Masih dengan rambut acak-acakan, Tian mengambil kunci motornya di nakas. Melempar sejumlah uang ke kasur, tepatnya ke depan wajah wanita pemuas nafsunya malam ini, Tian lalu pergi tanpa mengatakan apapun.
"Besok lagi-"
"No another night, gua cuma mau sekali pakai" potong Tian membungkam langsung wanita itu. Ia lanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
Menyalakan ponsel, ia terkejut melihat dua panggilan dari Tita. Lebih lagi di pukul 01.30 pagi. Adiknya itu sudah bangun tapi dia tidak ada di sana. Rumah sepi, hanya ada para art yang mungkin sudah tidur.
Tian menghela nafas di sela kegugupannya. Hidup jauh dari orang tua ya seperti ini, bisa bebas namun selalu susah. Tian berdecak mengingat orang tuanya yang hanya dua tahun sekali pulang dari rumah mereka di Australia.
Kadang ia berpikir, sekaya itu atau se-tak ingin itu kah mereka direpoti oleh anaknya sendiri hingga memutuskan untuk tinggal di Australia dan membiarkannya bersama sang adik tanpa orang tua di Indonesia.
Tian tersentak dari pemikirannya mendengar bunyi klakson dari arah depan. Matanya membelalak melihat sebuah truck melaju dengan cepat ke arahnya.
Sial!
Ia tak sempat berpikir jernih untuk mencari solusi yang baik. Hanya satu yang terlintas.
Brakk!!
Tian membanting setir ke kiri hingga menabrak pohon keras. Tubuhnya terjepit antara motor dan pohon dengan helm yang sudah lepas. Benturan keras di kepalanya membuat pening hebat ia rasakan.
Hampir saja pandangannya menggelap, raut ceria Tita terlintas di pikirannya. Ia tak mungkin meninggalkan gadis itu sendirian di kamar malam-malam seperti ini.
Di sela bangunnya, Tian tersentak mendengar ledakan keras di belakangnya. Tanpa melihat pun ia tau truck itu sudah terbakar.
Dengan tertatih ia mengangkat kembali motornya yang lecet di sana sini. Mengendarainya dengan kecepatan rendah karena tubuhnya yang sakit.
Sesampainya di rumah, Tian tak sempat memarkirkan motornya karena lelah. Ia biarkan motornya roboh lalu langsung naik ke kamar Tita.
Bahkan belum sampai membuka pintu, nyanyian itu sudah terdengar di telinganya. Nyanyian yang hanya akan terdengar jika gadis itu tengah ketakutan.
Tian memegang knop lalu membukanya perlahan. Suasana kamar yang gelap pantas membuat ketakutan adiknya. Ia melangkah dengan tertatih hingga di depan ranjang, tubuhnya roboh sembari mendekap Tita yang terisak.
"Ssttt... sayang jangan nangis, ini kakak" Ucapnya lirih sembari mengeratkan dekapannya.
"Bentar ya, kakak nyalain dulu lampunya dulu" lirihnya lalu mendapat anggukan kecil. Ia mengecup dahi Tita sebelum berdiri menuju saklar. Menyelakan lampu lalu kembali berjalan menghampiri adik kecilnya.
"Kakak" lirih Tita menubruk dada Tian hingga pria itu sedikit meringis.
"Tita makan dulu yuk" ajaknya namun mendapat gelengan.
"Kenapa? Tita belum makan loh dari siang"
"..."
"Makan yah? Kakak buatin telor mata sapi deh, gimana?"
"..."
"Mau ya sayang, makan bareng kakak."
"..."
"Ntar kalo Tita sakit gimana? Kakak sedih loh"
Tita mendongak, melihat raut kelelahan di wajah kakaknya, akhirnya ia mengangguk sembari mengambil poyongan ranting di rambut kakaknya.
"Kakak kenapa?" Tanyanya sembari mengusap lecet kecil di dahi Tian.
"Kakak jatuh tadi"
"Jatuh di mana?"
"Tadi di depan, gatau ada apa di kaki kakak, jadi kesandung" jelas Tian yang sepenuhnya bohong.
"Hati-hati dong kak" gerutu Tita sembari menyingkap selimut.
Tian mengangguk pelan lalu menuntun Tita ke dapur. Mendudukannya di kursi lalu berbalik untuk memasakkan telur mata sapi untuk gadis itu.
Selesai dengan masakan, Tian menyajikannya di depan Tita yang sudah mulai ngantuk. Ia terkekeh melihat wajah menahan kantuk itu. Sembari membuat susu untuk Tita, Ia mengeluarkan ponsel lalu mengabadikan wajah lucu itu.
"Ayo makan" ucapnya duduk di samping Tita. Perlahan menyuapi gadis itu dengan beberapa kali menyentil dahinya agar tidak tidur. Hingga akhirnya makanan di piring ya ia ambil habis, ia lalu menyodorkan segelas susu yang mulai dingin.
"Minum abis itu baru tidur" ucapnya membawa piring ke westafel lalu mencucinya.
Setelah melihat gelas susu itu kosong, Tian menggendong Tita yang sudah terlelap dengan melipat tangan di meja dan menumpukan kepala di atasnya.
"Maaf ya Ta" ucapnya berlalu ke kamar adiknya.
Dan hari ini cukup membuktikan jika ia belum cukup baik menjadi seorang kakak. Bagaimana bisa meninggalkan seorang gadis kecil demi melepas hasrat.
*****
Jejak huhu