Panah Perak__10th Part
"Kau bisa mengandalkanku," Luce mencondongkan tubuh ke depan, siap menerima serangan. Bilah pedangnya berkilat-kilat seperti logam yang ditempa ratusan kali sementara tubuh pemuda yang terbungkus api abadi tersebut, terlihat begitu bercahaya dan menyilaukan. "Kalian berdua berlindunglah," Luce berkata pada Terence dan Eleanor ketika sadar hewan-hewan kecil di sekitarnya sudah kembali bersembunyi di balik semak.
Eleanor mengangguk kemudian memejamkan mata untuk mengucapkan mantera, tapi Terence menghentikannya. "Ada apa?" tanya gadis itu.
"Kau tidak perlu menciptakan tabir pelindung lagi, berlindung saja di balik punggungku," jawab Terence. "Berbeda denganmu yang seorang magus, aku tidak bisa menggunakan sihir apapun. Akan tetapi, tubuhku ini kebal terhadap api Phoenix. Karena itulah Tuan Besar memilihku untuk melindungi Tuan Muda."
Eleanor terdiam beberapa saat, berusaha mempercayai ucapan rekannya itu dan akhirnya dia mengangguk setuju. "Kalau begitu kita tidak perlu bersembunyi. Aku akan membantumu dan Tuan Muda untuk menyerang iblis wanita itu."
Terence mengangguk bersamaan dengan Luce yang mengayunkan pedangnya ke arah Amorea. Sulur-sulur tanaman kembali menyerang mereka bahkan kali ini akar-akar pohon ek raksasa di sekitar mereka mulai bergerak, keluar dari tanah dan menyerbu. Suara lengkingan Amorea yang memekakkan telinga, membangkitkan makhluk-makhluk malam di sekitarnya. Hewan-hewan bermata merah muncul dari balik pekatnya kabut. Puluhan macan kumbang berusaha menerkam Luce sekaligus. Pemuda tersebut melempar hewan-hewan itu satu persatu dengan tebasan pedangnya.
Sementara Terence sibuk melindungi Luce dari akar tanaman yang mulai merangsek dengan pedangnya dan Eleanor menembakkan panah-panah sihir ke arah Amorea untuk mencari tahu kelemahannya. "Wanita iblis itu berdiri di permukaan air," Eleanor membatin. "Kalau saja aku bisa memutus aliran sungai dengan sihir, tapi bagaimana caranya?"
Terence tiba-tiba menarik Eleanor mendekat ketika Luce menyemburkan api dari tangan kirinya ke arah Amorea. "Apa kau tidak berpikir untuk melindungi dirimu dari kobaran api Tuan Muda? Jangan terlalu jauh dariku!" Terence berteriak marah. "Tuan Muda benar-benar sudah dibuat kesal. Dia akan membakar semuanya seperti yang pernah dilakukan Tuan Besar."
"Tapi Tuan Muda tidak boleh membakarnya," kata Eleanor. "Selama sumber air masih ada, dia tidak akan melemah sedikitpun."
"Kau bilang sumber air?" Terence bertanya sementara tangannya masih sibuk menangkis serangan beberapa kelelawar penghisap darah yang muncul dari balik rimbunnya dahan pohon ek. "Maksudmu air sungai?"
Eleanor mengangguk. "Kau harus membuat Tuan Muda berhenti menggunakan kekuatan Phoenix agar aku bisa melakukan sesuatu pada air sungainya."
"Tapi bagaimana?" Terence berteriak. Suaranya nyaris tidak terdengar karena Amorea kembali menjerit akibat serangan api Luce yang membabi buta. "Tuan Muda sepertinya mulai kehilangan kendali atas kekuatannya. Dia tidak akan mau mendengarkanku."
"Kalau begitu biar aku yang akan membuatnya mendengar," Eleanor membidik Luce dengan busur cahayanya yang berkilat hijau sementara Luce, dengan sayap apinya melompat di antara batuan gunung dan dahan-dahan pohon untuk menyerang Amorea yang terus menumbuhkan sulur-sulurnya.
"Rupanya kau masih belum menyerah," Luce berdiri di tepi sungai sambil membuka matanya yang baru saja terpejam sejenak. Dia sepertinya sadar tentang ucapan Eleanor meskipun tak mendengarnya dengan jelas. Pemuda itu menyarungkan pedangnya untuk menyegel kembali kekuatannya, membuat Eleanor mengurungkan niatnya untuk memanah Luce.
"Tuan Muda ternyata tidak kehilangan kendalinya," gumam Terence kemudian berpaling pada Eleanor yang ternyata sudah mulai mengucap mantera.
"Kalau kau tidak berhenti menyerang, aku akan membakar seluruh isi hutan ini!" Luce mengarahkan kedua tangannya ke depan untuk mengancam Amorea. "Aku sudah bilang akan melindungi teman-temanku dari apapun dan aku tidak akan menarik kembali ucapanku."
*bersambung ke part berikutnya