Maharani melangkah ragu ke dalam kediaman Hanggono. Meski ia sudah memastikan tidak ada orang lain yang melihatnya masuk ke dalam rumah tersebut, namun perasaan was-was itu tidak bisa ia hindari.
"Pasti kamu kebingungan kenapa saya tiba-tiba membukakan pintu rumah ini untuk kamu," ujar Pria paruh baya yang memintanya untuk masuk ke dalam rumah tersebut.
Maharani mengangguk canggung. Ia pun kembali memperhatikan pria paruh baya tersebut. Wajahnya nampak tidak asing. Ia yakin, ia pernah melihat wajah itu di suatu tempat. Tiba-tiba Maharani berseru ketika ia mengingat siapa pria paruh baya tersebut. "Kalau saya tidak salah ingat, Anda ini rekan satu partainya Ari Wicaksana, kan?"
Pria paruh baya itu tersenyum. "Itu dulu. Saya sudah memutuskan untuk keluar dari partainya. Tadinya saya pikir, dia pria yang baik. Tapi, ternyata dia sama saja dengan yang lain."
"Apa Anda merasa lebih baik dari dia?" Tanya Maharani pada pria paruh baya itu.