Chereads / Phrometeus Children / Chapter 5 - Chapter 4

Chapter 5 - Chapter 4

Ketika aku sadar, matahari sudah menjulang tinggi ke angkasa. Duduk di bawah pohon besar di halaman belakang, aku menghela nafas panjang.

"Masih tidak mau bekerja...."

Ini sudah dua minggu semenjak aku menerima Lilli sebagai budak, dan selama itu pula aku terus melatih sihirku setiap hari. Aku selalu menyisihkan tiga sampai lima jam untuk berlatih mengendalikan mana di sekitarku, tapi sampai saat ini masih belum ada perkembangan yang terjadi.

Jika dihitung sejak pertama kali aku belajar sihir, mungkin sudah hampir tiga minggu berlalu. Aku pernah membaca kalau setidaknya perlu tiga hari untuk seorang anak bisa membiasakan diri dengan pengendalian mana, dan satu minggu agar dia bisa melakukan pengubahan sifat. Sedangkan aku, dengan waktu sebanyak inipun aku masih belum bisa mengendalikan mana dengan benar.

Sebenarnya apa yang salah denganku? Aku bisa merasakan mana di tanganku bergejolak saat aku melafalkan mantra, tapi entah kenapa aku tidak bisa melakukan pelepasan. Sederhanya; aku berhasil melakukan pengaturan kode pada mana untuk mengubah sifatnya, tapi aku tidak bisa mewujudkan hasil dari pengaturan melalui tanganku.

Dan yang lebih membuatku frustasi....

"Tu-tuan muda lihat aku berhasil!"

Lilli yang baru dua hari mempelajari sihir dari Mama Alice, sudah mahir dalam pengubahan sifat.

"K-kau hebat, Lilli."

Yah setidaknya sekarang dia sudah terlihat lebih ceria dari pada saat pertama kali kami bertemu.

Sebenarnya Mama Alice tidak berniat mengajarkan sihir pada Lilli, tapi melihatnya bisa mempelajari cara mengendalikan mana hanya dengan melihat aku berlatih, sudah membuat Mama Alice memutuskan untuk mengajarinya.

Tentu hal itu memicu protes keras dari Theresa, karena bagi seorang tuan mengajari budak menggunakan sihir sama saja dengan bunuh diri.

Tapi seperti biasa Mama Alice mengabaikan pendapat Theresa. Ah, sekarang aku tahu kenapa Theresa membuat pengecualian pada Mama Alice sebagai tuan.

"Tuan Muda, anda terlihat tidak bersemangat."

Saat aku sedang melamun, wajah Lilli tiba-tiba memasuki pandanganku.

"Huh? Unn, tidak apa-apa aku hanya sedikit lelah."

Tidak, aku bohong. Saat ini aku benar-benar frustasi. Bagaimana aku bisa tenang ketika ada orang yang bisa melakukan sesuatu yang paling aku inginkan hanya dengan melihat, sedangkan aku ... aku yang berusaha sekeras yang aku bisa bahkan tidak berkembang.

"Apa sebaiknya kita masuk? Sebentar lagi sudah waktunya makan siang."

"Unn... kau benar."

Memgabaikan pikiran negatifku, aku membuat senyum untuk menutupi perasaanku. Memasuki rumah, aku melihat Theresa yang sedang mempersiapkan meja makan.

"Theresa ijinkan aku membantu!"

"Huh? Tuan Muda? Tidak, anda tidak perlu melakukanya."

Aku tahu dia akan bilang begitu, tapi aku mengabaikannya dan merebut lap yang dia bawa.

"Sa-saya juga membantu!"

Melihatku, Lilli juga ikut membantu.

"Tuan Muda! Kenapa anda tidak mengerti juga! Anda memiliki Lilli di samping anda, jika anda memang ingin membantu saya, harusnya anda menyuruh dia dari pada melakukannya sendiri."

Dan seperti biasa dia mulai menceramahiku.

"Tapi Theresa, dia masih kecil!"

"Anda juga sama!"

(Othor: ngaca!)

Ah, aku lupa. Melihatku dengan jengkel, Theresa menekan pelipisnya.

"Theresa, kenapa kamu tidak suka aku membantumu?"

"Sudah jelas karena anda adalah tuan saya. Anda dan saya memiliki pekerjaan yang berbeda."

Masih menatapku tajam, Theresa menjawab dengan kesal.

"Aku tidak mengerti ... hanya karena status sosial kita berbeda bukan berarti kita tidak sama'kan?"

Aku mengerti jika statusku adalah tuan dan Theresa adalah pelayan. Tapi bukan berarti seorang tuan dilarang membantu pelayannya kan?

Aku tidak mengerti, kenapa di dunia ini memiliki aturan seketat itu pada status sosial seseorang. Bahkan bangsawan dan rakyat jelata diperlakukan seolah mereka adalah dua makhluk berbeda.

Saat aku mengatakan itu semua, ekspresi kesal Theresa pelan-pelan memudar.

"Tuan muda dengar, melihat bagaimana cara anda memandang dunia, saya tahu jika hal semacam ini terlihat tidak masuk akal. Tapi, dalam dunia para bangsawan, garis keturunan dan darah adalah hal mutlak."

Dari apa yang Theresa jelaskan, aku tahu jika garis keturunan dan darah memiliki pengaruh pada pandangan dari bangsawan lain. Simplenya garis keturunan dan darah memiliki efek pada pengaruh mereka dalam politik.

"Tapi hal itu bisa dipengaruhi melalui hubungan sosial mereka, meski seorang bangsawan memiliki garis darah anggota kerajaan, dia akan kehilangan pengaruh jika terlalu dekat dengan rakyatnya."

Sederhananya, mereka yang di sebut bangsawan harus bisa duduk di atas rakyat, memerintah, mengatur dan mengekploitasi mereka. Dan bangsawan yang tidak bisa melakukan itu akan di anggap lemah.

Meski begitu....

"Aku tidak bisa menerima hal semacam itu ...."

Aku tidak bisa menerimanya, karena di duniaku yang dulu banyak kerajaan di masa lalu yang hancur karena rakyat yang sudah tidak bisa lagi menahan kesabaran mereka mulai melakukan pemberontakkan. Dan pemicu dari kemarahan tersebut adalah, karena rakyat mengetahui eksploitasi yang di lakukan pemimpin mereka.

Benar, tidak peduli bagaimanapun penguasa menekan rakyat mereka, suatu saat masa dimana jaman para penguasa runtuh dan rakyat berjaya pasti akan datang.

"Theresa, menurutmu apa yang membuat sebuah negara tetap berdiri? Kekuasaan? Aturan? Kekerasan? Menurutku bukan semua hal itu."

Mungkin hal itu memang di perlukan untuk membentuk sebuah negara. Tapi hal itu tidak bisa membuat sebuah negara tetap berdiri, karena ada satu hal yang bisa membuat sebuah negara hancur jika hilang.

Dan itu adalah....

"Kepercayaan, menurutku itu adalah hal paling penting yang membuat sebuah negara berdiri."

Ya, jika seseorang bisa menghilangkan kepercayaan rakyat hanya dalam satu sentuhan. Dia akan bisa menghancurkan sebuah negara tanpa harus membentuk sebuah pasukan.

"Jadi menurutku, dari pada aku menjadi orang yang kau hormati, mungkin akan lebih baik jika aku bisa menjadi orang yang kau hargai."

Benar, dari pada memerintah dari atas, mungkin akan lebih baik jika aku bisa berjalan bersama mereka dan membimbing mereka.

Dan saat aku sedang menjelaskan....

"Itu adalah pemikiran yang menarik."

Mama Alice tiba-tiba muncul dari balik pintu.

"Mama?"

"Secara garis besar aku setuju dengan Nicho, karena aku percaya setiap orang lahir dengan hak yang sama. Dan apa yang dia katakan tentang hal terpenting yang membuat sebuah negara bisa terus berdiri, aku juga setuju dengan hal itu. Tapi...."

Mama Alice mendekatiku saat dia bicara. Dan saat itu, aku juga menyadari ekspresi tajam yang dia buat.

"... sesuatu seideal itu tidak ada di dunia ini."

Dan apa yang dia katakan berikutnya membuatku terbungkam.

"Aku mengerti dengan cara pikirmu, tapi tidak semua hal baik akan di respon dengan baik pula."

Merendahkan tubuhnya, Mama Alice menepuk kepalaku dengan lembut.

"Aku yakin Theresa pernah mengatakan ini padamu; harga dari sebuah kebaikan sangatlah mahal. Tentu kamu bisa memberi kebaikanmu pada siapapun, tapi tidak semua orang akan menganggap kebaikan yang kau beri sebagai hal baik. Bahkan sebuah kebaikan kecil bisa memberi rasa sakit pada beberapa orang."

Tunggu, aku tidak mengerti, bagaimana mungkin sebuah kebaikan bisa menjadi kejahatan?

"Nicho, apa yang Nicho katakan tidak salah, mama tahu kamu mencoba menjadi orang baik, dan mama sangat bangga dengan hal itu. Tapi, sebagai orang yang memimpin orang lain, akan ada saat dimana kamu harus menjadi kejam demi menyelamatkan banyak orang."

"Menjadi kejam untuk menyelamatkan orang lain?...."

"Kamu tahu, banyak negara kuat yang hancur karena pemberontakkan, dan sebagian besarnya karena rakyat yang sudah tidak tahan dengan tirani dari penguasa."

Aku tahu, di duniaku yang dulu juga sudah banyak terjadi hal semacam itu, karena itulah di sini aku mencoba untuk mencegah hal yang sama terjadi.

"Tapi Nicho, tidak sedikit pula negara yang hancur karena pemimpinya terlalu lemah sehingga bisa dengan mudah di manfaatkan oleh orang-orang yang bergerak di balik layar."

Dan lagi, aku kehilangan kata-kataku untuk menjawab. Mama Alice benar, bahkan jika ada satu orang baik, bukan berarti semua orang di sekelilingnya adalah orang baik juga. Itu berarti kekerasan dan intimidasi adalah hal penting untuk menyingkirkan mereka yang ingin memanfaatkan penguasa, tapi hal itu juga berarti tidak akan ada kepercayaan penuh yang bisa didapat dari rakyat.

"Maaf karena mama mengatakan sesuatu yang tidak nyaman, tapi melihat seberapa cepat cara pikirmu berkembang, Mama jadi sedikit khawatir. Mama hanya ingin kamu tahu, tidak peduli sebaik apa dirimu, kamu tidak akan bisa mendapat kepercayaan penuh dari semua orang. Karena sejak awal, memang seperti itulah cara dunia bergerak."

(Di sini Alice mencoba menjelaskan kalau sebagai seorang pemimpin, Nicho harus bisa mengerti posisinya. Bangsawan bukan berarti bisa mengatur segalanya, merakyat bukan berarti harus menuruti semua permintaan rakyatnya. Maaf kalo penjelasanya njlimet)

Aku mengerti sekarang, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Itu adalah apa yang ingin Mama Alice katakan. Mungkin, Mama Alice mengatakan itu karena khawatir melihatku yang selalu berpikir positif pada apa yang aku lakukan.

"Unn ... tidak, mama benar akulah yang terlalu naif."

Mengatakan itu, aku segera duduk di kursi paling dekat.

"Jadi apa yang akan kamu lakukan setelah mendengar semua itu? Membuang idealisme yang kamu pegang?"

"Unn, aku tidak akan membuang cara pikirku, justru sebaliknya aku akan mencoba memperbaikinya!"

Mengatakan itu, aku menggelengkan kepalaku dengan tegas. Sepertinya aku sudah terlalu sombong dengan berpikir bahwa aku bisa menangani segalanya, aku harus lebih banyak belajar tentang dunia ini. Melihatku, Mama Alice membuat senyum lembut yang membuatnya benar-benar terlihat seperti seorang ibu.

***

Mungkin sudah hampir dua puluh menit sejak Mama Alice yang berkata akan menemui kenalannya dan pergi bersama Theresa. Aku tidak tahu siapa yang akan mereka temui, tapi melihat mereka segera pergi setelah makan siang, sepertinya kenalan Mama Alice adalah orang penting.

Dan untukku, karena aku bosan terus berada di rumah, aku memutuskan untuk menemui seseorang di kota bersama Lilli.

"Lilli, kau tidak apa-apa?"

Mungkin karena dia tidak terbiasa dengan keramaian, Lilli yang berjalan di belakangku terlihat sangat kikuk.

"Unn, sa-saya tidak apa-apa."

Mengatakan itu lirih, Lilli berjalan sambil menundukkan kepalanya. Serius, dia terlihat seperti anak hilang di keramaian.

"Kau tidak perlu menahan dirimu, kau boleh menolak permintaanku jika itu memang menganggumu."

Aku menggandeng tangannya saat mengatakan itu. Aku tidak tahu harus berbuat apa pada rasa takut yang dia miliki, tapi setidaknya aku ingin menunjukkan kalau aku bukan orang yang harus dia takuti.

Mengingat kembali pada apa yang terjadi dua minggu lalu, setelah aku berhasil membuatnya tenang, Lilli hampir tidak pernah lepas dariku.

Sepertinya, semua perlakuan buruk yang dia terima sudah membuatnya terkena androphobia, dan apa yang aku lakukan padanya sudah memunculkan flag aneh yang membuatnya lengket padaku. Bahkan saat tidur dan mandi pun dia selalu bersamaku.

(Flag: istilah dalam galge atau otome game yang merujuk pada tanda ketertarikan atau tanda suka dari sebuah karakter.)

Tentu Theresa selalu menasihatiku untuk sedikit lebih keras padanya, tapi aku mengabaikanya karena kupikir agak terlalu kejam memaksakan kehendak pada anak kecil. Meski pada akhirnya aku tahu jika kebaikan yang aku berikan justru membuat perkembangangan mentalnya menjadi lambat, aku tetap bersikap sebaik mungkin pada Lilli.

Dan karena ke egoisanku, sampai sekarang entah kenapa dia hanya bisa tenang ketika seseorang menggandeng tanganya. Tidak, mungkin lebih tepat dikatakan jika aku yang menggandengnya.

Biasanya Lilli tidak membiarkan orang lain terlalu dekat denganya, bahkan jika itu adalah Theresa atau Mama Alice.

Tapi itu tidak berlaku padaku, seolah dia sudah menggantungkan semua perasaanya padaku. Tentu memiliki gadis semanis Lilli terus berada di dekatku membuatku senang. Karena aku yakin Lilli akan menjadi wanita yang sangat cantik ketika dia besar nanti, tapi disaat yang sama aku juga merasa khawatir. Karena, jika dia terus seperti ini, mungkin dia akan menjadi terlalu bergantung padaku.

Ah, apa yang aku lakukan sudah benar? Apa aku sebaiknya menuruti Theresa dan berlaku lebih keras padanya?

Karena aku tidak bisa mendapat jawaban, aku mengabaikan pertanyaan tersebut.

"Tu-tuan Muda apa anda tidak apa-apa berlaku sebaik ini pada saya? Bukankah Nona Theresa sudah bilang agar kita menjaga jarak?"

"Unn, kau benar, Theresa akan marah jika kita terlalu dekat. Tapi itu hanya berlaku jika dia ada di sekitar kita'kan?"

Artinya hal itu tidak berlaku kalau dia tidak ada.

Sambil tersenyum pada Lilli aku menariknya untuk berlari menyusuri keramaian. Dan setelah beberapa saat berlari, akhirnya aku sampai di tempat yang aku tuju; kantor guild petualang.

"Ah jadi anda datang lagi tuan muda?

Dari kejauhan seorang laki-laki paruh baya menyapaku. Dia adalag pria besar dengan rambut yang di sisir rapi lurus kebelakang, untuk sekilas dia tidak terlihat seperti seorang petualang. Bahkan saat pertama kali aku bertemu denganya, aku mengira dia adalah seorang bangsawan.

" Selamat sore Tuan Dien."

Nama orang ini adalah Diena, aku tidak tahu nama lengkapnya tapi dia adalah seorang petualang rank silver yang bekerja sebagi instruktur bertarung di guild petualang. Dari yang aku dengar, dia termasuk salah satu petualang rank silver yang kemampuanya di akui petualang rank gold.

Dan karena mendengar kehebatan tehnik berpedangnya, sekitar satu minggu yang lalu aku memintanya untuk mengajariku, meski pada akhirnya dia memintaku memikirkanya lagi sebelum aku memantapkan pilihanku untuk menjadi pengguna pedang.

"Tuan Dien, aku sudah memutuskan untuk menjadi swordsman!"

Mengatakan itu dengan mantap aku menghadap pada Tuan Dien yang terlihat terkejut. Yah, aku sudah memikirkannya selama seminggu, karena melihat kemampuanku dengan sihir sama sekali tidak berkembang, aku mulai melirik pada seni pedang.

Aku mendengar jika di dalam kekaisaran, gelar seorang ksatria memiliki pengaruh cukup kuat dalam kalangan militer. Tentu jika di bandingkan dengan gelar yang diperoleh penyihir, gelar yang di dapat seorang ksatria masih lebih rendah. Tapi setidaknya hal itu masih cukup baik bagiku yang memang tidak berniat bergabung dalam kemiliteran.

Atau lebih tepatnya karena Mama Alice melarangku untuk memasuki ranah tersebut.

Maski sebagai bangsawan aku masih terkena aturan wajib militer selama empat tahun, tapi setelah kewajibanku selesai aku akan kembali ke Aren dan belajar mengatur kota untuk menggantikan posisi Mama Alice.

Sebenarnya Mama Alice berkata kalau dengan pengaruhnya, tidak mengikuti wajib militerpun tidak masalah bagiku. Tapi aku merasa kalau wajib militer akan memberiku pengalaman yang bagus jadi aku memutuskan suatu saat nanti aku akan menerimanya, ah jika aku pikir-pikir kenapa Mama Alice yang hanya bergelar Count bisa memiliki pengaruh sebesar itu di dalam politik?

Mengabaikan pertanyaan itu aku memandang tajam pada Tuan Dien yang menatapku dengan heran, dan melihatku melakukan itu.

"Anda serius? Anda tahu, sebagai bangsawan anda bisa mendapat guru berpedang yang jauh lebih baik."

Tuan Dien menjawab dengan senyum ramah.

"Anda benar, tapi aku ingin belajar seni pedang yang jarang ada, dari pada tehnik pedang reguler para bangsawan yang sudah ada sejak lama, kupikir tehnik original cukup menarik."

Seserhananya, aku ingin tehnik yang tidak di ketahui oleh banyak orang.

"Lagi pula di sini Tuan Dien hanya mengajar tehnik bertarung dasar dan cara bertahan hidup'kan? Apa anda tidak ingin mewariskan tehnik pedang anda?"

Saat mendengar pertanyaanku, Tuan Dien tiba-tiba tertawa kecil.

"Anda tahu, jika anda bertarung menggunakan tehnik orang barbar seperti saya, anda hanya akan mendapat hinaan dari bangsawan lain."

Aku mengerti tentang hal itu, sebagai seorang bangsawan kami di tuntut untuk bisa bertarung dengan anggun. Tapi karena hal itu jugalah aku tidak menyukainya, karena dalam pertarungan sesungguhnya bahkan seorang bangsawan tidak akan sempat untuk bersikap anggun.

"Anda benar, tapi jika dengan itu aku bisa menang dan bertahan hidup, itu sudah lebih dari cukup."

Saat itu, Tuan Dien membuat senyum yang seolah memperlihatkan kalau dia sedang tertarik.

"Begitukah? Kalau begitu...."

Dan saat itu tiba-tiba dia melemparkan pedang kayu padaku.

"Meski anda putra seorang bangsawan, saya tidak akan memberi keringanan."

"Itu yang aku harapkan...."

Mengucapkan kalimat terakhirku dengan sombong, tapi hanya dalam sekejap kesombonganku langsung di hancurkan.

Tuan Dien yang berada sekitar lima meter dariku tiba-tiba muncul di depanku menghunuskan pedangnya.

***

Seminggu akhirnya berlalu sejak aku berlatih pada Tuan Dien, dan sampai sekarangpun aku masih belum bisa menyentuhnya. Tapi setidaknya aku sudah mulai terbiasa dengan cara dia bergerak.

Dari apa yang aku lihat, tehnik Tuan Dien memiliki fokus pada cara untuk menghancurkan posisi lawan dari pada cara untuk menyerang. Tehnik yang bahkan memiliki cara untuk membimbing lawanya melakukan kesalahan, kemudian dari celah yang terbentuk Tuan Dien akan melakukan serangan dan mengakhiri lawannya dalam sekejap.

"Tu-tuan Dien, bukankah tehnikmu agak sedikit aneh? Maksudku, dari pada tehnik untuk bertarung gerakanmu menunjukkan kalau..."

"Kalau ini adalah tehnik untuk membunuh?"

Tuan Dien tersenyum melihatku yang bertanya sambil terengah engah.

"Y-ya...."

"Saya menyebut tehnik ini 'Croissant', melihat anda bisa menggunakan gerakkan dasar yang saya lakukan, sepertinya anda sudah mengerti cara kerja tehnik ini , tuan muda."

"Unn secara garis besar aku sudah mengerti, tapi aku masih belum bisa memahami cara mengaplikasikan setiap gerakkanya."

Ya, aku mengerti cara kerja setiap gerakkanya, tapi aku tidak bisa mengerti kenapa gerakkan yang sama bisa memiliki tingkat efektifitas yang berbeda.

"Aahh, begitu ... baiklah saya akan memberitahu anda kunci untuk membuat tehnik ini lebih efektif"

"Kunci?"

"Unn, itu adalah percepatan yang dilakukan. Anda tidak bisa tiba-tiba menggerakan tangan anda dengan cepat saat mengayunkan pedang, karena itu akan memberi rekoil yang merusak arah tebasan."

Mengatakan itu, Tuan Dien mencontohkan gerakan yang selalu dia gunakan. Tapi bagiku, gerakkan yang dia lakukan tidak ada bedanya dengan gerakan secara tiba-tiba.

"Huh..."

Tidak, sepertinya aku mengerti sekarang!

Gerakan yang dia lakukan memang tiba-tiba, tapi cara dia bergerak terlihat seperti mengalir dari siku menuju ke pergelanganya. Sebuah gerakan bertingkat dari pundak, siku dan pergelangan yang terlihat sistematis.

"Gerakan yang terlihat seperti mengalir?"

"Ooh, anda sudah bisa memahaminya?"

Terlihat terkejut, Tuan Dien menghentikan gerakkanya.

"Ya, sejak kecil aku merasa kalau mataku cukup tajam dalam melakukan observasi."

"Sepertinya anda memang orang yang menarik. Baiklah akan saya jelaskan...."

Dari apa yang Tuan Dien jelaskan, dia berkata kalau kekuatan tidak bisa di lawan dengan kekuatan. Jika hal itu di paksakan maka akan memberi kerusakkan pada kedua pihak, jadi dari pada melawan kekuatan dengan kekuatan tehnik pedang Croissant lebih berfokus pada menerima kekuatan tersebut dan mengalihkannya untuk menghancurkan posisi lawan.

"Hmm, seperti Aikido?"

Dan saat sedang berpikir, tiba-tiba aku menggumamkan itu.

"Aiki....?

Dan seperti yang aku duga, Tuan Dien tidak mengerti dengan apa yang aku katakan.

"Ah, maaf aku hanya asal bicara."

Mengatakan itu untuk mengalihkan perhatian, aku tersenyun kecut pada Tuan Dien.

"Baiklah kita akhiri sampai di sini, anda tahu? Melihat dari usia anda, saya tidak mengira Tuan Muda bisa berkembang sejauh ini hanya dalam dua minggu."

Huh? Apa perkembanganku memang sebaik itu? Atau Tuan Dien hanya ingin menyemangatiku?

"Terima kasih banyak Tuan Dien."

"Ngomong-ngomong kemana gadis kecil yang selalu ikut dengan anda? Sepertinya saya tidak melihatnya dari tadi."

"Ah, Lilli sedang pergi bersama pelayan lainya."

"Saya mengerti, anda tahu dia pasti akan menjadi gadis yang cantik. Dan lagi, karena dia adalah seorang Mistic Wolf, saya yakin jika dia akan memberi keturunan yang kuat."

"Huh!...."

Tu-tunggu, apa yang kau katakan pada anak berumur sepuluh tahun?! Apa maksudnya dengan memberi keturunan?! Tapi saat aku menanyakan itu, Tuan Dien hanya menjawabku dengan acungan jempol dan senyuman aneh lalu pergi begitu saja.

Tapi kalau di pikir-pikir, perkawinan beda ras adalah hal biasa di sini. Selain itu keturunan yang di hasilkan akan memiliki salah satu ras dari dua ras tersebut, jadi kalau besok aku melakukannya dengan Lilli ... sebentar!

"Bodoh! Apa yang aku pikirkan!"

Membuang jauh-jauh pikiranku, aku menggelengkan kepalaku sekeras yang aku bisa.

Dan saat aku sedang berusaha menyingkirkan pikiran kotor dari itakku....

"Hei, boleh aku bicara sebentar denganmu?"

.... aku mendengar suara seorang perempuan bicara padaku.

***

Elf adalah ras yang terkenal dengan penampilan mereka yang rupawan, tapi disaat yang sama, mereka juga di kenal sebagai makhluk pendendam dan suka merendahkan makhluk lain.

Dan saat ini....

"Jadi bisa kita bicara?"

Makhluk itu sedang berdiri di hadapanku.

"Huh? Ah... unn silahkan."

"Namaku adalah Cecillia Un Unahan, seorang elf dari hutan unahan di perbatasan hutan terlarang Sanctum Sanctuary."

Mengatakan itu dengan lembut, dia menundukkan kepalanya. Terlihat seperti gadis berumur delapan belas tahun dan dia benar-benar cantik, kulit putih seperti salju dengan mata biru dan rambut berwarna emerald. Tubuhnya sangat langsing dengan da- ok lupakan dadanya yang seperti papan, entah bagaimanapun kau melihatnya, kecantikkan yang dia miliki seperti berasal dari dunia lain.

"Kenapa kau diam? Apa kau terkejut karena aku adalah elf? Tenang saja, aku bukan elf sombong seperti yang lainnya, aku adalah elf toleran"

Mungkin karena melihatku yang terbius oleh kecantikkanya, dia mengira kalau aku merasa tidak nyaman dengannya. Ngomong-ngomong telinga panjangnya yang bergerak naik turun memberiku hasrat aneh untuk memegangnya.

"Jadi apa yang ingin kau bicarakan?"

"Ah, aku hanya penasaran, dengan kemampuan mental sekuat ini kenapa kau memilih untuk menjadi pengguna pedang dari pada penyihir."

"Kekuatan mentalku kuat?"

"Unn, aku bisa melihatnya dengan jelas, bahkan terlalu jelas."

Aku pernah mendengar kalau elf memang bisa melihat kemampuan sihir orang lain, tapi aku tidak mengira kalau dia akan mengatakan sesuatu yang harusnya sudah aku lupakan--impian untuk menjadi penyihir hebat.

"Apa kekuatan mentalku memang sekuat itu?"

"Unn seperti yang sudah aku katakan."

"Tapi...."

Lalu aku menceritakan semua masalahku pada gadis ini, dan setelah mendengar apa yang aku katakan.

"Mungkinkah kau Silent Gift, aku tidak percaya orang-orang semacam itu benar ada."

Dia menjawabku dengan takjub, dan apa itu silent gift?

"Mereka adalah orang yang lahir dengan berkah kekuatan mental sangat kuat, tapi di saat yang sama mereka juga tidak memiliki hak untuk melepaskan mantra di dunia ini."

"Tunggu! Apa maksudmu dengan tidak memiliki hak?"

Maksudku, bukankah itu berarti aku bukanya tidak bisa melepaskan, melainkan tidak boleh melepaskan mantra?

Dan mendengar apa yang aku katakan gadis itu menjawab dengan....

"Unn...."

Sambil mengangguk mantab.

"Tapi ada juga cerita jika mereka memang sengaja di lahirkan seperti itu, karena mereka adalah orang yang terpilih sebagai yang akan mengubah dunia."

"Mengubah dunia? Jangan bercanda denganku, bagaimana mungkin orang selemah itu bisa mengubah dunia?"

"Aku bilang itu hanya ceritakan?"

"Ah...."

Mungkin hanya perasaanku, tapi aku merasa kalau dia adalah orang menyebalkan.

Tapi jika aku pikir-pikir, mengingat aku bereinkarnasi ke dunia ini dengan membawa semua ingatanku di masa lalu, mungkin saja cerita itu benar.

"Hei, kau hanya tidak bisa melepaskan mantra kan? Jadi bukan berarti kau tidak bisa menggunakan sihir sama sekali kan?"

"Ah, ya... jika hanya mengatur kode dan membentuk sebuah elemen aku masih bisa."

"Bagaimana jika aku mengajarimu cara menggunakan sihir yang lebih efektif tanpa menggunakan mantra? Dan sihir ini juga sangat cocok di gunakan oleh pengguna pedang."

Dan saat aku masih bingung, gadis itu mengatakan sesuatu yang menarik perhatianku.