Andalusia,
Aku adalah ungkapan yang tersembunyi didalam batinmu. Aku nyata hidup dalam sanubarimu. Aku adalah ungkapan kata yang tertahan. Aku adalah kejujuran dari bibirmu yang selalu membisu.
Andalusia,
Izinkan aku mengungkapkan isi hatimu yang kau pendam. Untuk langsung mengutarakannya tanpa berbasa-basi. Untuk mengungkapkan perasaan terpendam yang begitu menyakitkan. Bahkan tanganmu yang begitu lihai menulis ini pun terasa gemetar menuliskannya. Begitu dalamkah rasa ingin tahum? Dan sebegitu burukkah hal yang ingin kau tanyakan hingga kau begitu takut untuk mengutarakannya sampai aku yang harus bicara.
Andalusia,
Aku adalah dirimu. Bayangan dirimu yang membatu. Penyambung lidahmu yang kelu, Garis anganmu yang bebas. Izinkan aku menanyakan hal yang selalu ingin kau ucap selama ini.
Andalusia,
Namaku Andalusia. Usiaku lima belas tahun tepat di hari ini, 25 April 2013. Aku tinggal di sebuah panti asuhan kecil di Kota Semarang. Aku tinggal bersama begitu banyak orang tanpa sanggup menyapanya. Ada begitu banyak pertanyaan dari orang-orang disekitarku. Kenapa aku hanya diam? Apakah aku bisu? Jawabannya tidak. Aku kehilangan ingatanku sepuluh tahun yang lalu. Dan dari sejauh yang aku ingat ada bayangan seorang wanita yang mendatangiku setiap malam ketika hujan datang.
Andalusia,
Ingatkah kau wanita itu memiliki mata yang indah. Pandangannya teduh. Senyumannya begitu cantik bak seorang bidadari. Bibirnya merah merekah bak bunga mawar yang sedang mekar. Kulitnya putih bersinar dan membuatmu jatuh hati setiap melihatnya.
Andalusia,
Ingatkah kau malam itu ia memanggilmu. Ia mengecup keningmu dan membisikkan Kalimat Selamat Ulang Tahun beserta segenap doanya untukmu. Ia kemudian memelukmu, air matanya menetes di ubun-ubun kepalamu kala ingin mengucapkan suatu kalimat yang masih tertahan.
Andalusia,
Sudah berapa lamakah kau menemuinya dalam mimpi dan dalam keadaan yang sama. Apa ia pernah melanjutkan kalimatnya? Dan sekarang apa kau masih bisa mempercayainya? Apa ia sungguh ibumu? Tidak Anda, ibumu adalah Ibu Saras. Ibu yang membesarkanmu dan selalu menyanyikan lagu tidur. Kumohon jangan pernah lagi berfikir untum mendapat jawaban dari masa lalumu. Tak ada gunanya mencari jawaban yang tak pernah ada.
Andalusia,
Jika ada satu permohonan di hari ulang tahunmu kali ini? Apa yang ingin kau ucap? 'Aku ingin ibuku bahagia, Ibu Saras. Dan aku berharap kenangan masa lalu itu hilang selamanya. Sungguh aku tak ingin mencari ibuku dengan mencari jawabannya.
"Setelah membaca surat itu, kakak meneteskan air mata. Boleh aku tahu kenapa?"
"Kau merindukan ibumu Anda? Kau merindukan keluargamu meski kau tak pernah tahu siapa mereka. Bukanlah salah untuk mencari jati diri. Tapi kenapa kau menyembunyikan segalanya dari kami. Menutupi kebenaranlah yang sesungguhnya membuat seseorang terluka dibanding kebohongan itu sendiri."
"Aku hanya ingin tahu sosok wanita itu. Wanita yang hadir di setiap malam di mimpiku. Ia menyebut dirinya Ibu. Aku melihatnya seperti malaikat. Mungkin ia tengah menuntut sesuatu dariku hingga harus menemuiku setiap hari. Hanya ituyang akuingin tahu. "
"Kenapa menyembunyikannya? Tidakkah kau mempercayaiku untuk membantumu?"
"Dari caramu menangis saat ini aku tahu yang aku rasakan adalah kebenaran. Kau takut aku akan pergi darimu dan Ibu Saras demi mencari jejak masa lalu. Ketakutan itu muncul setiap kali kau melihatku bahagia melihat seorang anak tersenyum dengan ibu mereka. Sedangkan Ibu Saras, ia selalu menitikkan air matanya saat melihatku kak. Aku tahu kau membayangkan betapa menderitanya diriku. Tapi sungguh tidak, aku sama sekali tidak berfikir ke arah sana. Kebahagiaanku adalah ketika kelak aku akan sanggup membalas kebaikan Bu Saras. Bukan saat aku meninggalkannya dan membuatnya lebih menderita lagi. Percayalah padaku, aku takkan meninggalkan semua yang telah kuraih selama ini." Ujarku sambil memaksakan senyum di wajahku.
"Andai memang benar semua itu, lantas apa yang membuatmu selalu mengigau dan menangis dalam setiap tidurmu?"
"Aku mengalami mimpi buruk setelahnya. Setiap mimpi itu berulang setiap malamnya , bahkan ketikaku tak menginginkannya."
"Mimpi buruk apa Anda?"
"Aku mendorong seorang gadis ke dalam kegelapan." Aku mengingat setiap detail dalam mimpiku, dan tanpa kusadari ada bulir-bulir panas yang telah menumpuk di sudut mataku dan siap untuk terjatuh.
"Kamu menangis? Jika tak sanggup maka aku tak akan memaksamu." Ujar Aqsha menatapku lekat-lekat.
Selama ini aku tak pernah menceritakan mimpi-mimpiku pada siapapun termasuk Bu Saras. Aku berfikir untuk meninggalkannya sebagai bunga tidur dan memisahkannya dengan dunia nyata. Namun aku gagal. Bayang itu muncul setiap harinya semenjak sepuluh tahun terakhir. Ia selalu menghantuiku kemana pun aku pergi . Dan mengingatnya kini justru membuatku semakin terisak . Aku pun merebahkan kepalaku di pelukan Aqsha sambil terus membayangkan setiap hal buruk yang muncul dalam mimpiku. Dengan susah payah akhirnya aku berhasil memberanikan diri untuk bercerita.
"Setelah bidadari itu pergi. Ada sesosok gadis seusiaku yang menahannya untuk tetap tinggal. Gadis itu menangis meronta-ronta memaksa sang ibu tinggal. Namun ibu itu menolak.Ia menolak menemui gadis itu. Nada pun akhirnya nekat ingin menusuk ibunya denga belati, aku berusaha menengahinya. Tapi.." Kalimatku terhenti, isakanku semakin menjadi. Aqsha pun memelukku lebih erat . Ia mengelus pundakku dan berbisik perlahan untukku tidak meneruskannya. Aku pun menenangkan diri, dan mengangkat tegak kepalaku hingga kemudian meneruskan ceritaku.
"Tapi aku malah mendorongnya ke jurang. Ibu itu marah dan menamparku. Ia menghujam jantungku dengan belati itu. Sementara Nada , ia harus hidup dan kehilangan penglihatannya. Kau tahu setelah itu, ibu itu memberikan jantungnya padaku. Aku hidup dengan jantungnya. Jantung yang berdetak ini miliknya. Aku bukan hanya membunuhnya, tapi juga harpannya dan putrinya. Nada kehilangan penglihatannya karenaku. Harusnya aku tak gegabah. Nada begitu lembut, ia tak mungkin melenyapkan ibunya sendiri."
"Nada itu adalah nama gadis yang selalu kau sebut dalam mimpimu?" tanya Aqsha yang aku jawab dengan anggukan.
"Tenanglah adikku, itu hanya mimpi dan akan segera berakhir."
Aku hanya bisa mengangguk dan mencoba untuk tenang. Rasanya sedikit dari beban itu sudah mulai beranjak setelah aku membaginya.