"Silahkan saling bersalaman."
Suara Hakim itu seperti mencabik-cabik hatiku. Air mataku sudah tidak bisa keluar lagi.
"Jangan pernah menampakkan wajahmu lagi. Aku muak. Kau hanya pembawa bencana. Kau terlihat pintar tapi ternyata kau bodoh. Aku menyia-nyiakan hidupku selama 8 tahun bersamamu."
Aku terdiam dan tidak sanggup berbicara apapun. Pandanganku seperti kosong.
Aku menundukkan kepalaku. Dia berlalu dari hadapanku.
"Mari pulang," suara Ayah terasa begitu jauh. Aku hanya mengikuti langkahnya. Ayahku begitu tegar.
Aku masih teringat kejadian 8 tahun yang lalu. Dia menjabat tangan Ayah dan berjanji akan menjagaku. Terasa masih kemarin. Kejadian hari ini seperti tidak nyata.
"Nak, kamu masih punya Ayah dan Ibu," Ayah masih menggenggam tanganku. Aku hanya diam dan memandang wajahnya saja. Aku sudah tidak ada tenaga lagi untuk menjawab. Bahkan menangis pun tidak.
"Kamu mau berkunjung untuk berdoa?"
Aku hanya menganggukkan kepala.
"Ikhlaskan semuanya. Ayah yakin itu yang terbaik untuknya. Allah memberikan cobaan semampu kita. Nisa pasti bisa menghadapinya. Dia akan menjadi jalan bagimu untuk masuk surga."
Ucapan Ayah terasa menohok hatiku. Aku ingin menangis tapi mataku sudah kebas. Hatiku juga sudah kebas. Dua orang yang kucintai pergi.