Tidak semua orang memiliki keberuntungan terus menerus. Baik soal hati, hubungan dan jalan hidup. Kadang kala, bahkan seseorang yang memenuhi segala ekspektasi keberuntungan belum tentu hidupnya baik-baik saja.
Dia yang berparas tampan, tinggi tegap, pekerja keras dan berjiwa mematikan. Terlalu sempurna untuk memiliki kelemahan.
Sayangnya dalam realita, seseorang pasti mempunyai masalah. Sebuah kesusahan yang terlampau pandai di balut. Mungkin inilah gambaran paling tepat untuk dia yang bernama Mahendra Hadyan Djoyodiningrat. Bahkan namanya saja memiliki arti paling hakiki tentang kekuasaan. Mahendra sang penguasa agung, Hadyan yang memiliki kedudukan tinggi. Sangat tinggi sebagai pewaris tunggal seluruh aset keluarga Djoyodiningrat.
Kenyataannya tidak banyak yang peduli bagaimana cara dia berdiri dengan tangan dan kaki sendiri, memikul tanggungjawab besar. Besar?! Tentu saja. Sebuah kekuasaan di barengi dengan tanggungjawab yang besar. Lebih kurang 58.000 jiwa secara tidak langsung melekat pada dirinya.
Jumlah karyawan itu sebanding dengan banyaknya anak perusahaan Djoyo Makmur Grup, selain perhotelan yang melegenda di tiap kota metropolitan se-Asia Tenggara, Djoyo Makmur Grup juga memiliki unit bisnis lain seperti bank (DM bank), Konstruksi (Mega Djaya Construction), perkebunan (Djoyo Makmur Plantation), pusat perbelanjaan (Mentari Plaza kini menjelma menjadi Mentari.com), media komunikasi (Djoyo Media, dengan nama nara& TV), makanan dan minuman serta produk kebutuhan rumah tangga yang mengusung banyak varian merek.
Masa berat telah dilalui, tapi masih menyisakan luka. Bukan sekedar luka karena kerasnya didikkan kakek, ini luka lain yang lebih hebat. Dan dibalut berulang-ulang. Sayangnya masih saja rona merah itu muncul di permukaan perban. Bagaikan darah yang mengalir tanpa henti.
Jika kembali ke masa lalu. Mudah saja mendapati anak-anak tertawa riang bersama teman-temannya. Berlarian ke segala arah, mengejar dan tertangkap lalu berlari kembali.
Sedangkan laki-laki kecil itu hanya berdiri disana. Terdiam tanpa kata. Tidak bisa mengungkapkan kata apa pun untuk sekedar meminta teman-temannya memberi kesempatan dia bergabung. Bukan soal bahasa. Tentu saja sekolah elit ini menggunakan bahasa yang sama dengan tempat dia dilahirkan.
Diamnya yang berlangsung lebih dari sebulan. Merupakan imbas panjang dari tugas sederhana 'introduce myself and family' setiap anak dengan riang berbicara didepan kelas memperkenalkan dirinya. Dia pun sama, bahkan lebih hebat dari rata-rata anak di kelasnya.
"Good morning everyone, let me introduce who I am here. My name is Mahendra Hadyan Djoyodiningrat. I was born in New York, USA. I am currently living in Jakarta and living with my grandfather and grandmother".
"Now, allow me to introduce myself further. I like the things of the world of adventure. I also like the little things like reading, watching and spending my free time without doing anything".
'Well now I will tell you about how my life with my family. My mother is an ordinary housewife. She is the most beautiful. I love my mother more than anything".
"That's all I can say about myself. Thank you"
(Selamat pagi semuanya, izinkan saya disini untuk memperkenalkan siapa diri saya. Nama saya Mahendra Hadyan Djoyodiningrat. Saya lahir di New York, USA. Sekarang ini saya menetap di kota Jakarta dan tinggal bersama kakek dan nenek Saya.)
(Sekarang, izinkan saya untuk memperkenalkan diri saya lebih jauh. Saya ini menyukai hal-hal yang berbau dunia petualangan. saya pun juga suka hal-hal kecil seperti membaca, menonton dan menghabiskan waktu luang saya tanpa melakukan apa apa.)
(Baiklah sekarang saya akan menceritakan tentang bagaimana kehidupan saya dengan keluarga. Ibu saya adalah seorang ibu rumah tangga. Dia sangat cantik. Saya sangat mencintai Ibu saya lebih dari apapun.)
(Kira-kira itulah yang bisa sampaikan mengenai diri saya. Terimakasih.)
"What is wrong Hendra? Your explanation about family isn't right"
(Ada yang salah Hendra? Penjelasan mu tentang keluarga kurang tepat). Seorang teman berceletuk ringan.
"What is your dad's name?"
(siapa nama ayahmu?). Teman lainnya menimpali.
"Is that dad? I don't have?"
(Apakah itu ayah? saya tidak punya?). Jawaban Hendra mengawali riuh dalam kelas.
Suara-suara lain mulai berbisik seakan ada sekelompok lebah yang terganggu. Guru kelas mengambil alih dan mempersilahkan laki laki kecil itu duduk kembali. Dia tidak menemukan definisi ayah dalam benaknya, hanya menyisakan sorot mata tajam anak-anak lain karena dirinya tidak memiliki sesuatu yang disebut 'Daddy'.
"Who is Dad? Mom!". Laki laki kecil dengan kepolosannya mulai berisik menanyakan hal yang sama berulang-ulang setiap saat. Pada ibunya, kakeknya, Omanya bahkan pada pak Ujang. Tukang kebun di rumah megah itu.
"Do you have dad?"
"Bapak g ngerti den, bapak cuma ngerti klo den bagus bicara bahasa Indonesia?"
Laki laki kecil itu berfikir sejenak mencari cara agar lawan bicaranya memahami. Sesaat kemudian dia berlari dan kembali dengan bukunya.
Jari kecilnya menyentuh dada pak Ujang lalu berkata "Punya" dan menunjukkan gambar pria paling besar dalam ilustrasi 'The Family'.
"Oh ya, ya, ya..". Pak Ujang mengangguk-angguk mengisyaratkan dia punya.
"How to get Dad? Where to buy Dad?!". Dia tahu kakeknya sangat kaya mungkin dia bisa memohon pada kakek untuk membelikan satu saja Daddy, pasti akan di turuti. Seperti saat dia menginginkan macam-macam mainan impian teman-temannya.
Belum sempat pak Ujang mengekspresikan ketidak pahaman, Pengasuh lain datang menegur.
"Apa dia bertanya tentang Daddy lagi??, Aku lupa memberi tahu mu. Siapapun di rumah ini tidak diijinkan menanggapinya (ketika anak ini menanyakan Daddy). Perintah tuan Wiryo!". Pengasuh itu menggiringnya menjauh dari pak Ujang. Sama seperti yang pengasuh ucapkan. Sejak saat itu tidak ada satupun yang menanggapi pertanyaannya. Bahkan ibu Gayatri. Perempuan itu terdiam seribu kata dan mulai melamun.
Hingga malam mencekam itu datang. Ketika Hendra kecil menemani tidur mommy, pengasuhnya bilang mommy is sick. She slept since afternoon (dia tidur sejak sore). Dan Hendra memeluknya penuh cinta seperti kebiasaannya.
Laki-laki kecil terbangun, ketika mendengar suara sesak nafas ibunya. Sesak nafas yang makin menakutkan. Tapi ibu tidak bangun. Dia masih memejamkan mata.
Ketakutan menjalar ditubuhnya, Hendra kecil berteriak minta tolong. Teriakan paling kuat yang dia mampu. Tubuh ibu bergerak aneh. Terlalu aneh untuk seseorang yang memejamkan mata.
Hingga segerombolan orang datang. Menepuk-nepuk ibu. Disusul orang-orang berbaju putih yang menempelkan alat di dada ibu. Alat itu membuat tubuh ibu berdecak terangkat. Seperti mendapat kejutan hebat.
Hendra berdiri dipojok bersama seorang pengasuh yang berusaha menenangkannya. Terlampau takut, dia menangis tanpa suara. Sampai sang ibu menghilangkan dibalik pintu. Di bawa pergi orang-orang berbaju putih.
Perempuan bernama Gayatri, berusaha mengakhiri hidup. Tepat didepan putranya sendiri. Overdosis obat tidur.
Hari berikutnya, Hendra kecil tidak lagi melempar pertanyaan bahkan suaranya ikut hilang. Sama seperti ibunya, menjelma bagaikan mayat hidup. Matanya kosong, tak lagi menyapa.
Ibu dan anak itu bergantian mendapatkan penanganan medis dari para psikolog. Perlahan keduanya saling menjauh. Dalam ruang rasa bersalah dan ketakutan masing-masing.
Butuh waktu 5 tahun untuk siap kembali ke sekolah. Itu sebabnya Hendra mulai hadir kembali dilingkungan sekolah ketika usianya 10 tahun. Memutuskan menempuh paket C.
Selain karena kecerdasannya. Para psikolog yang menanganinya menyakinkan. Lingkungan anak-anak SMP, tidak memiliki kepedulian yang besar terhadap masalah pribadi sampai siapa ayah mu?. Mereka akan lebih tertarik dengan paras tampan atau gosip K-Pop.
Jika ada yang bertanya padanya, Hendra akan menawarkan traktiran di kantin atau sejumlah uang sehingga mereka diam. Remaja itu mulai pandai menghitung keberuntungannya sendiri.
***
Latarbelakang hidupnya secara tidak langsung mengantarkan dirinya bertemu Surya dan Tania. Ketika masa SMA Hendra kembali ke lingkungan sekolah elit.
Setelah 3 tahun masa percobaan di sekolah biasa saja. Menjadi siswa SMP dengan identitas tersembunyi. Hendra tumbuh lebih percaya diri. Dia hanya di kenal sebagai anak tampan bermata aneh. Tiap kali ada yang bertanya apakah ayahmu bule? Dari mana kau dapatkan mata biru itu? Wah sangat tampan?.
Remaja itu akan menjawab enteng.
"Apa aku perlu mentraktir kalian agar tidak cerewet?!". Dan teman-temannya langsung teralihkan.
Sayangnya masa itu tidak berlaku di SMA. Hendra menemukan teman-teman sekolahnya tahu siapa dia. Bahkan seluruh gurunya tahu bagaimana cara membedakan perlakuan terhadapnya.
Bisikkan dan lirikan mata menemani setiap langkah kaki Hendra dimasa SMA.
"Apa dia pewaris, Grup Djoyo Makmur?!".
"Tentu saja siapa lagi yang bermata biru di sekolahan ini".
-
"Kau yakin akan mengirimkan surat konyol ini padanya?!".
"Harusnya kau tahu diri!".
-
"Sepertinya dia kesepian. Mengapa tidak ada yang mau berteman dengannya?!"
"Bagaimana mungkin kita bisa berteman, kalau dia di langit sedangkan kita di bumi. Lihatlah satpam sekolah kita bertambah hanya untuk menjaga keamanannya".
Ratusan bisikan menjelajahi seluruh ruang dan sudut sekolah. Hendra remaja bagaikan manekin di etalase. Beberapa orang secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, menatapnya, meliriknya serta membicarakannya. Lalu dia pasrah menjelma selayaknya patung. Sebuah pajangan yang enak dilihat namun tidak bisa bergerak dan bicara.
Keputusasaannya menjalani masa SMA membawa remaja ini sedikit berbelok dari habit yang ditanamkan kakek dan keluarganya. Dia sering menghilang dari kelas. Beberapa kali tidak mengumpulkan tugas.
Dan akhirnya seorang ketua kelas menemukan markas tempatnya menyendiri. Sudut di atap gedung sekolah. Tempat Hendra menerawang kosong.
"Brak!!". Remaja itu menendang salah satu papan usang, bekas papan tulis yang tak lagi digunakan.
"Bisakah kau berhenti merepotkan ku". Gertak Remaja yang menyandang status ketua kelas.
"Tiap kali kau tidak mengumpulkan tugas mu. Kau yang malas, aku yang kena marah. Mereka pikir akulah yang tidak pecus mengumpulkan tugas kelas!. Guru-guru itu, sungguh menyebalkan". Suaranya terdengar ngos-ngosan, Dia mengambil nafas lalu menumpahkannya kembali.
"Aku tahu kau dan aku sama-sama kesulitan berteman. Bedanya kau siswa yang terlalu kaya dan aku siswa Charity. Bukankah keadaan ku jauh kurang beruntung dari mu. Jadi kalau mau berbuat ulah. Carilah jalan yang tidak merepotkan hidup orang lain!!". Setelahnya remaja itu melangkah pergi. Kakinya seolah lunglai hampir kesulitan berjalan.
_Mati aku?! Setelah ini aku akan di keluarkan dari sekolah. Aaargh.. bodoh.. bodoh.._ Menggerutu menyesali perbuatannya sendiri.
"Hai, kamu? Apa namamu Surya?". Hendra memberikan diri menghentikan langkah kaki remaja yang baru saja mengumpatnya.
Remaja itu mengangguk penuh penyesalan.
"Aku punya penawaran kecil untuk mu". Surya tidak mendengar dengan serius ucapan Hendra. Otaknya dipenuhi ungkapan
_Tamat riwayat ku, aku benar-benar dikeluarkan dari sekolah_
"Apa benar kau juga kesulitan mendapatkan teman??, Bagaiman kalau kita berteman!". Sekali lagi pernyataan Hendra diabaikan.
"Aku akan meminta kakek ku turut mendukung charity mu, besarnya bisa beberapa kali lipat di banding yang kau dapatkan dari sekolah". Hendra kembali menghitung keberuntungannya.
"Tunggu sebentar?!, Artinya kamu tidak menyuruh ku keluar dari sekolah?!".
"Kapan aku mengatakannya?".
"Tolong di ulangi!. Kau menawarkan apa tadi??". Percakapan sederhana mengawali persahabatan panjang dua manusia. Benar saja Surya mendapatkan apa yang disampaikan Hendra. Dia pikir ungkapan pewaris itu hanya candaan saja. Nyatanya hal tersebut benar-benar terjadi.
Sungguh Surya tidak menginginkan apapun, berteman dengan Hendra, sudah membuat kehidupan sekolahnya berubah drastis. Lebih beruntung tepatnya.
Lambat laun perasaan beruntung itu menjelma menjadi rasa ingin balas budi. Dengan suka rela dia membantu setiap kesulitan sahabatnya. Sampai pada suatu ketika sang pewaris meminta dirinya terbang ke USA. Meneruskan beasiswa charity dari keluarga Djoyodiningrat.