Chereads / The Night: Fantasy in two world / Chapter 4 - ch 4: Sabit Yang Mulai Tumpul

Chapter 4 - ch 4: Sabit Yang Mulai Tumpul

~Fasma pov~

Hari ini waktu sekolah sudah berakhir, saatnya pulang ke rumah. Sepanjang hari ini banyak kejadian yang tidak terduga. Daripada memikirkannya, lebih baik aku mempercepat langkahku.

Sesampainya dirumah, aku langsung mandi lalu membaringkan diri di kasur. Kemarin, aku mendapatkan sebuah misi untuk membunuh seseorang. Tetapi sebenarnya aku ingin berhenti dari dunia pembunuhan.

Ku menoleh ke arah jendela kamarku. Awan berwarna jingga mulai menampakkan dirinya saat sang mentari hendak pulang ke peraduannya.

"Hei, apa kamu suka senja?"

Setiap kali aku menatap senja, entah kenapa pertanyaan itu selalu muncul di benakku. Pertanyaan yang keluar dari mulut Fia saat kita bertemu untuk pertama kalinya.

~Flashback~

Ku berjalan menaiki tangga menuju atap sekolah dengan membawa sebuah pedang kayu. Aku biasa berlatih saat senja. Akan tetapi, langit senja adalah pemandangan yang paling tidak aku sukai.

Aku tiba di atas atap sekolah. Kutaruh tasku didekat pintu tangga setelah itu aku langsung mengambil kuda-kuda. Ku ayunkan pedangku kedepan secara vertikal.

Pada ayunan kelima, aku menyadari bahwa ada seseorang di sekitarku. Ia berdiri di dekat pagar pembatas sambil menatap langit. Pandanganku terpaku padanya. Perempuan berambut pendek sebahu dan mengenakan seragam akademi Mouriara itu berdiri membelakangiku.

"Apa yang sedang kau lakukan disini?" Aku memberanikan diri untuk menyapanya.

Ia menoleh ke arahku. Mata hijaunya itu menatapku seolah-olah dirinya ingin bertanya balik kepadaku. Ia tersenyum.

"Hei, apa kamu suka senja?" Ia membalas pertanyaanku dengan sebuah pertanyaan.

"Tcih... Senja adalah hal yang paling tidak aku sukai di dunia ini." Jawabku dengan serius.

"Sikapmu itu dingin ya, pantas semua orang tidak pernah berbicara padamu." Balasnya sambil tersenyum.

"Apa kamu mengejekku?" Aku mulai marah. Ku angkat pedang kayu yang kubawa dan langsung menyerangnya.

"Jadi......."

Trakkk...

"Untuk apa kamu mengayunkan pedang?" Ia melanjutkan ucapannya sambil menahan seranganku dengan tangan kanannya.

"Untuk memberi pelajaran kepada siapa saja yang merendahkanku." Jawabku. Aku mundur beberapa langkah darinya.

Ia hanya tersenyum. Setelah itu, ia mengibaskan tangan kanannya. Aku kembali terkejut karena ia menggunakan lengan boneka kayu.

"Jadi, apa kamu berpikir bahwa aku merendahkanmu?" Ekspresinya berubah. Senyum yang ia perlihatkan padaku mendadak sirna.

"Apa kamu tidak mempunyai tangan kanan?" Tanyaku balik.

Ia tidak meresponku. Ekspersinya tetap tidak berubah. Ia melepas lengan kayu yang dipakainya dan meniupnya. Lengan kayu itu berubah menjadi dedaunan lalu terbang diterpa angin. Ia berjalan melewatiku dengan menundukkan kepala.

"Tunggu, siapa namamu?" Tanyaku. Ia menghentikan langkahnya.

"Lesfia, itulah namaku."

"Tolong, jangan kau hapus senyuman itu dari wajahmu." Kata-kata itu keluar dari mulutku secara spontan.

"Aku tidak menghapusnya kok, aku hanya kesal dengan sikapmu itu." Ucapnya. Ia meneruskan langkahnya dan meninggalkanku.

~End flashback~

Ku tersadar dari lamunanku saat seseorang mengetuk pintu depan. Denga setengah malas, aku melangkahkan kakiku.

"Iya, dengan Fasma disini." Ucapku sambil membuka pintu. Seorang pris paruh baya berdiri di depan pintu rumahku.

"Hai, perkenalkan, namaku adalah Julian, dan aku adalah orang yang menyewamu kemarin." Kata laki-laki itu.

"Masuklah." Ucapku.

"Tidak usah, aku kesini hanya untuk menyerahkan foto orang yang harus kau bunuh." Ia memberi selembar foto padaku.

"Baiklah, aku akan berusaha semampuku." Ucapku tanpa melihat foto itu.

"Ok, semoga berhasil. Jika kau ingin tahu lebih banyak tentang targetmu, kau bisa bertanya padaku." Ia menghilang bersaman dengan berakhirnya kalimat itu.

Aku kembali lagi ke kamar. Kulihat sekilas foto yang Julian berikan padaku. Betapa terkejutnya diriku saat mengetahui bahwa orang yang menjadi target ku adalah Lesfia.

*****

Malam ini, Fatih mengeluarkan sebuah tongkat dari ruang rahasia di rumahnya. Ia membawanya ke halaman samping rumahnya.

Dipandangnya sekilas tongkat yang ia pegang itu. Tongkat dengan panjang 190 cm itu memiliki semacam pembatas berwarna keemasan.

Fatih mencoba menarik bagian diatara logam keemasan itu. Dan alangkah terkejutnya ia saat mendapati bahwa tongkat itu adalah sebuah pedang berjenis katana. Pedang itu memiliki betuk mirip dengan shirasaya¹, namun panjangnya hampir sama seperti nodachi².

"Yuki?" Ucap Fatih saat melihat sebuah tulisan pada bilahnya. Ia merasakan bahwa ada sebuah sihir yang tertanam di pedang itu.

*****

~Fasma pov~

Pagi ini aku memutuskan untuk tidak mengikuti pelajaran. Aku lebih memilih untuk menyendiri di atap sekolah. Entah kenapa aku memutuskan untuk menenangkan diri sebelum kembali ke kelas.

"Apa yang kau lakukan disini?" Suara seseorang membuyarkan lamunanku.

"Siapa kau?" Tanyaku.

"benar juga ... Kemarin aku belum sempat memperkenalkan diri, namaku adalah Fatih." Ia menghampiriku. Suasana menjadi hening.

"Terima kasih, kau telah menyelamatkan Lesfia kemarin." Ucapku sambil mengalihkan pandanganku.

"Jangan berterima kasih padaku, ini semua...." Ia menghentikan ucapannya. Wajahnya mendadak menjadi lebih serius. " Apa kau ada masalah yang menyangkut keselamatan Lesfia?"

Aku heran, bagaimana ia bisa tahu soal masalahku. Padahal aku yakin belum memberitahukan masalah ini pada siapapun.

"Dari mana kamu bisa tahu tentang itu?"

" Itu adalah salah satu kemampuanku, semacam sebuah prediksi atau sebuah firasat lebih tepatnya." Ekspresinya tidak seserius yang tadi.

"Benar, aku mempunyai...."

"Jika kau benar-benar suka padanya...." Ia menyela ucapanku. "Maka kamu harus melindunginya." Ia berkata lirih.

"A ... Aku ... Tidak...."

"Lagi pula, aku merasakan sebuah firasat buruk yang akan terjadi pada Lesfia..." Ia kembali menyela ucapanku. Aku terkejut dengan apa yang baru saja ia ucapkan.

"Apa kau kemari hanya untuk mengatakan itu?"

"Tidak juga, sebenarnya aku sedang dihukum karena tidak mengerjakan pr ... Jadi, daripada berdiri di luar kelas, lebih baik aku kesini untuk berlatih." Ucapnya.

"Apa kau perlu teman? Aku bisa menjadi lawan latihanmu lo." Ucapku sambil tersenyum.

"Boleh saja, aku akan menggunakan senjata asli loh." Ia tersenyum.

"Tidak masalah,datanglah ... Aqua!" Dengan percaya diri, aku pun memanggil senjata sihirku.

"Wahai roh salju, datanglah padaku ... Yuki!" Ia mengeluarkan sebuah pedang katana yang sangat panjang. Bahkan lebih panjang sedikit dari pada tinggi tubuhnya.

*****

Jam sekolah telah usai, para murid berhamburan keluar dari gedung utama. Mereka semua pulang menuju rumah mereka masing-masing. Tapi tidak dengan Lesfia. Ia menuju atap sekolah untuk memandangi indahnya langit senja.

Fia berdiri ditempat yang biasanya ia tempati. Kali ini, ia tidak memandang langit seperti biasanya. Matanya tertuju pada taman yang ada di depan gedung utama. Dipandangnya hamparan bunga mawar putih dari tempatnya berdiri.

Bunga-bunga yang bermekaran itu sempat membuatnya terpaku untuk beberapa saat. Ia tidak menyadari bahwa Fasma berdiri memandangnya dari sudut taman itu.

Sebenarnya momen seperti ini adalah momen yang tepat untuk menghabisi nyawa Fia. Tapi entah kenapa Fasma tidak melakukannya dan malah memilih untuk menghampiri Fia. Ia melangkahkan kakinya untuk naik ke atap sekolah

"Re Lesfia, apa yang kamu lakukan disini?" Ucap Fasma dengan tegas. Mendengar suara Fasma, Fia pun menoleh kebelakang. Senyum di wajahnya tidak terlihat sama sekali.

"Kau sendiri ada perlu apa? Baru kali ini kau yang datang menghampiriku." Fia membalasnya dengan sebuah pertanyaan.

"Aku kemari hanya ingin memperingatkanmu, bahwa mulai sekarang kau harus berhati-hati." Kata Fasma.

"Itu saja, apa tidak ada yang lain?" Fia kembali bertanya.

"Hari ini, aku melepaskanmu ... Tetapi tidak dengan besok." Fasma semakin serius.

"Aku tidak mengerti apa yang kau maksud?"

"Sebenarnya aku mendapat tugas untuk membunuhmu, aku akan memberimu kesempatan selama 24 jam untuk mempersiapkan diri."

"Oh, jadi begitu." Fia sama sekali tidak terkejut mendengar penjelasan Fasma.

"Bersiaplah Fia." Fasma membalikkan badannya meninggalkan Fia.

"Hei Fasma, apa kamu akan terus berada di jalan yang penuh dengan darah? Sejujurnya aku berharap kamu keluar dari pekerjaan ini." Fia berkata lirih.

"Mungkin, aku tidak akan bisa lepas dari jalan yang ku pilih." Fasma menghentikan langkahnya.

"Satu hal lagi, terima kasih telah menyelamatkanku dari serangan Eidelweis kemarin, dan jika aku telah tiada, apa kamu bisa menggantikanku sebagai penyihir yang terpilih?"

"Entahlah, lihat saja nanti." Fasma melanjutkan langkahnya.

Ini adalah pertama kalinya bagi Fasma. Ia merasakan sedikit rasa bimbang di hati kecilnya.

~Anni Pov~

Sore ini aku pulang lebih lambat dari biasanya. Tugasku sebagai sekretaris osis semakin bertambah, apalagi menjelang kompetensi penyihir tahunan akademi Mouriara. Aku keluar dari gedung utama dan kulihat Fia sedang berdiri melamun di sebelah pintu.

"Fia, kamu belum kembali ke asrama?" Tanyaku.

"Tidak juga, aku baru mau pulang." Ia menoleh kearahku.

"Kamu kenapa?" Kulihat Fia tidak seperti biasanya. Ia nampak tidak bersemangat.

"Aku ... nggak apa-apa kok." Ia mengelak.

"Beneran?" Aku mulai penasaran.

"Iya, oh ... aku pergi dulu, ada sesuatu yang harus aku lakukan."

"Tapi Fia...." Ia berlari meninggalkanku. Aku merasakan ada sesuatu yang ia sembunyikan.

Seketika suasana menjadi tenang. Tidak ada suara apapun kecuali suara burung-burung yang terbang kembali ke sarangnya.

Diriku seperti terpaku di tempat ini. Kulihat matahari mulai kembali ke peraduannya. Sisa-sisa awan berwarna jingga mulai menghilang dan digantikan oleh gelapnya langit malam.

"Kamu belum pulang Anni?" Suara Fatih mengagetkanku.

"Lho, kamu sendiri ngapain belum pulang?" Tanyaku.

"Entahlah, hari ini aku merasa ada yang aneh di gedung ini."

"Kemampuanmu itu sesuatu banget ya." Aku mengalihkan pandanganku darinya.

"Emang apa hubungannya, kalau hal ini sih,  penyihir lain juga bisa merasakannya." Fatih mengelak. Ia memang tidak terlalu suka dipuji.

"Sudahlah, itu tidak penting." Balasku singkat.

"Yasudah, kamu mau pulang kan? bareng aja yuk, rumah kita kan searah."

"Boleh." Balasku.

*****

Malam ini, Fasma mempersiapkan senjata yang akan ia gunakan besok. Meskipun ia masih merasa bimbang, tetapi ia berusaha agar tidak menunjukkan perasaan itu. Jauh didalam hati kecilnya, ia masih menyukai Fia. Walaupun ia tidak pernah bisa menyampaikan perasaannya itu.

Setelah sekian lama, saat senja merenggut nyawa ibunya. Saat itu juga ia menutup hatinya.

Kini seseorang telah membuka hatinya kembali. Dan saat ini ia harus membunuh orang yang ia suka.

Ditempat lain, Fia sedang memandang langit yang dipenuhi bintang. Ia masih memikirkan apa yang dikatakan Fasma tadi sore. Ia berpikir Tidak masalah jika ia harus mati. Dengan begitu, sihir terlarang re creators tidak akan ada yang bisa mewarisinya.

Selama ini, ia masih menyukai Fasma didalam hatinya. Walaupun ia tidak menyukai sifat dingin yang dimiliki oleh fasma.

Keesokan harinya, kegiatan sekolah berjalan seperti biasa. Tapi bagi Fia, hari ini adalah hari terakhirnya di dunia.

~bersambung~