Beberapa saat setelah gadis itu melepas gigitannya, Theresa langsung memberikan pertolongan pertama pada lukaku sebelum disembuhkan oleh Mama Alice dengan sihir healing. Bahkan dengan sihirpun luka tidak akan langsung sembuh, meski healing bisa menghilangkan luka, sihir itu masih meninggalkan lebam dan rasa ngilu dari luka.
"Baiklah sekarang sudah baik-baik saja." Setelah memberiku obat oles untuk mengobati lebam
dan perban, Theresa mengatakan itu dengan lega.
"Uuu... hiks, Nicho bodoh!"
Mama Alice yang dari tadi menunggu dengan khawatir juga langsung memelukku erat, sepertinya aku harus minta maaf karena sudah membuatnya khawatir.
Dan untuk gadis demihuman itu, dia duduk sambil memeluk lututnya di pojokkan. Melihat segel budaknya yang menyala merah, sepertinya dia masih berpikir untuk menentangku.
"Mama, lepaskan aku sebentar, aku ingin bicara dengannya."
"Huh? Nicho, setelah apa yang terjadi kamu masih ingin bicara dengan anak itu?! Nicho, sebaiknya kita kembalikan saja dia!"
Mengabaikan Mama Alice yang marah, aku mendekat pada si gadis kecil yang ketakutan. Ah, setelah aku perhatikan baik-baik aku sadar jika gadis ini sangat kurus, mungkin karena stres yang dia alami membuat nafsu makannya berkurang ... atau dalam skenario terburuk, anak ini tidak mendapat perawatan yang layak.
Gadis itu meringkuk saat aku berdiri di depannya, mungkin karena dia sadar sudah melakukan hal buruk dan tidak bisa lagi melawan, dia jadi takut pada apa yang akan aku lakukan.
Ya, setelah kejadian itu Mama Alice langsung meningkatkan rasa sakit dari hukuman segel budak agar dia tidak bisa melawan, mungkin agak terlalu kejam untuk seorang gadis kecil, tapi tidak ada pilihan lain.
"Tidak apa-apa, aku tidak akan menyakitimu."
Aku tidak tahu apa aku bisa membuatnya lebih tenang dengan mengusap kepalanya. Tapi melihat ekspresi bingung yang dia buat, sepertinya dia mulai mengerti jika aku tidak ingin menyakitinya.
Perlahan aku menggeser tanganku dari kepala menuju pipinya yang lusuh, tersenyum seramah mungkin aku mencoba memberitahu kalau aku tidak ingin menyakitinya.
Ah, ternyata pipinya sangat lembut. Sambil memikirkan itu, tanpa sadar aku sudah bermain-main dengan pipi si gadis kecil, apa aku sudah membuka pintu terlarang di dalam diriku?
"Uuuu....tidak bisa di maafkan, aku masih mentolerir apa yang dia lakukan pada Nicho sebelumnya, tapi sampai merebut hatinya seperti ini... ugh, tidak bisa dimaafkan."
Di belakangku, aku mendengar Mama Alice menggumamkan hal aneh, aku akan pura-pura tidak mendengarnya.
"Theresa bisa tolong siapkan air hangat? Aku akan memandikan anak ini."
"Huh?! Maaf tuan muda, biar saya yang memandikanya."
Theresa mengatakan itu sambil memasang wajah tidak senang mendengar permintaanku, mungkin karena aku dan Mama Alice sudah seenaknya mengambil tanggung jawabnya Theresa jadi merasa diabaikan.
Dan menanggapi apa yang Theresa katakan, gadis kecil itu bersembunyi di belakangku.
"Lihat, sepertinya dia masih takut padamu."
"Tapi tuan muda, bagaimana jika dia melakukan sesuatu yang berbahaya lagi?!"
"Unn,unn! Theresa benar!"
Dan kali ini Mama Alice juga ikut menolak, ah jarang sekali aku melihat mereka kompak seperti ini.
"Aku yakin anak ini tidak akan bisa melakukan sesuatu yang berbahaya setelah Mama menaikan level kekanganya."
Dan apa yang aku katakan berikutnya langsung membuat mereka diam, serius bukankah mereka sendiri yang memutuskan hal itu?
"Baik kemarilah."
Aku menuntun gadis kecil itu menuju kamar mandi, meski dia terlihat takut tapi akhirnya dia mengangguk dan mau mengikutiku setelah aku memaksa.
Setelah sampai di sana aku segera melepas baju lusuhnya, dan di sana aku melihat banyak luka lebam di punggung gadis itu. Sepertinya dia tidak mendapat perlakuan baik di tempat penjual budak, meski tidak terlalu parah tapi melihat berapa banyak luka di tubuhnya membuatku merasa sedih.
"Kau sudah mengalami banyak hal tidak menyenangkan, huh?"
Mengatakan itu lirih, aku menyiramkan air hangat pada rambut coklatnya yang gimbal.
"Kira-kira bagaimana cara membersihkan rambutmu, apa aku harus memotongnya?"
Tapi jika aku memotongnya, itu berarti aku harus menghilangkan sebagian besar dari rambutnyakan? Ugh, apa yang harus aku lakukan?
"Nicho, Mama bawa shampo khusus yang mungkin bisa membantu membersihkan rambut gimbalnya."
Dan saat itu, suara Mama Alice tiba-tiba terdengar dari balik pintu. Merapikan handuk di pinggangku, aku membuka pintu yang memisahkan ruang ganti dengan kamar mandi. Dan disana Mama Alice berdiri membawa botol dengan cairan aneh berwarna ungu di dalamnya.
"Anu... itu manjur'kan?"
"Unn, Mama pernah mencobanya pada domba di peternakan, dan seperti yang di katakan penjualnya, bulu domba itu langsung bersih dan lurus!"
Minta maaf! Minta maaf pada dombanya sekarang juga!!! Aku ingin mengatakan itu tapi aku menahannya sekuat tenaga di ujung lidahku. Mungkin ini hanya perasaanku, tapi jangan-jangan mama Alice itu sebenarnya bodoh?
"Baiklah, aku akan mencobanya."
"Cara penggunaanya, tuangkan satu sendok makan pada mangkuk lalu beri air secukupnya, kamu bisa menggunakanya untuk mencuci rambut atau hanya untuk melembabkan saja."
Menjelaskan dengan nada yang teratur, Mama Alice memberikan cairan itu padaku.
Tapi....
"Kenapa mama buka baju?"
"Sudah jelas mama juga akan membantu'kan?"
"Tapi kenapa harus buka baju?"
"Umm, sudah lama sejak terakhir kali kita mandi bersama jadi mama pikir---huh! Tu-tunggu Nicho, buka pintunya! Nichooo! Kenapa kamu menghindari mama!"
Sudah jelas karena mama terlalu berbahaya untuk anak kecil bermental remaja sepertiku'kan?!
Menahan kalimat itu di kepalaku aku mengunci pintu dan melakukan apa yang sudah Mama Alice jelaskan. Oh cairan itu bekerja, meski perlahan tapi aku bisa melihat warna asli dari rambut gadis kecil itu mulai terlihat. Itu adalah rambut yang indah; rambut berwarna perak yang seharusnya sangat jarang dimiliki oleh demihuman.
***
Hari berlangsung dengan cepat dan setelah makan malam, aku segera memutuskan untuk beristirahat. Ngomong-ngomong, membutuhkan waktu hampir dua jam hanya untuk membersihkan rambut gadis kecil itu, Aaaahh aku lelah.
Kamarku dan Mama Alice berada di lantai dua, sedangkan Theresa berada di lantai satu. Lalu untuk gadis kecil itu, aku tidak tahu di mana dia ditempatkan tapi aku pikir Theresa sudah menyiapkan kamar untuknya.
Beberapa saat setelah memejamkan mata akhirnya aku terlelap, tapi aku terbangun pada tengah malam.
"Aku harus ke kamar mandi."
Sepertinya, karena aku sudah minum terlalu banyak saat makan malam membuatku jadi lebih sering kekamar mandi dari biasanya. Tapi mau bagaimana lagi, minuman penghangat yang Theresa buat dari rempah-rempah sangat enak, saat itu bahkan aku tidak bisa menahan diriku untuk tambah.
Berjalan menuruni tangga aku menuju ke kamar mandi, dan setelah menahan diri di ruang gelap akhirnya aku bisa kembali kekamar dengan lega. Melewati jalan yang sama, untuk pertama kalinya aku mengerti kalau suasana malam di rumah ini cukup menyeramkan.
"Begitu, dulu Mama Alice selalu menemaniku."
Tapi semenjak kamar kami berpisah, aku tidak punya pilihan lain selain melakukannya sendiri. Yah, setidaknya hal ini masih lebih baik dari pada beban mental saat tidur bersama Mama Alice.
Dan saat itu....
"Uwaaaahhh!! Hentikan! Tidak! Mama! Mama!...."
Samar-samar aku mendengar sebuah teriakan dari lorong.
"Itu...!!"
Itu adalah suara si gadis kecil yang sedang ketakutan. Berlari menuju suara itu berasal aku menahan rasa khawatir di dadaku, dan setelah beberapa saat mencari, akhirnya aku menemukan kamar di mana dia di tempatkan.
Dan saat aku membuka pintu ... gadis kecil itu sudah duduk di ranjang sambil memegangi kepalanya.
"Hei, Kau tidak apa-apa?"
Keringat terlihat mengalir deras di wajahnya, dan ekspresi yang dia buat menunjukan ketakutan yang sangat dalam.
Saat aku mendekatinya, gadis itu mulai menangis, seolah dia akhirnya bisa melepaskan ketakutan yang dia tahan. Menaiki ranjangnya dengan hati-hati aku memegang pundaknya.
"Kau tidak apa-apa? mimpi buruk?"
Aku mencoba bertanya, tapi dia sama sekali tidak merespon.
"Tidak ... jangan tinggalkan aku, semuanya...."
Saat aku menggoyangkan pundaknya, tiba-tiba dia mengatakan itu lirih, tubuhnya juga mulai gemetar hebat seolah dia melihat sesuatu yang sangat mengerikan.
Dan melihat dia bersikap seperti itu....
"Tidak apa-apa, aku di sini, kau tidak sendirian."
Tanpa sadar aku sudah mendekapnya. Ah, aku ingat, dulu aku juga pernah melakukan ini pada Ratna, aku ingat saat itu Ratna ketakutan karena mendengar ayah dan ibu bertengkar.
Dan sebagai seorang kakak, aku hanya bisa memeluknya untuk menenangkanya. Mungkin karena aku merasakan perasaan yang mirip seperti saat itu, aku jadi secara reflek memperlakukanya seperti Ratna.
Setelah aku mendekapnya, perlahan aku merasakan tubuh gadis itu mulai berhenti gemetar. Aku juga menyadari jika dia sedang memandangku dengan mata lebarnya; dia terlihat kebingungan.
"Unn, tidak apa-apa. Aku akan menemanimu, jadi kau tidak perlu takut."
Mengatakan itu aku membaringkan gadis kecil itu bersamaku, aku tidak tahu apakah aku akan bisa membantu untuk menghadapi ketakutannya. Tapi saat ini, inilah satu-satunya hal yang bisa aku lakukan.
Gadis itu menekankan kepalanya di dadaku saat aku memeluknya, seolah dia sudah menemukan tempat yang nyaman untuk menyembunyikan wajahnya.
"Hei, aku tidak akan memaksamu menceritakan semuanya, tapi jika kau membutuhkan orang untuk mendengar keluhan hatimu ... aku akan mendengarkanya sampai kau puas."
***
"Hei, aku tidak akan memaksamu menceritakan semuanya, tapi jika kau membutuhkan orang untuk mendengar keluhan hatimu ... aku akan mendengarkanya sampai kau puas."
Mengatakan itu, aku menepuk kepalanya pelan. Aku tidak tahu jika dia akan mendengarku atau tidak, tapi setidaknya aku berusaha untuk membuatnya mengerti jika aku tidak ingin melakukan hal buruk. Meski begitu aku terus menunggunya bicara, setidaknya aku ingin dia memberiku sebuah jawaban.
Tapi, dia tidak menanggapiku sama sekali. Benar juga, aku baru saja membelinya siang ini, mungkin memintanya untuk menerimaku hanya setelah beberapa jam membelinya adalah sesuatu yang terlalu berlebihan. Kalau dipikir-pikir, bahkan ikan hias juga butuh beberapa hari untuk beradaptasi dengan lingkungan akuarium yang baru. Eh, apa aku terlalu jahat menyamakanya dengan ikan hias?
"Kenapa....?"
Dan saat aku hampir terlelap karena menunggu, gadis itu akhirnya bicara.
"Huh?"
Dan apa yang dia katakan sama sekali tidak menjelaskan apapun.
"Sebentar, apa makaudmu dengan kenapa?"
"Kenapa kau sangat baik padaku? Kenapa kau tidak memukulku saat aku menggigitmu? Kenapa kau melindungiku saat kedua orang itu akan menyerangku?"
Dan sekalinya dia bicara, dia langsung menanyakan banyak hal padaku. Tapi sayang, meski dia sudah mau bicara, dia masih tetap menyembunyikan wajahnya.
"Ah, aku juga tidak terlalu mengerti bagaimana harus menjawabnya."
"Apa maksudmu? Kau juga tidak mengerti dengan apa yang kau lakukan?"
Yah, karena aku hanya mengikuti naluriku, aku hanya melakukan sesuatu yang kurasa memang harus aku lakukan, atau mungkin lebih tepat jika dikatakan 'aku hanya melakukan apa yang ingin aku lakukan.'
"Mungkin karena aku hanya melakukan apa yang ingin aku lakukan."
"Hanya melakukan apa yang ingin di lakukan?"
Mungkin dia berpikir jika aku sok pahlawan dengan mencoba menolongnya, tapi sayang ... aku bukan orang sebaik itu, karena aku melakukanya hanya untuk memuaskan ke egoisanku. Aku tahu bagaimana rasanya menjadi orang yang tidak berdaya, aku tahu rasanya menjadi orang yang tidak bisa berbuat apa-apa; sangat menyedihkan, sangat menyebalkan.
Mungkin karena aku pernah merasakan perasaan semacam itulah aku memilih untuk menolongnya, simpelnya; aku hanyalah orang bodoh yang tidak ingin merasakan perasaan bersalah. Meski aku tahu jika aku tidak bisa menyelamatkan semua orang, setidaknya aku ingin menyelamatkan yang terlemah di antara mereka.
"Simpelnya, aku ini hanyalah orang bodoh yang takut dengan perasaan bersalah."
Ah, kenapa aku bisa tersenyum saat mengatakan hal itu?
Gadis itu diam setelah aku menjawab pertanyaanya.
"Kau tahu, dulu aku pernah hampir mencelakakan orang yang aku sayangi, aku hampir membuatnya tersakiti karena kebodohanku."
Ya, mengingat apa yang sudah terjadi pada Ratna, hanya itu yang bisa aku pikirkan.
"Jadi orang itu akhirnya mati?"
"Ti-tidak, dia masih hidup. jika dia mati mungkin aku tidak akan bisa lagi tersenyum seperti ini."
"Jadi kau berhasil menyelamatkanya?"
"Unn, tapi hal itu memerlukan bayaran yang mahal."
Ya, karena aku harus kehilangan hidupku.
"Bayaran yang mahal?"
"Unn, sangat mahal. Mungkin karena aku selalu di bayangi rasa takut 'andai aku gagal menyelamatkanya', aku jadi orang bodoh seperti ini."
Meski begitu aku tidak bisa menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, yah, mungkin dia akan menganggapku gila jika aku mengatakan diriku adalah orang dari dunia lain.
"Ngomong-ngomong siapa namamu."
Mencoba untuk mengubah topik pembicaraan, aku menanyakan namanya.
"Li-Lilliana, Lilliana Silveria."
Dia menjawabku dengan ragu-ragu.
"Lilliana huh? Baiklah Lilli, Jika kau membutuhkan seseorang untuk mendengar keluhan hatimu, aku akan mendengarnya sampai kau puas."
Mengulangi apa yang aku katakan sebelumnya, aku mencoba menekankan padanya jika aku hanya ingin dekat denganya. Tapi, dia justru kembali terdiam.
"Tentu aku tidak akan memaksamu jika kau tidak ingin mengatakanya."
Setelah itu, sampai akhirnya dia tertidurpun dia tidak menjawabku.
***
Bunyi 'shuuu-shuuu' terdengar dari gadis kecil yang tidur di dalam pelukanku, seolah akhirnya dia bisa tidur nyenyak setelah terus-menerus dihantui mimpi buruk.
"Apa sebaiknya aku kembali ke kamar?"
Atau mungkin aku harus menemaninya sampai pagi? Menanyakan itu, aku sedikit menjauhkan tubuhku untuk melihat wajah Lilli yang tidur pulas, seperti yang aku duga dia terlihat sangat manis setelah di bersihkan.
"Tentu anda harus segera kembali kekamar anda."
Dan saat itu, sebuah suara mengejutkanku. Mengikuti arah suara tersebut, aku melihat Theresa berdiri di depan pintu menatap kami. Menjentikkan jarinya dia menyalakan api pada jari telunjuknya, menunjukkan baju tidur sederhana yang dia kenakan.
"T-Theresa! Sejak kapan kau di sana?"
" Sejak anda menanyakan namanya. Ngomong-ngoming Tuan Muda, bahkan jika anda khawatir padanya, saya tetap tidak mengijinkan anda tidur di sini."
"Ugh... Theresa bukanya kau agak terlalu keras?"
"Tidak, justru andalah yang terlalu baik."
Tanpa membiarkan sebuah jeda, Theresa dengan cepat menjawab pertanyaanku.
"Theresa kau tahu, aku bukan orang sebaik itu. Tapi justru sebaliknya, aku ini orang yang egois."
Ya, karena aku hanya melakukan apa yang membuatku nyaman, tanpa mempedulikan perasaan orang di sekelilingku. Bahkan jika itu akan membuat Mama Alice atau Theresa khawatir, mungkin aku tetap akan melakukannya jika hal itu membuatku merasa nyaman.
"Saya tahu itu, karena itulah saya bilang anda terlalu baik."
Sebentar, aku masih tidak mengerti. Bagian mana dari sifat egois yang baik?
"Anda mungkin memang egois dan suka seenaknya, tapi keegoisan anda cenderung lebih ke 'ingin melakukan sesuatu demi orang lain' tanpa memikirkan perasaan orang-orang di sekitar anda."
Huh? Apa aku memang seperti itu? Menanyakan itu pada diriku sendiri, aku memiringkan kepalaku karena bingung.
Ya, karena seperti yang sudah aku katakan sebelumnya; aku hanya berpikir untuk melakukan sesuatu yang membuatku nyaman, tanpa mempedulikan perasaan orang lain.
"Begitu, sepertinya anda masih belum bisa memahami diri anda sendiri."
Menekan pelipisnya seolah manahan perasaan kesal, Theresa mengatakan itu dengan dingin.
"Tuan muda, saya akan jelaskan ini pada anda; tidak peduli sehebat apa kekuasaan dan kekuatan yang anda miliki, anda tetap tidak akan bisa menyelamatkan semua orang...."
Aku mengerti, aku sangat mengerti tentang hal itu karena itulah aku selalu melakukan apa yang aku bisa. Dan saat aku sedang berpikir, kalimat yang Theresa katakan berlanjut....
"... menyelamatkan satu orang berarti anda harus mengorbankan yang lain."
Dan aku tidak suka dengan apa yang dia katakan.
"Kau tahu, kau seolah berkata aku harus membunuh satu orang untuk menyelamatkan yang lain."
"Ya, kasarnya memang seperti itu."
"Tidak, aku tidak bisa menerima pemikiran seperti itu."
Meski aku mengerti jika apa yang Theresa katakan sangat masuk akal. Entah kenapa aku tidak bisa menerimanya.
"Bahkan jika anda tidak bisa menerimanya, itu adalah kenyataan yang tidak bisa di hindari."
Tapi, jawaban yang Theresa berikan membuatku kehilangan kata-kata. Bahkan jika aku menolaknya, aku tahu dengan pasti jika Theresa benar. Apa aku memang terlalu naif?
"Tuan muda, harga dari sebuah kebaikan itu sangat mahal. Jika anda dengan gegabah menebar kebaikan anda, suatu saat mungkin anda akan terbunuh oleh orang yang anda selamatkan."
Mati karena orang yang aku selamatkan? Ya, aku tahu hal semacam itu memiliki kemungkinan tinggi untuk terjadi, tapi jika dengan kematianku....
"Dan jika anda berpikir tidak masalah anda terbunuh asal bisa menyelamatkan banyak orang, saya tidak akan pernah memaafkan anda!"
Saat aku belum menyelesaikan pikiranku, Theresa tiba-tiba mengatakan itu dengan keras. Dia menatapku tajam, tapi di balik tatapan tajamnya aku bisa melihat samar-samar matanya yang mulai berair.
"Theresa?"
Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi padanya, tapi aku tidak suka dengan ekspresi yang dia buat.
"Maaf, anda sangat mirip dengan tuan besar. Sangat mirip hingga membuat saya takut jika suatu saat anda juga akan berakhir seperti dirinya."
"Tuan Besar? Maksudmu ayah?"
Memangnya apa yang terjadi pada ayah? Aku tahu jika dia gugur dalam peperangan, tapi aku tidak tahu bagaimana dan karena apa dia gugur.
Dan saat aku menanyakan itu pada Theresa....
"Tuan Besar bukanlah pahlawan yang gugur dalam perang, tapi dia adalah korban dari harga yang harus dibayar demi mewujudkan sebuah revolusi sebelas tahun lalu."
Dia menjawab dengan sesuatu yang tidak aku mengerti.
"Theresa, tentang apa yang terjadi pada ayah...."
"Tuan Muda, saya sudah memikirkan ini sejak lama, tapi bukankah pola pikir anda terlalu dewasa untuk anak berumur sepuluh tahun?"
Saat aku mencoba mengais informasi, tiba-tiba Theresa mengubah topik pembicaraan dengan sesuatu yang tidak pernah aku duga.
"Saya merasa jika pola pikir anda jauh lebih dewasa dari umur anda."
Gawat! Aku lupa kalau tubuhku masih berumur sepuluh tahun! Sepertinya saat aku berdebat dengan Theresa, tanpa sadar aku sudah mengutarakan sesuatu yang seharusnya tidak di katakan oleh anak kecil.
"K-kau tahu, aku suka membaca buku di ruang perpustakaan, jadi mungkin hal itu membuat mentalku sedikit berkembang lebih cepat."
Baiklah bagaimana dengan alasan yang aku berikan? Sambil enanyakan itu di dalam hatiku, aku memandang pada Theresa yang melihatku tajam.
"Tuan Muda apa anda menyembunyikan sesuatu?"
Gagal! Alasan yang aku berikan tidak diterima! Baiklah bagaimana aku harus menjawabnya?
"Theresa, maaf untuk saat ini aku tidak bisa menjawabnya jadi...."
Aku tidak bisa lagi menghindar, jadi aku memutuskan untuk memintanya tidak lebih jauh membicarakan hal ini.
"Begitu? Baiklah saya mengerti."
"Huh?!"
Dan lagi, dia menjawabku dengan sesuatu yang tidak aku duga.
"Kau tidak ingin memaksaku bicara?"
"Unn, tidak. Anda tahu, meski anda egois dan suka seenaknya, tapi anda tidak pernah mengecewakan saya dan Nona Alice. Anda selalu berpikir rasional dan memutuskan sesuatu dengan hati-hati. Seolah di balik tubuh berusia sepuluh tahun itu ada kepribadian yang lebih dewasa...."
Binggo!!
"... tentu saya penasaran dengan alasan anda, tapi untuk kali ini saya akan menahan diri. Karena sebagai pelayan, saya tidak bisa memaksa tuan saya."
Tidak, bukanya kau selalu memaksa dan memarahi Mama Alice?
"Jika itu berkaitan dengan Nona Alice, maka aturanya akan berbeda."
Tapi itulah jawaban yang dia berikan saat aku bertanya, aku ingin tahu apa yang sudah Mama Alice lakukan sampai Theresa memberi pengecualian padanya?
"Tuan Muda, saya akan sangat senang jika anda mau menceritakan alasan anda pada saya."
"Unn, aku mengerti, suatu saat aku akan menceritakanya."
Ya suatu saat, aku pasti akan menceritakan siapa aku sebenarnya pada Theresa dan Mama Alice.
Baiklah, sekali lagi aku membuat janji dengan seorang wanita. Apa aku ini play boy?
"Saya mengerti, saya akan menunggu sampai saat itu tiba, ngomong-ngomong anda harus segera kembali ke kamar, saya akan mengurus sisanya."
Mendengarkan Theresa aku turun dari ranjang dan segera pergi dari sana, tapi saat aku akan keluar dari kamar....
"Tuan Muda, tolong ingat baik-baik apa yang sudah saya katakan pada anda, berpikirlah dengan bijak sebelum memutuskan sesuatu."
Theresa kembali menyampaikan peringatanya dengan tegas.