Chereads / Alta dan Allamanda / Chapter 58 - Bab 30 B | Bad Chrismast

Chapter 58 - Bab 30 B | Bad Chrismast

30.Bad Chrismast bag. 2

Ada banyak hal yang memerlukan sebuah penjelasan panjang untuk oranglain pahami dan mengerti.

***

Kalka menarik lengan Vero agar lelaki itu berhenti dan menghadapnya. Tapi, belum sempat berkata, Vero malah menghempaskannya dengan kasar dan berjalan lagi menuju mobilnya.

"Gue bakal jelasin semuanya. Tentang siapa yang sebenernya salah dalam masalah ini." Kalka tidak beranjak dari tempatnya membiarkan gerimis menyentuh tubuhnya. "Selama ini lo cuma nyalahin gue sama Raskal. Sedangkan Raskal nyalahin gue sama lo. Jadi, gimana kalo sekarang gue nyalahin kita semua dalam masalah ini biar lebih fair?"

Vero tidak jadi membuka pintu mobilnya. Ia diam tanpa mau berbalik.

"Alinka bukan bunuh diri," lanjut Kalka.

Di sisi lain, Raskal yang baru saja ke luar langsung diam di tempat mendengar pernyataan Kalka.

Vero berbalik. "Jadi sekarang apa? lo mau bilang kalau lo yang udah bunuh dan dorong Alinka?"

Kalka malah tersenyum. "Lo masih sama kayak dulu. Suka menyimpulkan suatu hal dengan mudah tanpa mau cari tahu dulu kejelasannya. Ini yang bikin hidup lo rumit. Masalah kecil bisa jadi bumerang kalau pemikiran lo terus kayak gitu."

Vero berjalan cepat menuju Kalka dengan raut emosi lalu mendaratkan sebuah pukulan di wajah Kalka. Kalka terhuyung ke belakang. Ia diam tidak melawan ketika Vero mencengkram kerah kemejanya.

"Kalau lo cuma mau nyeramahin gue mending lo pulang dan jangan pernah nampakin muka lo di depan gue lagi!" geram Vero kemudian menghempaskan Kalka begitu saja. "Dasar, pembunuh."

Lalu Kalka memalingkan wajahnya ke samping. "Lo masih aja bilang gue pembunuh padahal udah jelas kejadian waktu itu pure karena Alinka jatuh sendiri. Meskipun beberapa orang kemudian bilang Alinka bunuh diri." Kalka kembali menatap Vero. "Dan lo juga dengan mudahnya percaya gitu aja kalo Alinka bunuh diri dan lo bilang semuanya gara-gara gue."

"Emang itu gara-gara lo! Coba aja lo nggak pacaran sama Liora, Alinka nggak bakal ngelakuin hal itu. Lo tahu sendiri dia cinta sama lo dan lo malah nolak dia terus." Ini akan jadi kalimat terpanjang Vero setelah lama tidak berbicara dengan Kalka.

"Waktu Alinka udah ikhlasin lo. Lo malah pacaran sama orang yang jelas-jelas Alinka benci. Lo pacaran sama Liora."

Vero memandang Kalka dengan raut benci. Matanya memerah. "Seminggu sebelum dia pergi. Lo tau apa yang Alinka bilang waktu cerita sama gue? Dia bilang kenapa lo nggak jadiin Alinka selingkuhan lo aja. Kenapa lo harus sama Liora."

Raskal merasakan sakit di hatinya mendengar penjelasan Vero. Jadi, selama ini benar jika Alinka tidak pernah bisa mencintainya.

"Gue tahu Alinka suka ke gue dan gue tahu seberapa bencinya Alinka ke Liora apalagi setelah dia tahu kalau gue pacaran sama Liora. Alinka emang sempet bilang, dia kecewa sama gue." Kalka sekuat tenaga menahan rasa dingin yang menyergap tubuhnya.

"Awalnya gue juga suka Alinka." Pengakuan Kalka tersebut membuat Raskal dan Vero mengepalkan tangannya. "Tapi gue terlalu pengecut dan nggak seberani Raskal. Lo inget? Dari awal lo udah wanti-wanti gue sama Raskal buat nggak suka ke Alinka. Lo bilang, karena kita 'beda'." Dengan sedikit gemetar Kalka berdiri dan melanjutkan perkataannya. "Seandainya gue lebih berani ataupun lo ngijinin gue sama Alinka. Gue yakin, Alinka masih ada disamping gue sekarang."

Kalka tersenyum miris ke arah Vero. "Lo tahu apa yang gue rasain waktu itu? Waktu liat orang yang pernah gue cintain mati dengan cara kayak gitu? Gue ngerasa dunia gue berakhir."

Vero diam begitu pula dengan Raskal yang masih tidak ikut campur.

"Tapi kejadian di rooftop nggak semuanya tentang hal tadi," lanjut Kalka.

"Waktu itu Alinka narik gue yang masih makan di kantin buru-buru ke rooftop. Sampe di atap dia langsung meluk gue dan nangis. Dia bilang lo marahin dia gara-gara dia pulang tengah malem. Lo tahu seberapa tertekannya Alinka waktu lo marahin dia terusan dan bilang dia penyebab kematian tante Arina?"

Vero mencoba mencerna semua perkataan Kalka. Ia merasakan sesak mengingat kejadian itu.

"Dia ngerasa ucapan lo bener kalau dia udah bunuh nyokapnya sendiri. Berkali-kali gue yakinin dia kalau dia nggak salah tapi dia malah nangis terus dan bilang kalau nanti dia mau pulang ke rumah gue aja soalnya dia bilang dia udah nggak punya siapa-siapa lagi. Om Adrian terlalu sibuk waktu itu dan lo malah diemin dia."

"Yang gue inget jelas, dia down banget waktu itu. Ingatan tentang kecelakaan di depan rumah lo dia jelasin dengan rinci. Dia terpaksa nginget semuanya buat diceritain ke gue agar dia ngerasa lebih lega."

"Waktu itu dia bilang, dia cuma mau nolongin anak anjing yang kakinya patah di tengah jalan. Tapi tiba-tiba aja nyokap lo teriak ngedorong Alinka dan biarin dirinya ditabrak mobil. Alinka jelas shock waktu ngelihat tante Arina terpelanting dan berakhir di aspal. Makanya dia jadi benci banget sama anak anjing." Kalka menengadah ke langit. Tidak ada bintang. Langit gelap.

"Terus setelah lama hal itu nggak diungkit, lo malah bawa hal itu ke permukaan lagi dan nuduh Alinka penyebab kematian tante Arina cuma gara-gara dia pulang tengah malem."

Vero merasakan matanya memanas. Berat rasanya untuk mengakui bahwa ia juga salah dalam hal ini.

Kalka menatap Vero. "Waktu Alinka dibawa ke rumah sakit, lo tau kenapa gue milih nyusul belakangan?" Kalka menghela napas. "Bukan karena gue nggak peduli. Gue pergi ke kelas dia dan ngambil tasnya. Lo tau? Tasnya penuh sama baju-baju dan nggak ada bukunya sama sekali. Dia bener-bener serius mau pergi ke rumah gue. Gue nggak pernah lihat Alinka sefrustasi itu sampai mau pergi dari rumah."

Sebut saja Kalka cengeng karena ia menangis sekarang. Ia mengingat dengan jelas semunya. Bahkan baju-baju dan tas Alinka masih ia simpan di rumahnya. Semuanya masih dengan posisi yang sama karena Kalka tidak pernah mengotak-atik ataupun mengeluarkan isinya.

"Seandainya lo tanya baik-baik dulu dan nggak ngucapin hal yang nyakitin perasaan dia, mungkin dia masih disini. Ke gereja bareng lo dan bokap lo setelah itu dia bakal ngerengek minta gue sama Raskal dateng ke sini dan makan bareng kayak biasanya biar rame. Terus dia bakal nagihin kita kado. Biasanya dia bakal minta hadiah jam weker soalnya setiap pagi jamnya pasti rusak gara-gara dia lempar. Katanya rame. Padahal dia sendiri yang ngatur jamnya buat bangun pagi." Kalka terkekeh mengingat kebiasaan menggemaskan Alinka itu. "Adek lo lucu ya..."

Setelah itu, Kalka mengusap airmatanya dengan kasar.

"Sebenernya, dia pulang tengah malem karena habis dari rumah Kaila. Kaila bilang, dia dan mamanya nemuin Alinka di pinggir jalan sambil nangis. Setelah gue paksa cerita waktu itu kejadiannya gimana dia bilang dia dapet SMS dari Talitha." Kalka menatap Vero. "Lo inget Talitha yang suka sama Raskal?"

Vero mengangguk. Disisi lain, perasaan Raskal jadi tidak enak.

"Talitha nyuruh Alinka ke rumahnya. Dia bilang ada hal yang mau dia sampein tentang Raskal." Kalka tersenyum. "Entah kenapa Alinka nurut gitu aja, mungkin karena dia udah sadar sama perasaanya ke Raskal waktu itu."

Sekarang Kalka merasakan tubuhnya seperti membeku karena basah kuyup. Ia tidak terbiasa dengan dingin sedangkan gerimis masih saja terus turun. Kepalanya jadi sedikit pusing.

"Setelah sampai di rumah Talitha dia malah dapet surprise yang mungkin akan ia inget terus sampai kapanpun," papar Kalka. Ia mengusap wajahnya dari air. "Dia ngelihat hal yang seharusnya nggak dia lihat. Lo tau apa yang Alinka lihat?"

Vero menatap Kalka.

Dengan suara gemetar karena dingin, Kalka berkata. "Dia ngelihat Raskal having sex sama Talitha."

Tatapan Vero sontak teralih pada Raskal yang masih diam sejak tadi.

"Padahal, disisi lain Alinka udah mau ngelupain gue dan coba belajar buat cinta ke Raskal. Buktinya dia mau dateng waktu Talitha bilang mau ngebicarain suatu hal tentang Raskal."

"Sekarang yang gue nggak ngerti kenapa lo sampe ngelakuin hal bejat itu, Kal?"

Pertanyaan Kalka jelas ditujukan ke Raskal. Raskal beregeming. Ada rasa menyesal pada dirinya. Vero yang melihat itu langsung menghampiri Raksal dan meraih kerah baju Raskal.

"Kenapa? Lo mau pukul gue sedangkan lo juga bersalah?" tantang Raskal dengan suara serak dan bergetar.

Mendengar itu Vero langsung menghempaskan Raskal begitu saja. Ia mendudukkan dirinya di tangga teras sambil mencengkram rambutnya karena emosi. Ia mendengar Kalka melanjutkan bicaranya.

"Tapi kesalahan gue disini karena gue nyuruh dia teriak dipinggir pembatas rooftop biar dia lebih lega. Habis teriak Alinka langsung ketawa, gue seneng liat dia ketawa waktu itu. Rasanya beda. Kejadiannya cepet banget, waktu dia mau balik ngadep gue, dia kepleset. Jantung gue berasa berhenti denger dia jerit dan dia udah nggak didepan gue lagi."

"Waktu gue ngelihat ke bawah, disana udah banyak orang ngerubunin Alinka. Gue bingung. Rasanya gue pengen loncat juga waktu itu."

Kalka menghadap ke belakang. Ia memandang Vero dan Raskal bergantian.

"Sebenernya gue nggak mau ceritain semua ini karena gue mau biarin kalian bebas dari rasa bersalah. Gue nggak keberatan kalian mau benci atau dendam sama gue. Tapi lo, Roo..." Kalka memandang Vero. "Lo udah bawa Lamanda ke dalam masalah ini dan malah ngelampiasin kebencian lo ke gue melalui dia. Gue nggak bisa diem aja dan ngebiarin lo terus nyakitin Lamanda yang nggak tahu apa-apa. Makanya gue ngomong jujur semuanya sekarang."

Kalka menyeka air hujan yang mulai menghantarkan dingin ke permukaan wajahnya. "Gue harap setelah ini nggak bakal ada rasa benci lagi. Mungkin kita udah nggak bisa temenan kayak dulu lagi karena sekarang kita udah bener-bener beda."

Kalka mendekati Vero. Ia mengulurkan kotak kado kecil dari kantongnya. "Dari Lamanda. Dia bilang sebagai ucapan maaf. Padahal dia nggak punya salah ke lo. Lucu ya? "

Melihat itu Vero diam. Ia memandang kotak berwarna merah tua itu tanpa ekspresi. Setelah itu, ia mengambilnya.

"Gue harap setelah ini lo nggak bakal gangguin Lamanda lagi." Sambil merapikan penampilannya, ia melanjutkan bicaranya. "Ayo masuk. Anggap aja ini terakhir kali gue sama Raskal nemenin lo makan malam."

Kemudian Kalka masuk meninggalkan dua orang yang masih tenggelam dengan memori mereka masing-masing di masa lalu.

Ada banyak hal yang mereka sesali. Semuanya karena pemikiran mereka yang terlalu terburu-buru untuk menyimpulkan suatu hal.

Perlahan pertahanan keduanya runtuh saat sesuatu yang hangat menjalar di pipi mereka.