Panah Perak__11th Part
"Apa kau pikir dengan menggunakan kekuatanmu yang bersifat merusak itu akan menyelamatkan mereka?" Amorea berkata sinis dan mulai meremehkan kekuatan Luce. Dia menggunakan tongkat rantingnya untuk mengeluarkan akar dari dalam tanah tempat Terence dan Eleanor berpijak, kemudian menjerat keduanya hingga jatuh. "Kau bahkan tidak pernah berpikir apakah yang kau lakukan selama ini benar atau salah? Dengan menuruti semua isi hatimu, kau pikir semuanya akan berjalan sesuai keinginanmu?!" Amorea berteriak. Serangga-serangga kecil berbisa yang juga muncul dari dalam tanah mulai menyerang Terence dan Eleanor yang tak bisa berkutik.
"Terence!" Luce menyemburkan api dari kedua tangannya, bermaksud menghabisi serangga-serangga itu dalam sekali serang. Pemuda itu sama sekali tak berpikir apa yang dilakukannya mungkin akan melukai Terence dan Eleanor, namun dia yakin kalau kedua rekannya itu mengerti maksud di balik serangannya. Dia terus menambah serangan ke arah serangga yang bermunculan tanpa henti tersebut.
"Menyerap energi semua makhluk hidup di Hutan Terlarang, baik yang hidup maupun yang mati. Berubahlah ke bentuk alamimu," suara Eleanor yang entah sejak kapan telah berdiri di belakang punggung Amorea. Gadis itu berteleportasi dari balik punggung Terence ke tempatnya mengucapkan mantera sekarang--sebuah batuan pipih berukuran besar yang berada di tengah aliran sungai. "Aquousia!" Eleanor mengarahkan kedua tangannya ke depan dan berteriak sementara Luce menghentikan serangannya pada Terence kemudian melompat ke salah satu dahan pohon.
Terence lalu disibukkan dengan kedua kudanya yang sempat bersembunyi di balik semak bersama hewan lain. Dia menunggangi salah satunya menuju ke arah Luce ketika Amorea bersikeras mengarahkan tongkat rantingnya pada mereka. Air sungai yang deras tiba-tiba datang dari arah selatan. Begitu besar gelombangnya seolah akan menenggelamkan Eleanor bersama dengan iblis wanita tersebut. Tapi sebelum itu terjadi, gadis itu ternyata telah membuat tabir pelindung untuk dirinya sendiri, Luce, dan Terence.
"Membekulah, Einfrieren!" Eleanor berbisik sambil berteleportasi lagi ke belakang punggung Luce yang telah menunggangi kuda betinanya. Mereka bergerak ke arah barat untuk menghindari air bah yang mengkristal dengan cepat, membekukan semua makhluk yang ada di sungai termasuk Amorea.
"Dengan begini apakah kita sudah menang?" Terence terus memacu kudanya sambil tersenyum bangga. "Terima kasih karena sudah menyerangku tadi, Tuan Muda. Aku tidak terpikirkan hal tersebut bisa mengelabuinya. Darimana Tuan Muda tahu kalau Eleanor bisa berteleportasi?"
"Aku juga tidak tahu tentang hal itu. Semua aku lakukan dengan spontan dan berharap kalian dapat melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diri kalian sendiri. Yang aku tahu, kau sepertinya satu-satunya yang kebal terhadap apiku, Terence," ujar Luce. "Tapi aku tak menyangka Eleanor memiliki ide brilian seperti tadi. Daripada meladeni wanita iblis itu tanpa henti, membekukannya, meskipun sesaat, akan memberikan kesempatan pada kita untuk kabur."
"Ngomong-ngomong, tidak bisakah kita berteleportasi dan berpindah ke jalur utara lagi? Kalau terus bergerak ke arah barat, kita mungkin akan bertemu salah satu pasukan yang mengejar kita bahkan sebelum esnya mencair," usul Luce.
"Tidak bisa," sambung Eleanor. "Aku tidak bisa membawa orang lain berteleportasi kecuali dia seorang magus."
"Kalau begitu kita berbelok saja ke arah utara dan berjalan di antara pepohonan," Luce tiba-tiba menarik tali kekang dan memaksa kudanya berbelok, membuat Terence berhenti mendadak. "Meskipun agak meleset dari tujuan kita, setidaknya kita terhindar dari kedua pasukan itu. Aku akan membuat tabir yang lebih besar daripada tabir tak kasat mata milikmu, Eleanor."
"Terence, menunduklah!" Luce berteriak sambil mengarahkan tangan kirinya ke belakang untuk membuat sebuah ledakan besar yang mengguncang seisi hutan. "Itu akan mengecoh semua orang," katanya sembari mempercepat langkah kudanya diikuti oleh Terence. "Ayo segera keluar dari hutan sialan ini."
*bersambung ke part berikutnya