Taruhan?
Apa Alex berniat menjadikanku dan Anitha sebagai taruhan?.
Seberkas rasa tidak suka perlahan tumbuh. Aku paling membenci yang namanya taruhan.
Karena kata itu mengingatkanku bahwa dirimu di samakan dengan sebuah barang. Yang dimana akan di perebutkan jika itu menarik, menghalalkan berbagai cara hingga lupa jika barang itu bisa saja akan rusak atau pecah.
"Dia lagi, dia lagi.. "
Desisan seseorang menyadarkanku.
Rena berada di sana. Wanita itu bergabung dengan kelompok Alex.
Aku secara alami menelusuri pandangan pada teman teman Alex.
Ada Rizal disana. Rena dan beberapa teman Alex yang tidak pernah ku lihat wajahnya. Mungkin mereka tidak satu kampus dengan kami.
Namun, satu pandangan milik sepasang mata yang memperhatikanku dengan tajam, membuatku menoleh untuk memperhatikannya.
Seorang lelaki yang berdiri paling belakang hingga tubuhnya hampir saja tidak terlihat karena terhalangi oleh salah satu teman Alex, terlihat menyeringai.
Ya Tuhan..
Seketika aku merasa duniaku menjadi hitam. Tubuhku mendadak lemas seperti tidak lagi mempunyai tenaga.
Lelaki itu..
Aku berharap semua hanya bagian dari ilusi terburuk, tapi nyatanya sosok itu memang ada.
Menatap tajam dengan seringai mengerikan.
Alfin.
Lidahku bahkan terasa kelu saat harus menyebut namanya.
"Kia.. " sentuhan lembut di jemari menyadarkanku.
Aku menoleh menatap Anitha yang terlihat merasa bersalah.
Seulas senyum coba untuk ku ukir, tidak ingin menambah rasa bersalahnya.
Saat mengedarkan pandangan. Aku tidak sadar Balapan antara Alex dan Jack sudah akan di mulai.
Keduanya sudah tampak siap di garis star.
Seorang perempuan dengan pakaian seksi dan super minim terlihat di antara keduanya.
Perempuan itu lalu melepas bra yang di pakainya sebelum mengangkatnya sebagai tanda balapan telah di mulai.
Menjijikkan!
Motor keduanya lalu melaju kencang. Mencoba menjadi yang pertama.
Aku dan Anitha yang melihat itu menunggu dengan cemas. Berharap Alex bisa menang, kalau tidak aku bahkan tidak dapat membayangkan nasib kami.
Menjadi pemuas napsu binatang Jack dan teman temannya adalah hal yang tidak ingin ku pikirkan.
Aku menoleh melihat ke arah teman teman Alex berada. Mereka bersorak menyerukan nama lelaki itu.
Dan secara mengejutkan Alfin menoleh padaku hingga pandangan kami bertemu.
Seringainya membuatku tanpa sadar mundur hingga menabrak tubuh salah satu teman Jack.
"Jangan mencoba kabur, manis.. " bisik teman Jack.
Aku mendekati Anitha, mencoba mencari perlindungan darinya.
Aku takut Alfin, aku sama sekali tidak ingin bertemu dengannya lagi. Tapi kenapa, dia bisa ada di kota ini.
"Kalo aku nggak ngajak kamu kesini. Mungkin kamu nggak akan dapat masalah seperti ini." ucap Anitha.
Aku meraih tangannya. Menggenggam tangan Anitha memberi kekuatan.
"Aku yakin Kak Alex akan menang. Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau Kak Alex itu nggak pernah kalah. " ucapku menyamangati.
"Kamu benar, Black Angel memang nggak pernah kalah. "
Kami berdua lalu tersenyum. Sebuah senyum palsu yang begitu banyak harapan.
Ya semoga saja. Semoga saja kali ini Kak Alex kembali menang.
Kalau tidak...
Maka aku akan lebih memilih bunuh diri dari pada menjadi boneka pemuas Jack dan kawan kawan.
Dari kejauhan, aku melihat motor Alex yang melaju kencang menuju ke garis Finish, dan..
Hidupku terselamatkan.
Aku dan Anitha bersorak dan saling berpelukan. Rasa lega membuat kami hampir menangis.
"Aku memang tidak pernah salah. Kak Alex memang hebat. " ucap Anitha dengan mata berkaca kaca.
Kelegaan mendapati Alex menjadi pemenang memang tidak dapat di bohongi.
Alex menjadi pahlawan bagi kami malam ini.
"Sial! " Jack melepas helmnya. Menatap Alex dengan kesal.
Alex turun dari motornya. Menyerahkan helm pada Rizal sebelum mendekati Jack.
Teman teman Jack mencoba menghalangi langkah Alex, namun segera menyingkir saat Alex memberinya tatapan membunuh.
"Sekarang kamu sudah kalah Jack! " ucap Alex penuh penekanan.
"Dan kedua wanita ini sudah bebas. "
Jack merasa kesal, marah dan merasa di bodohi. Dia menyesal menerima tantangan Alex, hingga harus melepas dua wanita cantik itu.
"Ini belum berakhir. Aku akan merebut milikku kembali. " ucap Jack mengancam.
Dia dan Gengnya lalu pergi meninggalkan tempat balapan.
Setelah Jack DKK pergi, Alex berjalan mendekati kami.
Dia terlihat sangat dingin.
"Lain kali jangan datang ke tempat seperti ini tanpa penjagaan. " ucapnya.
Matanya bergantian memperhatikan kami.
"Kalian datang naik apa? "
"Ojek online Kak. " jawab Anitha.
"Rizal.. " Panggil Alex pada teman dekatnya.
"Antar Anitha pulang. "
Rizal yang berada di belakang Alex. mengangguk, "oke! "
Anitha yang memang pernah cerita menyukai Rizal, langsung antusias.
Bahkan dia sampai lupa padaku yang berdiri di sampingnya.
Dia langsung berjalan cepat, menghampiri Rizal sengan senyum bahagia.
Tatapan Alex lalu berhenti padaku. Matanya yang indah menatap dengan sorot tajam.
"Kamu.. " jelunjuknya menunjukku, "Aku yang antar. "
"Eh? " aku masih belum shadar.
Apa tadi Alex bilang?
Dia akan mengantarku pulang.
"Tidak bisa! " Sanggah Rena yang sedari tadi hanya diam memperhatikan.
"Kamu datang bareng aku, maka pulang pun harus denganku. Lagi pula di sini masih banyak teman temanmu yang bisa mengantar, Alfin salah satunya. "
Mendengar nama itu di sebut membuatku gemetar.
Aku takut. Bahkan Alfin jauh lebih menyerikan di banding Jack CS.
"Aku rasa Alfin tidak akan keberatan, bukankah begitu Fin? " lanjut Rena, menoleh pada Alfin yang masih diam.
"Ya. " jawab Alfin.
Satu kata itu. Satu kata itu bagai racun yang mematikkan. Dimana kamu akan mati jika meminumnya.
Sama seperti diriku. Aku akan hancur jika benar harus menerima ajakkan itu.
"Baiklah. " ucap Alex pada Akhirnya.
"Tidak! " aku repleks berteriak.
Aku tidak mau. Aku sama sekali tidak mau dekat dekat dengan lelaki itu lagi.
Teriakkanku membuat semua menatap kaget.
"Kenapa? Alfin itu baik. "
"Aku tidak mau Kak... " aku merasa ingin menangis.
Aku ingin mengatakan kejujuran dan alasanku, tapi semua itu hanya bisa tersimpan dalam luka.
"Aku, aku lebih baik pergi sendiri. " ucapku lalu berbalik.
Aku ingin segera lari dan hilang dari pandangan Alfin, tapi Alex menahan tanganku.
Merasa prustasi aku mencoba melepasnya, namun cengkraman Alex cukup kuat.
"Aku tidak mau Kak. Kumohon lepaskan aku. Aku ingin pulang. " ucapku seraya mencoba melepaskan.
"Hei. Kenapa? Alfin itu baik, dia itu-"
"Iblis. Dia itu jahat. Kumohon lepaskan aku.. "
Amarah, takut dan luka membuatku hilang kendali.
Terlebih ketika aku mendengar tawa Alfin saat dia mendengar ucapanku.
Demi apapun, aku membenci laki laki itu.
"Alfin tidak akan menyakitimu. "
"Bohong! " teriakku lagi.
Segala rasa didada membuatku akhirnya kehilangan kendali.
Pertahanan yang ku bangun selama ini di hancurkan seketika.
Air mata mengalir begitu saja.
Andai Alex tahu apa yang pernah Alfin lakukan. Andai dia tahu luka apa yang selama ini laki laki itu torehkan.
Luka, takut dan masalah yang membuatku membenci dunia. Membenci diriku sendiri.
Sampai kapanpun, walaupun aku mencoba melupakan. Kenangan buruk itu akan selalu terbayang dalam ingatan.
Sepasang tangan meraihku dalam pelukan.
Tangisku mengkin mengejutkan Alex dan teman temannya.
Tapi sesak yang ku tahan jauh lebih kuat, hingga tak lagi dapat ku tahan.
Kepedihan dari keping masa lalu akan selalu menjadi mimpi burukku.
Terlebih mereka yang bahagia atas penderitaanku masih melenggang bebas dan tertawa tanpa rasa bersalah.
Bagaimana dunia ini terasa sangat tidak adil?
Usapan lembut membawaku pada kenyamanan. Bukannya berhenti, aku malah semakin menangis.
Tangis yang dulu hanya bisa ku ungkap sendiri. Ketakutan yang selama ini tidak bisa ku bagi.
Kini secara tidak sadar tersalurkan dalam pelukan Alex.
Alex menawarkan sebuah kenyamanan yang perlahan berhasil menenangkan segala gejolak yang kurasakan.
"Jangan menangis. Tenanglah. Alfin tidak jahat. Dia-"
Aku Reflek mendorong Alex.
Menatap lelaki itu dengan marah dan terluka.
Kenapa dia harus mengingatkanku lagi pada lelaki itu.
Di saat ketenangan mulai ku dapatkan darinya, disaat itu pula Alex kembali mengingatkanku.
Apakah dia tidak percaya padaku.
Dan Alfin?
Aku menoleh pada Alfin yang masih setia memperhatikan.
Dan sebuah kata tanpa suara yang di lontarkan Alfin. Membuatku membeku seketika
'Kita bertemu lagi.. '
Bisakah aku menghilang seketika? Bisakah aku pergi? Bisakah?
Bisakah?
Karena kini aku mulai merasakan ketakutan itu lagi.
Ketakutan yang tersisa dari kepingan masa lalu.
Aku benar benar takut, Tuhan..