Pagi ini, semua terasa normal. Kegiatan di sekolah pun berjalan seperti biasanya. Tapi hari ini, Fia tampak gelisah. Ia tidak fokus pada pelajaran. Matanya terus melihat keluar jendela.
"Lesfia! Perhatikan jika gurumu menerangkan!" Suara pak Edmund mengagetkannya. Semua pandangan langsung tertuju padanya.
"Ma ... Maaf pak" Ucap Fia lirih. Pak Edmund kembali ke materi yang ia jelaskan.
Saat istirahat telah tiba. Sebagian besat murid menuju ke kantin. Tapi tidak dengan Fia. Ia masih duduk di bangkunya.
"Hei, apa kamu baik-baik saja Fia?" Tanya Hikari. Ia adalah teman dekat Lesfia.
"Entahlah." Jawab Fia singkat.
"Sebenarnya aku udah penasaran dari kemarin, karena aku merasa ada yang sedang kamu sembunyikan." Anni menghampiri mereka berdua.
"Fia, ada apa? Kenapa kamu nggak cerita ke aku?" Hikari kembali bertanya.
"Apa aku harus menceritakannya." Kata Fia.
"Ya jelas harus!" Ucap Hikari dan Anni bersamaan. Lesfia menceritakan semua yang ada dalam benakknya.
"Kalau begitu katakan apa yang bisa kami bantu?" Tanya Hikari.
"Tidak perlu, aku tidak mau membawa kalian dalam masalah ini." Kata Fia.
"Tapi Fia...."
"Tidak!" Jawab Fia tegas. Ia lalu meninggalkan mereka berdua.
~Anni pov~
"Iiihh ... Fatih dimana sih." Ucapku kesal karena tidak bisa menemukan Fatih dimanapun.
Aku sudah mencarinya ke seluruh penjuru sekolah, tetapi aku tetap tidak bisa menemukannya. Aku sudah lelah mencarinya, dan dia menghilang disaat aku membutuhkannya.
Fatih Fatih Fatih, kamu dimana sih....
"Mencariku ya..." Ia mengagetkanku.
"kenapa kamu tiba-tiba ada disini?!"
"Mungkin karena kamu menyebut namaku sebanyak 3 kali." Ucapnya sambil bercanda.
"Emang pengaruh ya?" Ucapku dengan ekspresi datar.
"Nggak juga sih, kebetulan saja aku sedang lewat di belakangmu." Sahutku.
"He Fatih, boleh aku minta pendapatmu?" Tanyaku.
"Tentang apa?"
"Tentang Lesfia." Aku mulai serius.
"Jadi kau sudah tahu tentang hal itu." Fatih menyandarkan badannya di tembok.
"Lho, darimana kamu bisa tau?"
"Itu rahasia, lagian biarkan saja mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri." Fatih tersenyum. Senyumannya membuatku jengkel.
"Ini menyangkut masalah hidup dan mati tahu, kenapa kamu malah bicara seperti itu!"
"Tidak baik mencampuri urusan orang lain, apalagi mereka meminta kita untuk tidak ikut campur, yang bisa kita lakukan hanyalah percaya pada kemampuan mereka."
"Tetapi tetap saja...."
"Lagi pula, aku yakin Lesfia tidak akan terbunuh." Ia menyela ucapanku.
~Lesfia pov~
Angin sore menerpa diriku yang sedang berdiri di atap sekolah. Menatap Sang Mentari yang perlahan tenggelam menyisakan mega berwarna orange di langit. Mungkin itu pemandangan yang sangat indah menurut orang lain, namun tidak bagiku. Rasa takut masih menghantuiku semenjak Fasma mengatakan bahwa ia adalah seorang pembunuh bayaran yang ditugaskan untuk membunuhku.
Ku tundukkan kepalaku sejenak lalu memutuskan untuk kembali ke asrama. Setibanya didepan asrama, ada seseorang yang sedang menunggu kedatanganku. Seseorang yang sangat kukenal. Dia adalah Fasma. Aku pun memutuskan untuk menghampirinya.
"Lesfia, ada yang ingin ku bicarakan." Ia membuka percakapan.
"Disini bukan tempat yang tepat untuk bicara, lebih baik kita mencari tempat lain saja." Balasku. Lalu kami pun kembali ke atap sekolah.
Setibanya di atap sekolah, ku putuskan untuk membuka percakapan. " Apa kau datang kemari untuk membunuhku?" Tanyaku.
"Terus terang, sebenarnya aku ragu untuk membunuhmu."
"Kenapa, apa karena aku seorang wanita?" Sahutku.
"Bukan." Jawabnya singkat.
"Jangan kau kira aku akan memohon belas kasihan padamu, aku adalah pemegang marga Re yang terakhir, jadi kapanpun kau membunuhku, aku pasti siap." Jawabku.
"Baiklah, aku akan tarik kata - kataku, dan sekarang juga aku akan menguji sesiap apakah dirimu." Ucapnya sambil mengeluarkan pistol dari sakunya.
Aku kembali menghela nafas dan mulai menutup mataku." Baiklah, aku siap" Kataku.
Apakah ini adalah akhir dari hidupku, dibunuh oleh seseorang yang telah menyandang gelar Dewa Kematian pada usia 11 tahun.
Prakk...
~Fasma pov~
Kulempar pistolku ke lantai lalu ku peluk erat - erat tubuh Lesfia. Dibawah langit senja yang indah ini, keraguanku terjawab sudah. Re Lesfia, gadis ini layak untuk ku lindungi.
"Apa ... yang kau lakukan ... Fasma?" Tanya Lesfia.
"Kau tidak seperti yang dia bicarakan." Jawabku.
"Dia siapa?"
"Re Julian." Jawabku sambil melepaskan pelukanku.
"Paman, sebenarnya apa lagi yang dia inginkan setelah membunuh semua anggota keluaga Re." Ucap Lesfia. Air matanya mulai menetes. Aku pun mengusap air matanya.
"Dengar Fia, aku akan membatalkan kontrak ini, aku tidak sanggup jika disuruh membunuhmu." Aku berusaha menghibur Lesfia.
"Kenapa kamu melakukan itu, bukankah itu memang pekerjaanmu." Ucapnya lirih.
"Jika itu berarti aku harus membunuhmu, lebih baik aku tidak melakukannya." Sahutku sambil mengalihkan pandanganku. Sekilas ku melihat Lesfia tersenyum. Senyum yang telah lama menghilang darinya.
"Jadi, apa kamu suka senja?" Tanyanya.
"Aku sudah tidak lagi membencinya."
"Lalu, untuk apa kamu bertarung?" Kedua pertanyaan itu terlontar dari mulut Fia. Ia menanyakan pertanyaan yang sama seperti pertanyaan yang ia tanyakan pada saat kita pertama kali bertemu.
"Semua itu.....hanya untuk melindungimu." Jawabku sambil memeluk kembali tubuh Lesfia. Aku merasa bahwa perasaan yang selama ini kupendam mulai meluap kembali.
"Apa kamu menyukaiku?" Bisiknya. Satu pertanyaan yang sederhana, namun mungkin membutuhkan waktu yang lama untuk menjawabnya.
"Ya, a..aku m..menyukaimu." Jawabku dengan sedikit gugup. Seketika wajah Lesfia pun menjadi merah merona, lalu ia segera menyembunyikan wajahnya di dalam pelukanku.
Langit senja menjadi saksi atas diriku yang baru saja memulai sebuah jalan hidup yang baru. Keputusanku untuk melindunginya mungkin dapat membuatnya lupa akan kesedihan yang selama ini ia rasakan. Dibawah langit yang perlahan mulai menjadi gelap karena kehilangan cahayanya, yang menyimpan masa lalu yang kelam untukku. Mungkin ini akan menjadi akhir dari kenangan masa lalu yang kelam itu.
Lesfia, seorang gadis yang kehilangan anggota keluarganya 5 tahun yang lalu. Gadis yang mampu memikat hati ini, yang mampu menarikku dari semua bayangan masa laluku. seseorang yang membuatku merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya.
~Lesfia pov~
Ku baringkan tubuhku diatas kasur, sambil menatap langit - langit kamarku yang berwarna biru. Aku masih tidak menyangka bahwa paman masih mengincar nyawaku, walaupun sudah 5 tahun berlalu semenjak ia merenggut nyawa ayah dan ibu beserta seluruh orang bermarga Re lainnya. Bahkan adikku sendiri menghilang setelah kejadian itu.
Sekali lagi air mataku mengalir. "Ayah.... ibu...., apa yang harus aku lakukan, bahkan aku belum berhasil menemukan Alisia?" Tanyaku dalam hati.
Sesekali aku teringat kata kata Fasma tadi sore. Namun aku juga tidak mau melibatkannya dalam masalah ini. Lalu aku pun terdiam sejenak.
"Kyaaaa..., apa yang telah kulakukan....." Aku baru menyadari bahwa aku terlalu terbawa suasana. Lalu aku pun memutuskan untuk tidur.
~Fasma pov~
Malam ini aku memutuskan untuk menemui Julian. Seperti biasa, aku menunggunya di sebuah gang yang sepi.
"Hei tuan Dewa Kematian, apa yang membuatmu ingin bertemu denganku? Apa kau sudah membunuhnya?" Seperti biasa, tak ada suara langkah kaki atau hembusan angin. Memang ku akui bahwa sihir perpindahan miliknya hampir mendekati kata sempurna.
"Aku memanggilmu karena ingin membatalkan kontrak kita." Ucapku.
"Oh, jadi sekarang kau tidak sanggup untuk membunuhnya?"
"Jangan bercanda, aku hanya ingin berhenti dari profesiku sebagai pembunuh bayaran, tidak lebih." Sahutku.
"Tcih... jadi kau berniat membuang gelar dewa kematianmu, apa ini sebuah lelucon?"
Ia memalingkan wajahnya.
"Meskipun gelar itu sudah ku buang, toh tidak akan ada yang mampu mengambilnya kecuali mereka mempunyai pengalaman yang sama sepertiku." Balasku.
"Sayang sekali, mungkin aku akan menggunakan pembunuh bayaran yang lain." Jawab Julian sedikit kesal. Ia pun langsung menghilang begitu saja.
~Lesfia pov~
Sinar mentari pagi menembus masuk menerangi kamarku. Karena sekarang hari minggu, aku bisa sedikit santai.
'Tok, tok, tok'
Sepertinya ada seseorang yang mengetuk pintu kamarku. 'Siapa sih itu, menggangu hari liburku aja.' batinku. Dengan sedikit rasa malas, aku pun membuka pintu.
"Ya..... dengan Lesfia, ada perlu apa? eh...Fasma." Aku pun sedikit terkejut.
"Yo, aku disini."
"Ada apa, kenapa kamu kemari?"
"Aku ingin mengajakmu keluar, apa hari ini kamu bisa."
"Eh..." Jawabku sedikit heran. Kenapa tiba-tiba ia mengajakku keluar.
"Kenapa, emang salah ya kalau aku mengajak orang yang aku sukai untuk pergi jalan jalan?"
"Tu...tu...tunggu, a...ap...apa maksudmu ki...kita berdua...." Jawabku agak terbata.
"Bisa jadi seperti yang kamu pikirkan." Ucapnya dengan percaya diri.
"Serius?" Tanyaku untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi.
"Iya, buruan siap siap, aku akan menunggumu di bawah." Balasnya sambil membalikan mendorongku masuk ke kamar. Dengan sedikit malas aku pun menuju ke kamar mandi.
~Fasma pov~
Beberapa menit berlalu, tidak ku sangka aku akan mengajaknya jalan-jalan. Awalnya aku berniat ingin tahu lebih banyak soal dirinya. Huh, semoga saja hari ini berjalan lancar. Tak lama kemudian, ia menghampiriku. Aku hampir tak menyangka, seorang gadis berambut pendek sebahu, menggunakan terusan berwarna merah muda berenda dan menggunakan sepatu hitam berdiri di depanku. Ya, gadis itu adalah Fia, ia jauh lebih cantik dari biasanya.
"Apa kamu benar benar Fia?" Aku hampir tidak mengenalinya karena penampilannya sangat berbeda dari biasanya.
"Apa kau tidak bisa mengenaliku? Oh iya, kita mau kemana hari ini?" Tanyanya. Aku tersenyum seraya membalas.
"Ada banyak tempat yang ingin ku tunjukkan padamu, jadi apa kita bisa berangkat sekarang?"
"Um~" Ucapnya sambil menganggukkan kepala.
~bersambung~