"Ibu kenal Bundaku?" aku bertanya dengan jantung berdetak kencang sekali. Aku tak dapat mengenali iramanya lagi.
Kalimat yang dilontarkan Bu Lia sesaat lalu adalah sebuah pernyataan, bukan pertanyaan. Tatapan matanya padaku terlihat sendu, juga rindu. Entah bagaimana aku harus menanggapinya saat ini.
Bu Lia menyandarkan punggung pada punggung kursi dan menghela napas. Dia menatapku lekat, seolah sedang mengamati sesuatu yang mungkin terlewat olehnya. Mungkin juga, dia sedang mencari sesuatu yang lama tak dilihatnya lagi.
"Ana yang bantu-bantu saya nikah dulu." ujar Bu Lia lirih.
Entah kenapa terasa ada sesuatu yang sejuk mengalir di setiap nadi di tubuhku. Kelegaan merayapi setiap udara yang masuk ke dalam rongga hidungku. Bahkan entah kenapa, terasa seperti aku baru saja menemukan sesuatu yang tak berwujud.