"Hai namaku Angkasa. Kau boleh memanggilku Aqsha sama seperti ibuku yang memanggil begitu. " ujar seorang bocah lelaki dengan polosnya sambil mengulurkan tangannya ke arahku.
Aku sungguh tak tahu harus apa. Aku hanya menatap tangan itu dengan tatapan kosong. Aku masih ingat persis waktu itu hari sabtu pukul 18.00 waktu Semarang. Langit sudah mulai gelap, cuaca pun tampak mendung di sore itu. Aku tengah duduk seorang diri di tepian sebuah danau. Sambil terus menatap kosong tangan bocah itu, aku pun larut dalam penantian. Aku tengah menanti seorang ibu berwajah malaikat yang tadi datang membawaku ke tempat ini. Ia berjanji akan kembali dan menjemputku. Dua jam telah berlalu, sang ibu belum kunjung kembali. Yang muncul di benakku saat itu adalah menerima jabatan tangan bocah itu, dan merengek untuk ikut dengannya. Tapi jika aku pergi, bagaimana jika Ibu itu kembali.
Batinku meracau tak karuan, bingung akan pilihan yang harus kuambil. Hingga akhirnya ada seseorang yang muncul dari arah belakang dan menarik tanganku. Ia membantuku untuk berdiri, dan kemudian menarikku ke dalam pelukannya. Ia menangis tersedu, aku mendongakkan kepala untuk melihat siapa orang yang memelukku sambil menangis terisak-isak. Ternyata wanita itu adalah ibu yang tadi membawaku. Entah apa alasannya menangis. Namun seolah mengerti isi batinku, sang ibu pun melepas pelukannya. Ia bersimpuh dan berusaha menyejajarkan posisinya denganku yang hanya setinggi perutnya. Aku masih berusia lima tahun kala itu, aku masih belum mengerti apa maksud dari tangisan itu hingga memaksanya untuk menjelaskan segalanya padaku.
"Ibu kenapa?" ujarku sambil mengusap air matanya.
"Kamu anak Ibu sayang." Ujarnya sambil mengelus kepalaku. "Meskipun bukan terlahir dari rahimku, aku berjanji akan selalu melindungimu."
Aku tak tahu harus berkata apa, bahkan sama sekali tak mengerti apa maksud dari ucapannya barusan. Aku hanya bisa mengangguk dengan polosnya dan memeluknya. Menepuk pundaknya dan mengecup keningnya. Hanya itu yang aku tahu tentang cara menenangkan orang yang sedang bersedih. Aku selalu melihat sosok seorang wanita melakukan itu padaku. Wanita yang matanya begitu teduh, senyumnya cantik seperti bidadari. Sosok wanita yang tak pernah kutemui, tapi selalu menemuiku dalam mimpi. Aku tahu wanita itu bukanlah ibu yang berdiri di hadapanku kini. Tapi yang aku tahu, wanitu itu ataupun ibu ini, mereka amat menyayangiku.
"Tante Saras, sudah selesai ngobrol sama mama?" ujar bocah lelaki yang sedari tadi berdiri di sampingku.
"Sudah sayang, Aqsha terimakasih ya sudah jagain anak tante." Ujar ibu Saras sambil mengelus kepala bocah itu.
"Anda, mulai sekarang kamu tinggal sama Bu Saras ya, Nak? Dan itu Aqsha teman kamu." Ujarnya memperkenalkan aku dengan Aqsha.
"Dari tadi Aqsha tanya siapa namanya tapi dia tidak menjawab Aqsha tante." Ujar Aqsha dengan begitu polos.
"Aku tidak tahu siapa namaku, aku ada dimana, dan kamu siapa?" ujarku menjelaskan.
"Ada apa dengan Andalusia Saras." Ujar seorang ibu lainnya yang baru saja datang dan langsung menyela pembicaraan kami.
"Anda kehilangan ingatannya Mbak. Dia bahkan tidak ingat apapun tentang Amira dan Seno. Aku tidak punya jalan lain selain membawanya kemari. Aku bisa membesarkannya disini tanpa rasa takut."
Sejauh yang aku ingat, itu adalah kali pertama aku melihat Bu Saras menangis. Dan kemudian kisah itu berlanjut hingga sepuluh tahun setelahnya. Aku nyaris tak pernah melihat Bu Saras tidak menangis ketika menatapku. Yang aku tahu Ibu Saras adalah penyelamatku, ia mengadopsiku , merawatku dan membesarkanku dengan kasih sayang. Meskipun untuk itu, aku harus hidup di Panti Asuhan ini. 'Panti Asuhan Mutiara' tempatku tumbuh dan berkembang bersama teman-teman lainnya. Namun meskipun aku hidup di Panti Asuhan, mereka mengenaliku sebagai putri Bu Saras, sang kepala panti dan juga keponakan Bu Ratna sang pemilik. Bu Ratna adalah kakak kandung Bu Saras sekaligus Mamanya Aqsha satu-satunya sahabatku.
Aku masih ingat betapa pendiamnya aku , hingga aku nyaris tidak memiliki teman , kecuali Aqsha yang sudah menganggapku sebagai adiknya. Ada banyak sekali anak-anak seusiaku disini, namun tak ada satupun yang tahan bergaul denganku yang selalu diam tanpa suara. Aku merasa begitu canggung hidup dimana aku tak mengenal apapun dan siapapun ini. Aku bingung mengapa aku tak memiliki kenangan apapun. Hanya kenangan yang dimulai semenjak Ibu Saras membawaku ke Panti ini sepuluh tahun yang lalu. Sama sekali tidak ada kenangan apapun sebelumnya.
"Andara, rencananya kamu mau lanjut kuliah dimana? Kita kan udah selesai Ujian Nasional, sebentar lagi pengumuman kelulusan . Nanti kita kuliah di tempat yang sama ya?" ujar Aqsha sambil menemaniku melukis di tepi danau di tempat awal pertemuan kami.
"Belum punya rencana kak."
"Kok gitu?"
"Pengumuman kelulusannya kan baru besok."
"Kamu kan pintar dek, ya sudah pasti lulus. Buktinya usia kamu yang baru lima belas tahun saja kamu sudah lulus SMU. Padahal aku masih ingat ,waktu kamu masuk sekolah dasar untuk pertama kali itu aku sudah duduk di kelas III. Dengan ikut kelas akselerasi dua kali, sewaktu SD dan SMP kamu sudah bisa mengejar aku. Sampai-sampai kita masuk SMU di saat yang bersamaan. Bahkan kita mengikuti Masa Orientasi di kelompok yang sama, masuk jurusan yang sama di kelas yang sama pula. Aku sampai tak percaya bahwa kau ini adalah adikku. " ujar Aqsha sambil mengelus lembut kepalaku .
"Adik kecilku kini sudah besar, tinggal cari lelaki untuk dijadikan pacar." Ledeknya.
"Kak Aqsha." Rengekku sambil mencubit pingganya lantaran kesal akan guyonannya.
"Lho, apa salahnya. Kamu sudah dewasa. Sudah lulus SMU. Apa salahnya? Pacaran dulu, tapi jangan sampai tidak fokus kuliahnya. Setelah lulus bekerja satu atau dua tahun lalu menikah. Jadi aku, mama dan tante Saras tidak perlu mencemaskanmu lagi."
Aku menatapnya dalam-dalam. Aku melihat ada bulir air mata yang menumpuk di pelupuk mata Aqsha. Air mata haru yang berusaha ia tahan, namun tak pernah bisa ia sembunyikan dariku. Aku pun meletakkan lukisanku di tepi kursi tempat dudukku. Aku menatapnya sekilas, kemudian memeluknya , menepuk pundaknya dan mengelus lembut kepalanya. Berusaha membuatnya tenang dalam kegundahan yang ia tahan dan berusaha ia sembunyikan. Aku merasakan bahunya bergetar, bahuku basah ditetesi air matanya. Entah apa yang membuatnya begitu cengeng saat ini. Aku pun melepaskan pelukanku dan mengusap air matanya. Aku yang tak bisa berkata-kata, hanya menatapnya penuh tanya.
"Kamu , setelah sepuluh tahun masih saja membisu. Bahkan meskipun kita selalu berada dekat?" ujarnya tersenyum ringan melihatku.
Ia meraba sakunya dan mengeluarkan secarik kertas yang mirip dengan kertas buku harianku. Aku yang bingung, langsung meraih kertas itu dan membacanya. Aku melihat tangannya gemetar sewaktu menunjukkan kertas itu. Aku langsung membuka kertas itu dan membacanya, aku terkejut saat mengetahui bahwa dugaanku benar, itu adalah sobekan buku harianku tempo hari yang telah ku buang lantaran takut akan ada yang membacanya. Andai aku tidak gegabah dan membakarnya terlebih dahulu.