Malam ini Laras sudah bersiap-siap untuk makan malam bersama bunda dan ayah Todi. Hari ini Laras sengaja baju berkerah tinggi. Dia sengaja menutupi lehernya dari bekas-bekas kelakuan Todi lagi ini. Mereka sudah berangkat setelah Maghrib.
"Kita mau makan dimana?" tanya Laras.
"Kata Bunda sih resto favorit Bunda yang baru" jawab Todi, matanya masih menatap lurus jalanan.
Laras mengingat-ingat kembali saat Bunda sering mengajaknya jalan-jalan. Rasanya banyak sekali restoran favorit Bunda, pikir Laras sedikit geli mengingat ibu mertuanya yang baik hati itu.
"Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Todi heran.
"Enggak, Bunda banyak ya resto favoritnya," jawab Laras, masih tertawa. Dibayangkannya masih terlintas wajah Bunda yang selalu bilang "ini resto favorit Bunda" di semua restauran yang pernah mereka kunjungi.
Mereka sampai di sebuah tempat yang terlihat mewah, dengan arsitektur bergaya Eropa. Laras merasa menyesal tidak memakai baju yang sedikit formil, pakaian dia dan Todi terlalu santai untuk makan di restoran mewah ini, pikir Laras. Setelah menyebutkan nama Bunda, akhirnya seorang pelayan membawa mereka ke sebuah meja yang berada di samping kolam berenang. Cantik sekali, dihiasi lilin-lilin, menambah keromantisan suasana malam itu. Laras jadi ingat suasana kamar hotel mereka saat baru menikah.
"Ayah bunda mana kak?" tanya Laras sambil melihat ke sekeilingnya. Tidak tampak tanda-tanda kehadiran ayah bunda disana, padahal sudah hampir jam 7 malam. Tidak biasanya ayah dan bunda terlambat, pikir Laras.
"Coba aku telpon ya," ucap Todi. Todi mengambil ponsel di saku celananya dan menghubungi nomor ponsel Bunda.
"Halo, Bun, udah sampai dimana?" tanya Todi.
Todi diam sejenak, mengerutkan keningnya lalu mengangguk. Laras tidak mengerti ada apa yang sebenarnya terjadi.
"Ya, oke Bun," ucap Todi. Setelah beberapa saat suaminya memutuskan sambungan telepon.
"Gimana kak?" tanya Laras penasaran.
Todi menghela napasnya.
"Bunda sengaja udah pesankan kita ditempat ini, biar kita bisa makan malam romantis," jelas Todi.
Laras tertawa mendengarnya. Memang ibu mertuanya itu terlampau baik menurutnya. Bunda mengerti sekali kalau anak lelaki satu-satunya ini tidak terlalu bisa berlaku romantis.
"Lebih baik kita pesan makanannya aja kak," ucap Laras sambil tersenyum.
Todi memanggil pelayan. Dia membaca menu sebentar, menolehkan pandangannya kepada Laras.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Todi. Laras menaikkan bahunya.
"Apa aja kak, aku ikut kakak," jawab Laras. Sebenarnya dia tidak terlalu mengerti isi makanan restoran ini.
Todi mengangguk, memesan beberapa jenis makanan kepada pelayan.
"Apakah ingin wine pak?" tanya pelayan. Todi langsung menggelengkan kepalanya.
Ini salah satu yang membuat Laras kagum pada suaminya, tidak seperti beberapa temannya yang sering minum alkohol, Todi sama sekali tidak.
Laras tersenyum memandang suaminya.
"Kenapa liatin gitu?" tanya Todi bingung.
"Enggak apa, lagi pengen liatin wajah suami aku," jawab Laras jujur.
Todi tertawa. Dalam hati dia bersyukur, kehidupan dia dan Laras semakin lama semakin membaik.
"Ras, kamu berapa stase lagi?" tanya Todi.
"Setelah bedah, hanya sisa ilmu kesehatan masyarakat kak," jawab Laras.
"Hmm.. sebentar lagi," ucap Todi, matanya menerawang, seperti memikirkan sesuatu.
"Kenapa kak?" tanya Laras, dia merasa heran.
"Setelah itu, apa kita bisa merencanakan punya anak?" tanya Todi, wajahnya terlihat serius.
Laras langsung membelalakkan kedua matanya, mendengar Todi.
"Mak..maksudnya gimana kak?" balas Laras.
"Iya, ini harus diobrolin serius Ras," jelas Todi.
Laras diam. Menghela napas sedikit berat. Dia sedikit kesal Todi harus membahas sesuatu yang berat saat makan malam yang sudah disiapkan Bunda dengan baik seperti sekarang.
"Hmm..apa tidak bisa kita bahas di rumah kak? Suasana malam ini begitu cantik, rasanya.."
"Oh, maaf, aku hanya teringat..salahku Ras, harusnya kita bicarakan di rumah saja," potong Todi cepat, seperti menyadari raut Laras berubah sedikit kesal padanya. Merasa bodoh, harusnya tidak membicarakan itu dulu, ucapnya dalam hati, mengutuk kebodohan dirinya.
Laras tersenyum manis. Laras menggeser kursinya mendekat ke arah Todi. Dia mengambil tangan Todi dan menggenggamnya.
"Aku mau punya anak kak, tapi tidak sekarang, kakak masih sibuk sekolah, aku juga belum selesai sekolah, belum lagi setelah selesai koasisten aku harus mengikuti program internship kak, kasihan anak kita kalau ada sekarang," jelas Laras.
"Tapi aku semakin tua Ras, aku hampir 30," ucap Todi.
"Masa? Aku pikir kakak berusia 26an loh," candanya sambil pura-pura meneliti wajah suaminya dari dekat.
"Cup!" . Todi mengecup bibir istrinya cepat. Membuat Laras terbengong, dia linglung. Setelah beberapa detik, dia memukul lengan Todi cepat sambil berkata dengan suara pelan.
"Kakak! Bagaimana kalau ada yang lihat!" ucapnya sambil tersipu.
"Aku enggak perduli, kan yang aku cium istri sendiri," jawab Todi dengan santai sambil mengedipkan mata.
Laras mencubit suaminya sambil menggeser kursinya dengan cepat, Todi berniat menahannya, tapi Laras lebih cepat. Todi hanya tertawa, senang hatinya bila sukses menggoda istrinya.
"Ras," panggil Todi.
"Hmmm?" sahut Laras.
"Minggu depan kita berkunjung ke rumah Ayah kamu, bagaimana?" tanya Todi tiba-tiba.
Laras membulatkan matanya, terlihat berbinar-binar.
"Boleh?" tanyanya senang. Laras sudah rindu ayah dan Luna.
Todi mengangguk.
"Sepertinya sudah lama kita tidak bertemu ayah," ucap Todi.
"Benar boleh minggu depan ya kak?" tanya Laras, setengah tidak percaya.
"Iya," jawab Todi.
Pelayan datang membawa makan malam mereka. Laras dan Todi mulai menyantap makan malam mereka.
Setelah makan malam, mereka menikmati suasana restoran itu. Tiba-tiba Todi mengeluarkan sekuntum mawar merah yang dia simpan di balik jaketnya. Sebenarnya dia sudah mempersiapkan mawar ini. Bunda memberi tahu Todi kalau sudah memesan sebuah restauran romantis untuk kencan mereka berdua, jadi Todi langsung menyiapkan bunga mawar untuk diberikan kepada Laras.
"Ras, untuk kamu, sayang," ucap Todi, menyerahkan mawar kepada Laras sambil setengah berlutut.
Laras menutup wajahnya, dia tidak menyangka Todi sudah menyiapkan bunga mawar untuknya. Dia mengambil bunga mawar dari tangan Todi.
"Makasih kak" ucap Laras. Matanya berbinar-binar.
"Aku .. ada satu lagi," ucap Todi. Dia merogoh sesuatu dari kantong jaketnya. Mengeluarkan satu kotak berukir dan membukanya didepan Laras. Didalamnya ada sebuah kalung dengan liontin emas. Laras benar-benar tidak dapat berkata-kata. Dia hanya berdiri dengan linglung. Tidak percaya suaminya bisa begitu manis.
"Aku beli ini waktu lagi di Surabaya, katanya bisa cetak foto didalamnya, aku pakai foto kita pas prewed, ini foto kita berdua, favorit aku," jelas Todi, berdiri dan memakaikan kalung itu ke leher Laras.
"Aku sebenarnya udah mau kasih ini waktu hari pertama balik dari Surabaya, tapi kamu ketiduran mulu sih," jelas Todi.
Setelah selesai dipakaikan, Laras membuka liontin pada kalung itu, melihat foto didalamnya. Itu foto prewed mereka, Laras memakai gaun putih dengan rambut tergerai dan Todi memakai kemeja putih. Laras ingat betul hari itu.
Pikiran Laras kembali ke masa itu. Saat mereka mengambil gambar bersama disebuah studio foto. Hari itu Laras terpaksa menunggu sampai satu jam sebelum akhirnya Todi datang. Padahal Laras sudah dirias selama 45 menit sebelumnya. Saat Todi sampai, wajahnya muram sekali, dia tidak berkata-kata, melirik Laras sedikit dengan wajah dingin, lalu masuk ke ruang ganti untuk berganti baju dan ditata rambutnya. Laras mendekati Todi, tersenyum kepadanya sambil memegang bahu Todi. Dia menawarkan Todi es kopi yang sudah dibawakannya.
"Kak, minum dulu, pasti capek ya," ucap Laras. Todi hanya menatap calon istrinya itu dengan dingin.
"Tidak haus," balas Todi, menepis es kopi dari tangan Laras.
"Oh, maaf, aku kira kakak ingin..,"
"Sudahlah jangan menganggu, biar ini cepat diselesaikan," potong Todi sedikit tidak sabar, menunjukkan ke arah rambutnya yang masih ditata. Laras mengangguk, tidak berani mengeluarkan kata-kata lagi dan pergi dari hadapan Todi. Dia berjalan dengan pelan sekali. Kala itu Laras hanya berkata dalam hatinya berulangkali kalau Todi pasti sedang dalam suasana hati yang buruk, makanya dia begitu kasar. Sampai di luar ruangan, Laras memberikan es kopi itu kepada seorang pekerja yang terlihat mengantuk. Lelaki itu bekerja untuk mengatur set tempat foto. Sore ini sudah menuju malam, pasti semua orang merasa mengantuk. Daripada tidak ada yang minum, lebih baik diberikan ke orang lain, pikir Laras.
"Mas, ini buat mas, biar seger," canda Laras sambil tersenyum.
"Mbak, baik sekali, terimakasih," ucap lelaki itu. Matanya berbinar-binar saat melihat es kopi di tangan Laras.
Sayangnya, Laras tidak menyadari tatapan Todi di ujung ruangan sore itu. Sebenarnya Todi sedikit tidak enak hati. Hari itu dia baru memutuskan hubungan dengan Sarah. Dia sebenarnya tidak ingin pergi untuk foto prewedding saat itu, tapi Bunda memaksa. Saat melihat wajah Laras di sore hari itu, jantung Todi sedikit berdetak lebih kencang. Cantik, pikirnya. Menggelengkan kepala, Todi langsung menghapus perasaan itu dan menggantinya dengan tatapan kebencian pada Laras. Tapi hatinya kesal melihat Laras memberikan es kopi yang baru saja ditolaknya kepada pria lain. Sial makinya.
Todi berjalan dengan cepat mengambil es kopi dari tangan lelaki yang masih berdiri didepan Laras. Lelaki itu masih belum meminum es kopinya.
"Ini minuman yang tadi kamu mau kasih ke aku kan? Maaf mas, saya ambil kembali." ucap Todi, mengambil es kopi dari tangan lelaki itu dan menarik tangan Laras menuju tempat pengambilan gambar. Sementara Laras dan lelaki itu masih terbengong-bengong melihat kelakuan Todi.
"Emm..kak, tadi.. tapi..kakak ..bilang..emm..tidak haus, jadi..aku.." Laras berbicara dengan terbata-bata. Kakinya sibuk mengikuti langkah lebar Todi.
"Aku mendadak haus, kenapa tidak boleh?" tanya Todi dengan ketus. Dia menghentikan langkahnya, menatap lurus wajah Laras dengan tatapan tajam. Tangannya masih memegang lengan Laras dengan erat, membuat Laras sedikit merasakan nyeri. Laras mengerutkan dahinya sedikit tapi tidak berani berkata-kata lagi. Calon suaminya memang sulit ditebak moodnya, pikir Laras sedikit cemas bercampur sedih. Todi tidak memperdulikan ekspresi Laras. Dia melepaskan cengkraman tangannya, dan pergi sendirian. Laras mengikutinya dengan segera.
__________________
"Ras, ..Laras!" panggil Todi, mengguncangkan sedikit bahu Laras. Dia bingung melihat Laras yang tampak melamun.
Sementara istrinya masih sedikit linglung. Bayangan masa-masa persiapan pernikahan mereka dahulu muncul kembali. Sama sekali tidak indah untuk dikenang, batin Laras. Todi selalu bersikap kasar, ketus, dan dingin. Laras hanya bisa menelan sikap Todi dan membalasnya dengan senyuman. Melihat sikap Todi saat ini, Laras tidak sadar langsung menitikkan air matanya. Todi sudah berubah, batinnya lagi.
"Ras, kok malah nangis??" tanya Todi, sedikit panik. Pria ini meneliti wajah istrinya dan menemukan air mata mengalir di wajah Laras. Dia mengambil tisu dan menghapus air mata dari wajah Laras.
"Kenapa? jelek ya kalungnya? aku..nanti aku ganti yang baru ya, atau kamu enggak suka karena nawarnya warna merah? Kamu suka warna apa? Aku..aku.." ucap Todi, bingung mengapa istrinya tiba-tiba menangis. Dia menyesal sendiri mengapa tidak terlalu ingat hal-hal yang disuka istrinya.
Laras menggeleng. Dengan cepat memotong ucapan suaminya.
"Bagus kak, kalungnya bagus sekali. Aku..aku suka bunga apa saja yang kakak berikan padaku. Aku menangis karena bahagia, aku senang kakak sudah berubah," ucap Laras jujur.
Todi tersentak. Dia merasa sedikit malu mendengar kata-kata istrinya barusan. Laras sepenuhnya benar. Kelakuan dirinya kepada Laras benar-benar tidak pantas kala itu, bahkan saat bulan-bulan awal pernikahan mereka.
"Maaf, aku tahu dan sadar, dulu kelakuan aku enggak lebih dari pria brengsek, aku minta maaf Ras," balas Todi, menundukkan wajahnya.
"Kak, jangan begitu.. Sudahlah, kita mulai lagi kan?" Laras berusaha membuat suaminya lebih nyaman. Melihat Todi berubah menjadi seperti ini, ingin rasanya Laras mengucap syukur kepada Allah saat ini juga.
Todi menarik tubuh Laras dalam pelukannya. Mencium rambut Laras.
"Sekali lagi maaf Ras, aku minta maaf," ucap Todi lagi, memeluk dengan lebih erat.
Laras mengangguk, membenamkan wajahnya kedalam dada Todi. Tangannya melingkari pinggang Todi.
"Janji kakak jangan berubah lagi ya," ucap Laras.
"Aku janji Ras, " balas Todi cepat.
Mereka diam beberapa saat. Laras mulai terganggu ketika dia melihat sekitarnya berbisik-bisik.
"Emm..kak, ini masih banyak orang, ini kayanya kita diliatin semua orang deh," ucap Laras. Setelah beberapa saat, dia melihat semakin banyak pasang mata yang melihat mereka berpelukan. Laras berusaha melepaskan pelukan suaminya.
"Biarin aja, siapa perduli, tidak ada yang kenal kita disini, lagian aku peluk istri sendiri kok, sebentar lagi." ucap Todi. Pria itu semakin mempererat pelukannya. Nyaris membuat Laras sulit bernapas, tapi hatinya bahagia. Malam ini serasa hanya milik mereka berdua saja.