Melawan Horor dengan Sidekick Kelinci Biru

RasendriyaN
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 5.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prolog

Beberapa hari belakangan, wanita itu tak bisa tidur tenang. Setiap kali menyelesaikan tugasnya mencuci piring, mematikan keran, mengeringkan tangannya, ia mendengar suara gemeresak. Menoleh, tak ada apa-apa. Ia menganggap mungkin cuma perasaannya, atau peralatan dapur aluminiumnya bergeser sedikit dan jatuh.

Itu hari pertama, sekarang sudah ketiga, secara beruntun. Ia yang normalnya cuek karena kelelahan jadi acuh juga. Saat dicek, benar, panci dan wajan aneka warnanya yang cantik-cantik beberapa jatuh dari posisi asalnya, tergeletak berantakan.

Serta merta dirapikan.

Masuk kamar tidur, ia menanggalkan seluruh pakaiannya dan langsung berselimut, sudah kebiasaannya. Kemudian menyalakan pendingin ruangan dengan perintah yang dipicu oleh sensor gerak. Teknologi terkini. Dengan bertepuk tangan tiga kali, lampu di seluruh rumah akan mati, dan pendingin ruangan kamarnya akan menyala. Praktis, bukan?

Mendekati tengah malam, ia kembali mendengarkan kersak, namun kali ini lebih nyaring. Tikus, pikirnya yakin. Keluar kamar dengan penampilan berantakan dan sapu di tangan, ia siap menumbuk si hewan kecil sampai tewas. Sayangnya, yang dicari sudah kabur.

Keesokan harinya, sepulang kerja wanita tersebut membongkar belanjaannya, perangkap tikus. Makan malam iga bakar bukan tanpa alasan, ia lapar, ya. Tapi juga karena tulang yang tersisa akan diletakkan pada pusat permukaan lengket, umpan agar si pengerat bersedia meletakkan jari-jari mungilnya yang menjijikkan pada perangkap itu.

Mencuci piring, mematikan keran, meredupkan lampu, tak ada gemeresak seperti kemarin. Belum. Si wanita hanya terkekeh kecil membayangkan si rodentia bercicit pilu, bergelinjang hebat, berpikir bahwa ia sedang meronta meski sebetulnya hanya gemetar kaku dalam siksa.

Sekarang, malah hawa dingin membelai tengkuknya.

Si wanita sampai menutup belakang lehernya dan berpaling ke belakang cepat-cepat. Tidak ada siapapun, ia tahu itu. Dan sebelum disadari, sensasi dingin tadi telah sirna.

"Apa sudah dekat musim dingin?"

Ia pun berjalan ke kamarnya, melepas seluruh pakaian, dan tidur. Keesokan harinya, telanjang, ia berlari keluar kamar. Cemberut. Tikus yang dikiranya bakal tertangkap, absen. Mungkin saja pengerat kecil itu sudah pergi jauh, pikirnya.

Esoknya, sabtu, wanita itu libur. Ia mengutuk hari libur. Khusus kali itu saja. "Kenapa harus sabtu?"

Ia mengecek ponselnya. Tak menemukan apa yang diinginkan, dimatikan. Lagipula bodoh bila ia berpikir misal hari ini di kantor akan ada yang mengucapkan sepatah dua kata, ia pegawai baru, belum kenal terlalu dekat dengan rekan-rekan kerjanya.

Hingga sore, si wanita malang hanya menghabiskan waktunya makan, minum, merokok, dan menangis. Meringkuk di sofa, membiarkan pipinya basah selagi berbisik lirih mengenai seberapa ia rindu keluarganya. Ayah, ibu, dan kakak. Sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka semua berada di satu ruangan yang sama. Ruang tunggu bandara.

Wanita itu berharap mereka bisa datang ke depan pintunya khusus untuk hari ini saja. Meski ia tahu, mustahil.

Malam tiba. Mencuci piring, mematikan keran, mengeringkan tangan, masih tak ada gemeresak seperti kemarin. Tikus itu sudah pergi. "Bahkan tikus meninggalkanku," rutuknya.

"Piyama? Aku masih berharap?" Ia meletakkan si baju tidur kembali ke almari.

Si wanita pun berjalan ke kasur, berniat menghabiskan jam-jam terakhir hari spesialnya dengan tidur saja. Namun, gemeresak terkeras minggu ini membahana. Senyaring simbal. Akhirnya, tikus yang mengusik tidurnya berhari-hari membuat kesalahan besar, dan besok sudah dipastikan jadi bangkai dalam kantong plastik yang akan terombang-ambing nengendarai aliran sungai di bawah jembatan.

Ia bergegas mencengkeram sapu, tetapi, ada suara tepukan. Pendingin ruangannya menyala. Lampu seisi rumah mati, gelap gulita.

"Apa," ucapnya pendek, tercekat. Gelagapan ia bertepuk tangan, kembali menyalakan lampu seisi rumah.

"Maaf, kami bodoh bertepuk tangan, haha."

Wanita itu terbelalak. Cahaya lampu jingga menimpa keempat sosok di hadapannya; ayah, ibu, dan kakak laki-lakinya. Kesemuanya berpakaian rapi. Kesemuanya tersenyum lebar. Lilin yang menyala dengan apinya yang kecil, meski kalah pada terangnya lampu, jauh lebih berarti.

"Selamat ulang tahun!" seru keempatnya.

Si wanita itu tak bisa berkata-kata. Air mata lagi-lagi menitik di tepi matanya. Air mata yang berbeda dari saat ia memeluk dirinya sendiri di sofa tadi sore. Bila saat itu karena sedih, sekarang yang ia rasakan adalah keheranan. Bukan, jeri.

Ketakutan.

Pakaian-pakaian rapi beraroma tanah, kotor. Setelan yang mereka kenakan pada hari pemakaman tiga tahun yang lalu, setelah kecelakaan pesawat merenggut hidup mereka. Berkulit pucat, membalut daging busuk kebiruan dengan jahitan kasar dan paku-paku memenuhi sekujur tubuhnya.

Si wanita gemetar hebat, ia menjerit berkali-kali, terjatuh, menendang-nendang udara sambil menutupi wajahnya, menangis hebat.

"Pergi! Pergi! Bukan ini yang aku inginkan!"

Terlambat untuk mengurungkan permohonan egoisnya tadi sore.

"Ini hadiahmu, sayang, kamu dari kemarin menginginkan ini, kan?"

Sang ayah, dengan kedua tangannya yang dipenuhi jahitan dan daging yang tampak, menyerahkan apa yang sedari tadi dipegangnya; tikus yang dipasangi lilin. Si mamalia kecil yang malang bercicit pedih, di badannya rongga besar menganga, menguarkan aroma amis dari darah segar, bercampur dengan lelehan lilin yang tertanam pada luka tersebut. "Jauh lebih baik dari kue apapun yang pernah kamu makan."

"Ayo, adik, makanlah!" sang kakak, tersenyum, mengeluarkan laba-laba dari mulutnya, mendekat.

"Iya sayang, makanlah," sang ibu, memiliki jahitan-jahitan longgar di dadanya yang mengeluarkan cacing, mendekat.

Sang ayah, mengikuti, turut mendekat, menyerahkan 'hadiah' yang telah ia buat untuk anak wanitanya.

"Jangan mendekat," si wanita mundur, menendang-nendang lantai, "Pergi!"

Tak satupun menggubrisnya. Setelah itu, cuma jerit pedih yang bisa terdengar.

Selagi di depan pintu rumah si wanita, seseorang tengah duduk di pinggir jalan seperti gelandangan. Matanya yang sayu mengabsen kalimat demi kalimat pada buku yang tengah dibawanya seperti kitab, 'Pet Sematary'. Sebelum akhirnya ia menjilat pelan salah satu ujung halaman, kemudian menutup novel tersebut.

"Menyatukan keluarga yang lama terpisah, bukankah aku orang baik, Church?"

Yang ditanyai, seekor kucing berbulu hitam-oranye, tidak menjawab. Bukan hanya karena ia tidak bisa bicara seperti manusia. Tetapi juga karena ia sedang menyantap seekor tikus. Tikus yang bercicit menggiriskan, merasakan sakit perutnya digerogoti taring seekor kucing, dengan lahapnya.