapa kita tidak mengambil jalan yang lebih mudah? Aku temukan cucu ku tidak pingsan ketika bersama perempuan lain". Wiryo meminta pendapat.
"Apakah anda sedang menceritakan perempuan yang dijadikan objek eksperimen gilanya?".
"Hehe". Diana tertawa kecil.
Wiryo mengernyit, dia sedang serius saat ini.
"Cucu anda memang nakal (suka mengukur kemampuannya sendiri), sama sekali tidak berubah sejak kecil. Tapi dia tidak bodoh, dia bahkan datang ke sini menanyakan hal yang sama".
Wiryo tidak paham maksud Diana.
"Artinya cucu anda menaruh perhatian lebih pada reaksi tubuhnya terhadap gadis ini". Diana mengamati sekali lagi foto Aruna.
Dia bangkit menyusup ke pintu belakang ruang prakteknya. Beberapa menit kemudian perempuan tua itu membawa ordner hitam berisikan tumpukan rekam medis Hendra.
"Anda masih ingat dokumen ini tuan Wiryo?". Tanya Diana.
"Ku harap anda tidak lupa, bagaimana kita memberikan treatment pajang hingga dia bisa berada dalam kondisi sekarang". Diana mengelus beberapa lembar dokumen. Menunjukkan rasa mendalam kepada pasien kecilnya.
"Andai waktu itu Gayatri tidak dalam kondisi yang sama buruknya. Tuan kecil ku pasti tidak perlu mengalami penderita sepanjang ini". Diana berhenti pada salah satu lembar rekam medis, mengamati sekilas. Lalu membalik ordner hitam ke arah Wiryo.
"Lihatlah.. sampai akhir dia belum berhasil mengatasi ketakutannya melihat Gayatri tidur. Bukan karena dia tidak mampu tapi Gayatri juga tidak mampu". Penjelasan Diana membuat dada Wiryo sedikit sesak. Hari-hari berat telah mereka lalui. Apakah sekarang akan datang lagi hari gelap semacam itu?.
"Aku tidak bisa mengambil resiko, dia penerus ku satu-satunya". Wiryo menegakkan tongkatnya.
"Tunggu dulu, itu artinya anda tidak ingin melihatnya bahagia". Diana menatap serius. Berharap Wiryo masih berminat mendengar penjelasannya.
"Apa kau bilang?". Wiryo menerawang penasaran.
"Diagnosis ku masih sama, sekarang atau 22 tahun lalu, post-traumatic disorder yang terjadi pada Hendra akan bereaksi kuat pada orang-orang yang mendapatkan tempat di hatinya". Diana mendekatkan dokumen Aruna dan Gayatri.
"Gadis ini memiliki spesifikasi yang sama dengan Gayatri. Mereka berdua sama-sama memiliki pengaruh kuat di hati cucu mu. Tidak bisa kita pungkiri seberapa besar cinta Hendra pada mommy nya sebelum tragedi itu, dan gadis ini mulai menumbuhkan rasa yang sama, walau cucu mu belum menyadarinya". Diana mengangkat kedua tangannya. Memberi penawaran tersirat. 'Sekarang tergantung anda'.
"Bedanya Gayatri tidak memiliki kemampuan, tapi gadis ini normal. Aku yakin dia bisa membantu". Pernyataan Diana membuat lelaki tua di depannya berfikir keras.
"Mengapa kita tak memilih jalan yang mudah?". Tanya Wiryo memastikan.
"Itu artinya anda tidak memberi kesempatan padanya untuk jatuh cinta?!". Diana meneguhkan pilihan.
"Apa yang terjadi seandainya pilihan ini gagal??". Wiryo orang yang paling berani mengambil resiko dalam bisnis, tetapi tidak pada masa depan cucu satu-satunya. Harta terbesar keluarga Djoyodiningrat.
"Jika aku jadi kakeknya aku akan memilih percaya pada cucu ku dari pada membuatnya menyerah sebelum diberi kesempatan". Diana mencukupkan penjelasannya.
"Sekarang terserah anda?".