Aku menghampiri Zen yang terbaring di ICU dan meletakkan kantong berisi minuman isotonik, salep luka dan perban baru ke atas loker. Zen menatapi lengannya yang sedang dijahit karena luka akibat pecahan kaca ternyata cukup dalam.
"Adek pacarnya?" tanya Suster yang sedang menjahit luka sambil melirik ke arahku.
Aku terkejut, "Bukan, Suster. Zen temenku."
"Oh, kirain. Kalian keliatannya cocok sih."
"Bukan kok."
Zen tak mengatakan apapun untuk menanggapi. Dia bahkan terus menatapi lengannya yang baru saja selesai diperban seolah lengannya adalah mainan berharga sangat mahal yang menarik sekali.
"Perbannya baru boleh dilepas kalau udah 24 jam ya. Jadi sementara kalau mandi usahain jangan kena air. Nanti harus dibersihkan, dikasih salep dan diganti perban baru setiap hari." ujar Suster sambil membereskan peralatannya.
"Makasih, Suster." ujarku, karena sepertinya Zen tak berniat untuk membuka suara sama sekali.