"Aaa...!!". Teriakan Aruna menggema. Hendra segera menghentikan aktivitasnya. Mengetuk pintu kamar mandi, seraya menempelkan telinganya pada daun pintu. Berharap mampu memprediksi apa yang terjadi di dalam.
"Aruna... Aruna.. kau tak pa-pa??". Suara lelaki itu bergetar, menandakan dia khawatir.
"Hendra tolong aku... ". Gadis itu merintih.
"Au.. Brak!!". Aruna sepertinya terjatuh.
"Apa aku boleh masuk??".
'Iya...". Suara Aruna terdengar lirih, pasrah. Hendra segera mendorong pintu kamar mandi.
"Ah, apa yang sedang.β¦??". Tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Hendra mendapati Aruna basah kuyup, bersama genangan air yang menyatu dengan ceceran sabun tumpah. Kran air terlepas dari pangkalnya. Membuat semburan air dengan volume besar, Seolah olah keluar dari dinding.
_O, itu masalahnya_
"Kau bisa berdiri??
"Sudah mencoba.. tapi, aku malah terjatuh". Ceceran sabun membuat lantai tersebut licin. Aruna terjatuh dua kali sebelum pria itu datang.
"Tunggu disini, Ku hentikan dulu airnya" (mematikan pompa air). Hendra mencari-cari di seluruh kamar mandi dia memencet semua skalar tapi hasilnya nihil. Bahkan pria itu mendatangi ruang dibawah dan mencabut semua yang menempel pada stop kontak. Nyatanya air masih mengalir begitu saja.
_Aargh, dimana letaknya?!!_ Hendra sepenuhnya buta dengan kondisi mansion pribadinya. Sebab, baru kemarin sore mansion ini resmi jadi miliknya.
"Hya..Cuuh!!". Aruna mengusap-usap hidung. Menggigil kedinginan. Berusaha bergeser ketempat yang lebih kering.
"Apa kau punya handuk Hendra...". Gadis itu mengeraskan suaranya agar terdengar dari luar.
"Iya. Sebentar". Pria itu menimpalinya tak kalah nyaring.
Sebab tak kunjung menemukan stop kontak yang terhubung dengan pompa air. Hendra putuskan menarik tombol Bargainser (meteran listrik) yang terletak di luar rumah ke arah off. Seluruh aliran listrik padam.
Semua jadi gelap, kecuali sudut-sudut ruangan yang bersebrangan langsung dengan jendela kaca. Sinar cahaya matahari menerobos masuk ke dalam ruangan. Hanya itu yang bisa diandalkan.
Dan kamar mandi tempat Aruna terjatuh tentu saja tidak memiliki celah sinar matahari.
"Sudah ada handuknya!?". Gadis itu mendengar langkah kaki memasuki ruang tempat dia menggigil.
"Handuk?!". Yach, Bahkan Hendra tidak memilikinya. Mau bagaimana lagi? tempat ini kosong, belum sempat di isi dengan benar.
"Akan aku minta Surya membelinya".
Sekretarisnya sedang di bawah, membeli bahan makanan yang sempat terlupakan. Hendra memaksanya ikut mempersiapkan menu makan siang.
Mata biru menyala akibat pantulan senter dari handphone, dia mendekati gadis itu lalu menggendongnya. Semua basah, bahkan air nakal menetes membasahi baju Hendra.
_Eh?, apa yang aku lakukan?!_ Mata birunya tidak sengaja menatap tubuh Aruna, kemeja putih tersiram air. Menyisakan pemandangan diluar dugaan. Terpaan sinar matahari yang sedang mengintip malu dari balik jendela kaca, menjadikan dada Aruna terlihat. Seraya wajah Hendra merah padam, berusaha mengalihkan pandangan.
Aruna menyadari, segera menutup dada dengan kedua tangannya.
"Turunkan aku!!".
Hendra tak kuasa menahannya. Gadis itu cepat-cepat melompat dan mundur beberapa langkah darinya. Sempat mengaduh, kaki Aruna tampaknya terkilir.
Sembari menutupi tubuhnya dengan dua tangan. Usaha tersebut sama sekali tidak membantu, Bajunya terlalu basah dan melekat. Gadis itu marah-marah.
"Kau punya baju?. Aku mau ganti. Dimana ruang ganti!!
"Sebenarnya mansion ini baru aku beli kemarin. Jadi disini tidak ada apa-apa?!". Hendra pasrah jika Aruna meluapkan emosi. Bagaimana lagi?!, bahkan handuk saja dia tak punya.
"APA???".
"Kau.. kau sengaja menjebak ku". Aruna mengacungkan telunjuknya. Mengintimidasi pria itu. Tapi, kondisinya yang transparan, membuat Aruna kikuk sendiri dan kembali mengamankan tubuhnya dengan dua tangan di dada.
"Hai, aku tak seburuk itu". Hendra membela diri dengan tegas.
"Aku bukan pria hidung belang". Dia menggerutu. Segera membalik tubuhnya, menghindari tatapan Aruna.
Hendra sekali lagi menghubungi sekertarisnya.
"Ah, orang ini?! kenapa tidak mengangkat telepon?!".
_Apa aku perlu meminta pelayanan lain??_ Beberapa saat berfikir, sembari mengetik pesan untuk Surya.
_Tidak?!, tidak perlu menghubungi yang lain. Mereka bisa menyebarkan gosip sembarang_ pelayan-pelayan keluarganya terlalu setia pada Oma Sukma apalagi Opa Wiryo.
*Belikan aku dan nona Aruna sepasang baju, termasuk Handuk.
*Segera
*Kami tunggu
Pesan itu terkirim tapi belum dibaca.
Hendra sedikit membalik badannya, melirik Aruna, gadis itu makin menggigil, kedinginan.
"Bagaimana dengan gorden itu?. Kau bisa menutupi dirimu dengannya. Sepertinya cukup hangat". Bujuk Hendra canggung. Otaknya mulai buntu.
"TIDAK MAU!! Pasti belum kau cuci?!, Kau pikir aku kucing yang terjebur di bak mandi!!". Aruna menolak dengan intonasi meninggi. Sedikit jengkel bercampur capek.
_Benar juga. Mengapa aku jadi bodoh?!_ Hendra mengamati seisi ruangan. Mencari-cari sesuatu yang bisa di manfaatkan.
"Hyia..Cuuh!!". Aruna meras tubuhnya semakin dingin.
"Pergi.. Sanaa.. Belikan aku baju". Pinta Aruna.
"Tunggu sebentar, ikuti aku". Hendra menemukan ide. Minimal untuk menghangatkan tubuh gadis itu. Sebelum dia keluar mencarikan baju.
"Kau bisa berjalan?". Hendra berhenti melangkah. Menyadari kaki Aruna sakit, membuatnya kesulitan berjalan.
"Sini biar aku bantu". Mendekat.
"Sudah. Sudah.. abaikan aku". Aruna benar-benar tidak ingin diawasi. Nyatanya pria itu membungkuk menawarkan punggungnya.
"Aku.. ti.. Tidak Mau!!". Penolakannya seperti anak kecil sedang ngambek.
_Kau tadi mencuri lihat bagian itu saat menggendong ku. Mana mungkin aku mau mengulanginya_
"Ayolah... jangan mempersulit, bagaimana cara ku meliriknya kalau... ?!?!"
_Ku sebut apa enaknya??_
"Dua lingkaran itu ada di punggung ku". Rayu Hendra. Bersyukur bisa menemukan istilah yang jauh dari kontroversi.
Aruna memberanikan diri, naik di punggung pria menyebalkan versi benaknya. Dia tidak habis pikir bisa mengalami kejadian memalukan seperti ini.
Hendra membuka salah satu kamar induk di mansion tersebut.
"Kenapa kau membawaku masuk ketempat ini!!". Aruna bergerak-gerak ingin turun
"Aku ga mau.. ga mau.. pokoknya ga mau?!!". Gadis itu menjambak rambut Hendra. Sampai-sampai kepalanya tertarik. Membuat kesulitan.
"Aargh.. sakit tahu".
"Didalam ada selimut. Bisa kau gunakan!?"
"Kau ga bohong??". Ancam Aruna.
"Buat apa aku berbohong. Jangan terlalu percaya diri, anak kecil pemarah seperti mu bahkan tidak terlihat layaknya perempuan". Hendra membela diri.
_Ah, benar juga_ batin Aruna.
"Sekarang lepaskan rambutku". Hendra merasa nyut-nyutan.
"Kau tahu bagian didalam rambut ku ada aset berharga perusahaan". Maksud lelaki tersebut adalah otaknya.
"Aku hanya menjambaknya sedikit, kau tidak akan gagar otak". Aruna sedikit merasa bersalah.
Hendra menurunkan tubuh Aruna di atas ranjang besar. Untuk memberikan cahaya pada kamar tanpa lampu ini, pria itu menarik perlahan tirai yang terbentang luas menutupi jendela kaca. Hamparan kota Jakarta tertangkap indah dari mansion di atas gedung pencakar langit.
Hendra diam-diam meliriknya sekali lagi. Menangkap Aruna yang bersinar.
_Anak ini benar-benar membuatku repot_
Kasur besar berwarna putih dengan selimut tebal diatasnya. Aruna berusaha mencari posisi terbaik untuk menutupi dirinya.
"Yach, jadi ikut basah". Selimut yang Aruna duduki dan beberapa bagian menjadi basah karena bajunya.
"Sebaiknya kau lepas bajumu sebelum semuanya basah".
"Kau bisa keluar??"
"Ya tentu".
***
Sekertaris Hendra sedang berusaha membawa barang belanjaan. Dia berada dalam lift berdesakan dengan pengunjung mall lainnya. Ketika suasana lebih lenggang. Surya mencoba memeriksa handphonenya.
_Apa??. Aku harus kembali lagi ke bawah. Ya tuhan aku belum sarapan. Dia!! (menyebut dengan jengkal) Terus terusan menyuruh ku. Dia pikir aku robot".
Surya tidak jadi turun dari lift ketika dirinya sampai di lantai paling atas. Dia kembali lagi menuju mall di lantai bawah.
_Mengapa aku harus beli baju?!. Entahlah siapa peduli. Aku makan dulu saja_
Surya berhenti di food court tersenyum menyeringai dan mulai memilih menu makanan.
***
"Hendra sudah". Suara gadis itu memanggil. Spontan pria bermata biru masuk dan apa yang dia temui membuatnya geleng-geleng kepala.
"Apa kau benar-benar perempuan??". Hendra mengarahkan jari telunjuknya pada baju berjatuhan tercecer di lantai.
"Maafkan aku, hehe". Gadis itu bergegas turun dari ranjang, menutup baju-bajunya dengan selimut yang menjuntai pada tubuh mungilnya.
"Hehe, boleh aku minta kantong plastik".
_Hendra fokuslah... Jangan memikirkan hal-hal aneh_ Hendra cepat-cepat keluar kamar mencari kantong plastik. Berjalan kesana kemarin tidak menentu.
_Anak kecil pemarah itu. Lagi-lagi membuat ku tampak bodoh_
_Aargh.., mengapa aku memikirkan itu lagi_ Sebagai pria normal, dia cukup terganggu saat mendapati beberapa pakaian yang difungsikan pada bagian dalam tergeletak di depannya. Belum lagi anak itu tidak memakai apapun, dan berdiri dengan polos. Bukankah neuron pada otak bisa memodifikasi sketsa bagian tubuh yang terbungkus selimut.
Hendra melempar kantong plastik dan berbalik badan, menghindari Aruna. Perlahan Aruna merapikan pakaiannya. Jika orang lain melihat, pasti akan berfikir yang bukan-bukan.
"Apa kau sudah selesai?? Kalau sudah, aku pergi dulu".
"Tunggu!"
"Jangan lupa membelikan ku... Eemm...". Aruna sedikit ragu mengatakannya.
"Sesuatu yang di dalam".
"Perut mu lapar". Didalam tubuhnya ada perut. Mungkin dia lapar?
"Bukan-bukan itu..!!".
"Apa?!". Gertak Hendra, tidak sabaran.
_Aku harus segera kabur sebelum isi di kepalaku tidak terkendali_
"Eem.. dua lingkaran dan sebuah segitiga..".
_Pasti dia tahu kalau aku menyebutnya seperti itu_
"Donat dan sandwich?. Baiklah".
"Enggak!! Bukan itu!!". Aruna jengkel karena lawan bicaranya belum paham juga.
"Bicara yang jelas!! Jangan membuat ku pusing!!". Pria itu membentak Aruna, kenapa anak itu berbelit-belit, mendekatnya berniat mengintimidasi.
Aruna menyelipkan mukanya kedalam selimut. Menghindari gertakan Hendra.
"Em.. Sesuatu yang ada didalam". Mengendap-endap gadis itu mengintip bagian dalam tubuhnya dengan polos. Dan melirik Hendra. Wajahnya merona kemerahan.
Cukup menggemaskan?. Otak Hendra berbicara kepada pemiliknya. Laki-laki itu mundur kelabakan.
_Eh. Aku harus secepatnya pergi sebelum pikiran ku semakin liar_
"Baik-baik aku mengerti". Pria itu kikuk berusaha menemukan dirinya yang tenggelam dalam hawa panas, secara alami berasal dari tubuhnya sendiri.
"Berhenti, apa kamu akan berangkat begitu saja".
"Sekarang apa lagi!!?".
_ayolah aku harus segera kabur dari sini_
"Kau tahu ukuranya??".
_Oh iya, aku sama sekali tidak mengerti_ Hendra mengangkat bahunya tanda dia tidak paham.
"Em.. yang atas 36D dan bawah L". Suara Aruna lirih malu-malu.
"Apa??!". Hendra, Tertegun sejenak dan mulai melangkah pergi.
"Cukup besar juga". Bisikan kecil untuknya sendiri.
"Buk!!". Bantal mendarat di kepala laki-laki itu. Aruna mendengar bisikkannya, dia meraih bantal terdekat lalu melemparkannya pada laki-laki tak sopan.
Rasanya ada ledakan kemarahan yang ingin ditumpahkan sang CEO.
_Hari ini aku di bully anak kecil, tidak masuk akal_
Namun ketika dia kembali menatap Aruna. Gadis itu memalingkan wajah, ngambek.
Tiba-tiba emosinya melemah, dia putuskan cepat-cepat pergi. Pintu yang dilewatinya terlempar sedikit kasar. Hendra berdiri dibalik pintu dan mengelus dada.
_Hai kau, Diam!!_ Meminta dadanya berhenti berdetak.
_Apa dia akan pergi dengan baju basah?_
Aruna baru sadar bahwa punggung dan dada Hendra terkena air ketika menggendongnya tadi.
_Biarin, siapa peduli_ Aruna tergulung di ranjang dan mulai merasa lapar.
***
"Hah?? Bagaimana ini?? Ah, aku harus sembunyi di mana". Seorang asisten kelabakan. Menyusupkan dirinya kedalam kolong meja.
"Hehe". Dia mengarahkan jari telunjuknya di depan mulut. Memberikan instruksi tanda diam pada beberapa pengunjung lain yang merasa aneh dengan tingkah lakunya.
Bosnya baru saja lewat. CEO itu berjalan tergesa-gesa. Untung saja tidak melihat dirinya yang sedang menikmati santapan makan siang berpadu sarapan.
Mengendap-endap Surya secepat mungkin kembali ke mansion atasannya.
***
"Hallo??...".
_Kenapa semuanya gelap??_
_Apa listriknya padam??_
"Cetak cetek". Surya memeriksa lampu.
_Tidak ada orang ya?, Hendra gagal lagi. Nona Aruna tidak datang. Haha.. kasian juga_
"Prang...". Surya tidak sengaja menyenggol beberapa perabotan.
"Aku disini, pak Surya apa itu kamu...". Aruna memastikan, ada seorang yang datang. Tidak mungkin Hendra. Laki-laki itu baru saja pergi.
"Nona Aruna?". Jawabnya.
"Iya.. aku dikamar".
"Apa anda membawa baju ku". Tanya Aruna.
_baju?, Untung aku sudah membelinya_ Surya menyusuri sumber suara.
Sesaat kemudian.
"Aaa... Ap.. apa-apaan ini".
_Mengapa dia kacau. Apa yang terjadi ketika aku tidak ada_
_Apa aku melewatkan sesuatu yang luar biasa?_
"Tidak.. tidak.. ini tidak seperti yang anda pikirkan". Klarifikasi Aruna.
"Apa yang kau lakukan pada Hendra??".
_Hendra tidak mungkin melakukannya, itu mustahil. Aku mengenalnya. Perawakannya memang bule tapi dia dibesarkan dalam didikan Jawa. Bukan lelaki gegabah_
"Mataku, apa aku salah lihat?". Sekertaris Hendra mengucek-ucek mata.
_Tunggu, Hendra?? Laki-laki normal. Tentu saja bisa hilang kendali_
"Ah, Apa yang dilakukan Hendra padamu".
"Bukan... Bukan...". Asisten Hendra mengerut sendiri tidak jelas.
"Apa yang kalian lakukan??".
"Sebenarnya tidak masalah sich"
"Tapi.. bukankah terlalu dini untuk gadis polos seperti anda". Pernyataan Surya sungguh menggelitik.
"Eh, apa?. Ini tidak seperti yang anda pikirkan".
"Percayalah.."
"Tolong berikan bajuku".
"Akan ku jelaskan, setelah ku dapatkan baju ku". Aruna menyadari sekertaris Hendra sedang syok berat.
***
"Gila... Bagaimana caraku membelinya?".
Seorang laki-laki berjalan berputar disekitar display pakaian dalam. Pria itu kesulitan mengawali transaksi jual beli sederhana.
"Ini memalukan, Ah' integritas ku di injak-injak".
"Aruna.. hari ini aku berniat menjahilinya. Tidak ku sangka. Malah aku yang di bully".
"Bapak.. bisa saya bantu". Seorang pramuniaga mendekat menanyakan maksud laki-laki yang sedang meremas busa. Display salah satu brand pakaian dalam.
"Eh". Hendra segera melepaskan tangannya. Terkejut menemukan jari-jarinya tidak terkondisikan.
"Ada yang bisa saya bantu..?". Sapa pramuniaga sekali lagi