Seorang wanita berparas cantik mengendarai mobilnya dengan keadaan berantakan. Kedua matanya sembab akibat terus saja menangis, begitu juga rambutnya yang tak terurus dengan baik.
Dari penampilannya sudah pasti dia mempunyai masalah. Masalah yang sulit sehingga dia memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya. Dia tak tahan dengan perlakuan sang suami yang tak menghargai dan tak menghormatinya sebagai seorang istri.
Semua usaha dia lakukan dengan menjadi seorang istri yang baik dan mencintai suaminya. Namun, tak ada itikad baik dari suaminya itu hingga dia memutuskan untuk berpisah.
Akhirnya si wanita sampai di depan rumah orang tuanya sendiri. Dia merapikan penampilannya agar orangtuanya itu tak curiga. Setelah melihat ke cermin dan merasa penampilannya sudah baik, dia lalu keluar dari mobil.
Belum menekan bel rumah, pintu rumah terbuka menampakkan sesosok wanita yang dia kenal. "Lisa," ucap wanita itu padanya. Lisa-si wanita, tersenyum paksa dan memeluk si wanita yang berada di hadapannya.
Ingin sekali menangis dipelukan Ibunya itu namun dia mencoba untuk tetap tegar dan menyimpan kesedihan yang dia rasakan. Lisa melepaskan pelukan tersebut dan beralih mencium tangan sang Ibu.
"Bagaimana kabar ibu?" tanya Lisa pada Ibunya.
"Baik kalau kamu?"
"Baik juga bu." balas Lisa sambil memasang senyum palsu. Ibunya tersenyum tapi kemudian dia celingak-celinguk seperti mencari seseorang.
"Lisa, mana suamimu? Kok dia tak datang bersamamu?" Pertanyaan tersebut membuat Lisa bergetar. Dia takut kalau Ibunya akan tahu persoalannya dengan sang suami.
"Mm, dia se-sedang bekerja bu, Ibu tahu 'kan dia sibuknya bagaimana." jawab Lisa berbohong pada Ibunya.
"Oh benarkah? Tak apa-apa, Ibu tak percaya anak-anak Ibu akan berkumpul di rumah Ibu," ujar Ibu Lisa.
"Anak-anak Ibu? Maksud Ibu apa?" tanya Lisa tak mengerti.
"Ayah, Lizzy! Lihat siapa yang datang?" Mata Lisa melebar mendengar nama Lizzy, saudara kembarnya yang bekerja sebagai direktur utama di sebuah perusahaan terkenal.
Datanglah dua orang yang dipanggil tapi Tetapi kedua matanya tertuju pada Lizzy yang semakin mendekat. Lizzy memeluk Lisa begitu juga sebaliknya.
"Aku merindukanmu," ucap Lizzy.
"Aku juga. Kapan kau datang? Kenapa kau tak memberiku kabar?" tanya Lisa setelah melerai pelukan.
"Dia sengaja buat kejutan untuk kami, tak sangka kau juga datang jadi kita sekeluarga bisa berkumpul seperti dulu saat kalian masih kecil." tutur Ayahnya sambil menepuk kepala Lizzy.
Lisa memeluk Ayahnya dan menyalimi juga. "Kalian bertiga masuklah duluan, Ibu mau beli beberapa barang dulu buat masak makanan kesukaan kalian."
"Asyik, Ibu aku pergi dengan Ibu ya untuk beli." pinta Lisa manja.
"Tidak usah bantu Ibu, kamu itu tamu."
"Ini juga rumahku Ibu, apa salahnya aku membantu Ibu sama seperti waktu kecil dulu."
"Baiklah, ayo kita pergi." Lisa bersorak gembira dan berjalan meninggalkan rumah beserta Ibu. Lizzy yang awalnya tersenyum simpul mendadak memandang punggung Lisa dengan datar.
"Ada apa Lizzy?" tanya sang Ayah pada Lizzy. Dia tahu bahwa ada yang tak beres saat Lizzy merubah ekspresinya.
"Apa Ayah tak menyadari sesuatu?" Ayahnya mengkerutkan dahi.
"Dia menghindari kontak mata denganku. Begitu juga dengan sifatnya, dia terkesan selalu melebih-lebihkan." jelas Lizzy. Dia lalu menatap pada Ayahnya yang masih bingung.
"Lisa punya masalah Ayah. Dia tak ingin kita mengetahuinya."
💟💟💟💟
Lizzy selalu memperhatikan gelagat Lisa. Dia tahu ada yang aneh dengan saudarinya itu tapi kenapa Lisa menutupi masalahnya? Lizzy tumbuh besar bersama dengan Lisa.
Dia sangat mengenal baik kepribadian Lisa walau beberapa tahun belakangan Lizzy sangat sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang direktur utama sebuah perusahaan tapi dia tak pernah melupakan keluarganya termasuk saudaranya.
Makan malam telah usai, Lisa duduk di teras halaman belakang sambil membaca buku hariannya sewaktu dia kecil. Dia tertawa saat membaca dan mengingat kejadian lucu.
Tetapi kemudian dia menangis. Dia rindu dengan peristiwa lucu itu. Lisa ingin memutar masa lalu dan dapat kembali ke masa di mana dia sangat berbahagia.
"Lisa," Lisa terkejut dan mengesat air matanya dengan kasar. Dia menoleh ke belakang dan mendapati Lizzy berdiri dengan pandangan datar.
"Oh Lizzy," balasnya dengan senyuman getir. Lizzy mendekatinya dan duduk di samping Lisa yang kembali membaca buku harian.
"Kenapa kau menangis?" tanya Lizzy to the point.
"Aku mengingat masa lalu sewaktu kita kecil. Aku ingin kembali ke masa-masa itu." jawab Lisa jujur.
"Oh iya, aku lupa bertanya padamu dari tadi? Kenapa kau datang sendiri di mana suamimu, siapa namanya ya ... ah, Saga Pranaja benar 'kan?"
Lisa hanya mengangguk cepat tapi tak memandang Lizzy. Lisa tahu Lizzy bukan orang sembarangan. Dia sangat berbeda dengan Lisa. Jika Lisa adalah gadis ceria dan selalu bisa berkawan baik.
Berbanding terbalik dengan Lizzy yang memiliki kepribadian tertutup tapi sangat ambisius. Lizzy pun tak bisa dibohongi terutama Lisa. Itu sebabnya dia menghindari kontak mata.
"Mm, dia lagi sibuk dengan pekerjaannya. Jadi dia hanya menitip salam pada kalian." jawab Lisa berbohong.
"Benarkah?" tanya Lizzy tak percaya sembari menautkan alisnya. Lisa mengangguk cepat sambil terus berpura-pura membaca diari.
Lisa terkejut saat dagunya disentuh oleh Lizzy. Dipalingkannya wajah Lisa agar mereka bertatatap muka. "Katakan padaku yang sejujurnya, apa kau bahagia dengan pernikahanmu bersamanya?"
Tak ada jawaban dari Lisa yang ada hanyalah pedih memikirkan kehidupan pernikahannya yang tak sesuai dengan ekspektasi. Kedua mata Lisa menyiratkan semuanya dan tanpa suara Lizzy tahu bahwa Lisa sedang mempunyai masalah dengan suaminya.
"Lisa, tatap aku." Lisa patuh dan menatap pada kedua mata Lizzy.
"Apa kau bahagia dengan pernikahanmu?" tanya Lizzy sekali lagi. Melihat bahwa Lizzy sangat ingin tahu bahwa apa dia mempunyai masalah menandakan bahwa Lizzy sangat peduli padanya.
Dia tersenyum pahit, apa ini berkah atau kesialannya mempunyai saudara seperti Lizzy yang selalu bersamanya dan menjadi tempat sandarannya saat dia sedih. Bagaimana Lisa tanpa Lizzy.
"Aku baik-baik saja. Pernikahanku baik bersama Saga." jawab Lisa sambil tersenyum palsu.
'Dia berbohong padaku, tapi kenapa?' tanya Lizzy bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
"Kalau begitu syukurlah, kalau kau bahagia aku juga bahagia." Lisa tersenyum simpul sebelum berucap terima kasih.
💟💟💟💟
Beberapa hari kemudian, Lisa dan Lizzy masih tinggal dengan orang tua dengan alasan masih rindu sama Ayah dan Ibunya karena sudah lama mereka tak bisa kumpul bersama.
Hari itu Lizzy sedang asyik menonton TV yang menampilkan film kesukaan Lizzy. "Lizzy," panggil Ibunya dari dapur.
"Iya Ibu," balas Lizzy dari ruang keluarga.
"Coba kamu tanya sama Lisa di mana dia taruh kecap yang dia baru beli." minta Ibunya.
"Ya Bu, tunggu sebentar." balas Lizzy kembali dan berjalan menuju ke kamar Lisa. Dia lalu mengetuk pintu sambil memanggil nama Lisa namun tak ada jawaban.
Sampai ketiga kali, Lizzy tak tahan dan membuka secara paksa pintu kamar. Lizzy heran ketika dirinya masuk ke dalam kamar. Tak ada cahaya yang masuk karena jendela masih terkunci rapat sedang lampu di kamar Lisa tak berfungsi.
Dia tak bisa melihat apa-apa di dalam kamar jadi dia memutuskan untuk berjalan pelan. "Lisa."ucap Lizzy berhati-hati. Lizzy terperanjat saat kakinya terantuk sesuatu.
Lizzy merasa tak enak dan mengambil ponsel yang ada di saku celana untuk melihat apa yang dia tabrak. Pertama yang dia sorot adalah sepasang kaki yang menghalangi jalan kemudian tubuh seorang gadis.
Wajah Lizzy entah kenapa memucat tiba-tiba. Perasaannya makin buruk saat senter ponsel mencapai pergelangan tangan yang dibawahnya terdapat cairan merah kental. Matanya membulat menemukan Lisa tengah pingsan dengan wajah pucat pasi.
"Li-Lisa.." Lutut Lizzy lemas dalam sekejap. Tangan Lizzy meraih pergelangan tangan Lisa dengan gemetaran dan menemukan luka yang cukup besar di tempat urat nadi tangan Lisa. Darah terus saja merembes keluar dari luka sehingga mengotori tangan Lizzy yang memegang.
Otak Lizzy selama beberapa menit tak bekerja karena syok yang melanda. "I-Ibu ... Ibu!!"
Sontak saja Lizzy memanggil Ibunya yang berada di dapur dengan panik. Lizzy dengan cepat mengambil handuk kecil, menutup pergelangan tangan Lisa yang mengeluarkan darah. Setelah itu dia mencoba menyadarkan saudara kembarnya itu namun sama sekali tak ada respon.
Ibu yang baru saja masuk langsung menjerit syok melihat salah satu anaknya sedang tak sadarkan diri dengan kondisi memprihatinkan. Lizzy segera menelpon ambulans dan Ayahnya untuk memberitahu kabar ini.
Tak lama kemudian ambulans datang dan orang-orang sibuk memasukkan Lisa ke dalam ambulans untuk dibawa sementara Lizzy mencari suatu bukti agar menguatkan keyakinannya.
Tak butuh waktu lama untuk Lizzy mendapat sebuah bukti yaitu surat pengakuan yang ditulis oleh Lisa sendiri.
Untuk Keluargaku yang aku sayangi
Ayah, Ibu, dan Lizzy. Aku minta maaf, aku telah berbohong pada kalian bahwa kehidupan pernikahanku baik-baik saja. Dia dan aku tak pernah berbagi ranjang, sifatnya juga tak pernah baik padaku karena pikirnya aku hanya menghalangi kebebasannya. Dia tak mencintaiku seperti aku mencintainya.
Tapi jangan menyalahkan Saga. Akulah yang salah, aku tak bisa menjadi istri yang baik baginya. Maafkan aku Ayah, Ibu, Lizzy aku bukan anak dan saudara yang baik bagi kalian.
Dari Lisa
Lizzy meremas tepi surat itu saat membacanya. "Dasar naif, walau kau sudah disakitinya kau masih tetap saja melindunginya." gumam Lizzy datar. Dia lalu keluar dari rumah dan mengendarai mobilnya. Dia juga tak lupa mengunci pintu rumah.
Hanya butuh beberapa menit, Lizzy akhirnya sampai di rumah sakit tempat Lisa dirawat. Dia lalu menanyakan pada seorang perawat di mana Lisa dirawat.
Begitu sampai di kamar Lisa, dia masuk dan disambut oleh Ibunya dengan pelukan yang terisak. Lizzy mengusap punggung Ibunya berharap agar wanita paruh baya itu. "Bagaimana keadaannya?" tanya Lizzy pada Ibu yang sudah mulai tenang.
"Kata dokter, Lisa pingsan karena kehilangan banyak darah. Beruntung dia tak mengiris urat nadinya sehingga dia masih selamat." jawab Ibu sendu.
Lizzy geram, rahangnya mengeras mengingat surat yang ditulis oleh Lisa. "Ini semua salah Saga!" ucap Lizzy tiba-tiba.
"Apa maksud..." Lizzy segera menyodorkan surat pengakuan Lisa pada orang tuanya dan berjalan menuju dekat Lisa.
"Lisa tak pernah bahagia dengan pernikahannya bersama Saga, dia membenci Lisa dan aku membencinya!"
"Aku membencinya karena dia menyakiti saudaraku." Lizzy kembali memandang orangtuanya yang terkejut.
"Aku akan pergi ke rumah mertua Lisa untuk mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi dan meminta mereka bercerai secepatnya."
Mereka lebih terkejut dengan keputusan Lizzy sangat berani. Saat ini Lizzy menatap sendu pada Lisa. Tangannya terulur membelai rambut Lisa dengan penuh kasih sayang.
"Aku akan melakukan sesuatu agar dia bisa bebas dari suaminya yang brengsek itu." Lizzy lalu berjalan keluar dari kamar Lisa dirawat tanpa memberikan waktu untuk orang tua menasehati.
Lizzy berjalan di koridor dengan pikiran yang berkelabat. Dari arah berlawanan seorang dokter berjalan mendekati Lizzy. Begitu keduanya saling melewati, kedua mata si dokter melirik pada Lizzy.
Tampak matanya melebar mengenal wanita yang berjalan melewatinya. Tangan dokter itu segera meraih lengan Lizzy yang sontak saja membuat wanita cantik itu menoleh pada si dokter. "Kau Lizzy Cetta 'kan?"
Lizzy mengkerutkan dahi mencoba mengingat tampang Dokter yang tidak asing. "Dimas?" Dokter itu tersenyum lebar.
"Kau masih ingat aku, wah kau cantik sekali aku hampir tak mengenalmu." ujar Dimas sambil menatap pada Lizzy dari atas ke bawah.
"Aku juga hampir tak mengenalmu, kau sudah menjadi dokter sekarang." balas Lizzy.
"Yah siapa sangka, aku mantan atlet bulutangkis junior bisa menjadi dokter sekarang sama sepertimu, atlet bulutangkis melegenda yang masih memegang rekornya sebagai atlet putri bulutangkis Indonesia yang berhasil menduduki peringkat pertama dunia sekarang menjadi direktur utama di sebuah perusahaan terkenal." celetuk Dimas panjang lebar.
"Terima kasih, senang bisa mengingat kenangan itu." ujar Lizzy.
"Oh iya kenapa Lisa bisa melukainya sendiri? Apa dia punya masalah? Kebetulan akulah yang merawatnya." kata Dimas penasaran.
Dimas adalah patner Lisa saat mereka berdua masih bermain bulutangkis. Dimas sangat mengenal bagaimana sifat Lisa yang ceria, melihat kondisinya yang memprihatinkan pasti ada sesuatu masalah.
"Aku tak punya banyak waktu untuk menjelaskan, tapi tolong jaga baik-baik Lisa. Aku punya urusan yang penting."
"Jangan khawatir, saudaramu berada di tangan yang tepat." Lizzy tersenyum simpul dan pergi. Tahu kalau Dimas adalah dokter yang menangani Lisa membuatnya sangat lega.
Pikirannya kembali terfokus pada Saga Pranaja, pria yang membuat Lisa hampir terbunuh. Pemikiran tadi sepertinya tak cukup efektif untuk menjadi hukuman bagi Saga.
Dia memberhentikan mobilnya di tengah perjalanan menuju ke rumah mertua Lisa. Dia mencubiti bibirnya memikirkan sesuatu ide gila yang akan membuat pria itu menyesali seumur hidup.
Sudut bibirnya terangkat kala mendapat sebuah ide yang menurutnya sangat gila. "Kau sudah menyakiti saudaraku Saga, kini giliranku yang menyakitimu. Akan kulakukan apa saja agar kau bisa merasakan apa yang saudaraku rasakan."
Lizzy kembali menjalankan mobilnya dengan tujuan yang berbeda yaitu ke rumahnya.