"Ra, ulangan nih, lo udah belajar?"
Dera baru saja menghempaskan tas sekolahnya di atas meja kemudian duduk di sebelah Ana.
Ariana Deswita, sahabat Dera. Di antara teman-temannya, Ana itu termasuk ke dalam cewek populer di sekolah. Ana memiliki tubuh yang tinggi dan langsing, hampir bisa dibilang sempurna. Terlebih Ana itu merupakan anggota Cheers. Beberapa murid cowok di sekolah pernah meminta Ana untuk menjadi pacarnya, tapi itu dulu, sebelum Ana diberi label sebagai kekasih dari Adimas Putra.
"Boro-boro, Na. Bisa masuk kelas ajah alhamdulillah gue."
"Udah ketebak lo mah, palingan juga mimpiin si Bima lagi ya kan?"
Dera meringis kecil sebelum membalas ucapan Ana. "Sialan lo, bener ajah kalo ngomong."
Ana terkikik geli, sementara Dera melengos lalu mencolek bahu gadis yang duduk di depannya. "Ta, bagi contekan ya nanti." Ia mengedipkan mata saat Metta menoleh ke belakang.
Yang ini Metta, Metta Kana Aisya. Gadis paling pintar di kelas. Metta juga sahabatnya Dera. Di antara mereka bertiga cuma Metta yang mempunyai otak paling baik. Ana cantik, tapi tetap saja untuk masalah pelajaran selalu mendapat nilai jeblok. Apalagi Dera, tidak mendapatkan remedial baginya seperti sebuah keberuntungan.
"Iya nanti, kalo bisa gue kasih ya, lo tau sendiri Bu Eka kaya gimana." Balas Metta.
"Oke.. yang penting buat gue, tuh kertas ulangan keisi aja."
Ana menoleh dengan alis tertaut. "Kenapa gak lo coret-coret ajah? Yang penting keisi 'kan?"
"Nyamber ajah sih lo!" Jawab Dera ketus.
***
Kantin hari ini seperti biasa, selalu ramai dan penuh. Semua murid berebut untuk mendapat tempat duduk, tidak terkecuali bagi Dera dan kedua temannya.
"Laper gue." Keluh Dera saat mereka berhasil mendapatkan tempat duduk.
Cewek itu memakan rotinya dengan lahap karena tadi pagi ia tidak sempat sarapan. Di sebelahnya ada Metta yang sedang asik membaca novel dengan kaca mata yang melorot di hidung, sementara di depan Dera ada Ana yang sedang makan bakso Mang Adi.
"Tadi lo manjat tembok lagi?" Metta bertanya pada Dera tanpa melepas pandangannya dari Novel di tangan.
Dera hanya mampu menganggukan kepala. Tanpa Metta melihat cewek itu pun, ia sudah tau jawabannya.
"Telat mulu lo." Sahut Ana yang sudah menyelesaikan makannya, dan dibalas oleh Dera dengan tatapan geram.
Ia mendesah pelan sebelum akhirnya membalas ucapan Ana. "Mau gimana lagi, susah banget bangun pagi gue."
"Usaha dong, Ra. Kalo begini mulu, lama-lama Bima tau lo suka lompat tembok buat masuk sekolah!" Semprot Ana tepat sasaran yang membuat Dera langsung tersedak rotinya.
Metta yang berada di sebelah Dera berhenti membaca dan memberikan sebotol air mineral padanya.
"Yeh, denger nama Bima ajah udah salting gitu." Tambah Metta.
Bukan salting karena mendengar nama Bima, tapi kalimat yang Ana keluarkan tadi secara tidak langsung membuat Dera gemetaran dan merinding. Baru pagi tadi ia tertangkap basah oleh Bima sedang melompat tembok.
Cewek itu menutup botol air mineral yang tadi diberikan oleh Metta dan meremasnya pelan.
"Telat!" Ana dan Metta langsung menoleh ke arahnya. "Tadi pagi, Bima udah lihat gue lompat tembok."
Bisa Dera lihat kedua sahabatnya itu membuka lebar mulut mereka masing-masing. Tentu saja karena terkejut. Dera merengut kesal sekaligus malu. Jika mengingat itu, rasa-rasanya ia ingin sekali untuk pindah sekolah.
"Lo serius?" Tanya Ana tidak percaya. Dera mengangguk sambil menghela nafas. "Tuh kan, lo sih pake telat mulu."
"Ya mana gue tau ada dia di situ."
"Terus gimana?" Kali ini Metta yang bertanya.
Dera mendesah lagi, ingatan tadi pagi masih terus saja berputar-putar di kepalanya seperti roll film.
"Dia pergi gitu ajah pas bilang, awas ketauan Tomy." Dera memperagakan ucapan yang Bima katakan padanya saat tadi pagi.
"Buset deh ya, Ra! Lo udah menjatuhkan harga diri lo banget di depan dia." Ana menggelengkan kepalanya. Terkejut sekaligus tidak habis pikir. "Fix, besok lo harus bangun pagi biar gak malu-maluin!"
Dera menghela, "gimana bangun paginya, Na? Jam weker dua di kamar aja gak kedengeran sama gue!"
"Lo manusia bukan sih?" Ana menoyor kepala Dera pelan. "Susah banget bangun pagi!"
Cewek itu mencebik sambil mengusap kepalanya. "Sakit ih!"
Mendadak kantin menjadi heboh saat kedatangan empat cowok paling populer di sekolah. Dera yang terlalu pusing memikirkan kejadian pagi tadi tidak menyadari ada sepasang mata yang sedang memperhatikannya.
"Ra, Bima tuh Bima." Metta mencolek lengan Dera, membuat cewek itu mengalihkan pandangannya dan menatap ke arah cowok yang sejak tadi menjadi topik perbincangan mereka. Lalu, sialnya pandangan mereka bertemu. Bima masih menatap Dera walau sudah berhasil duduk di pojok kantin.
Dengan gerakan reflek, Dera membuang muka dan menutupi sebagian wajahnya dengan rambut.
Apa dia inget gue yang lompat tembok tadi ya?
Ia memberanikan diri mencuri pandang ke arah Bima. Sesaat, Bima terlihat sedang berbicara dengan kedua temannya, Bayu dan Daniel yang diselingi oleh canda tawa.
Mereka memang kumpulan anak-anak tajir melintir karena menurut pakar keuangan, harta kekayaan keluarga mereka tidak akan habis sampai tujuh turunan, gak tau deh kalo yang kedelapan gimana.
Dimulai dari Bima,
Bima Satya Hartono, cucu pemilik Yayasan. Ayah Bima adalah pemimpin utama Grup Mata Elang yang bergerak di bidang Properti. Jangan tanya masa depan Bima seperti apa. Kalian sudah pasti bisa menebaknya.
Bayu adrian, -yang duduk disebelah kiri Bima- dengan nama panjang Bayu Adrian Salim. Dari nama belakangnya saja sudah bisa diambil kesimpulan, kalau Bayu Anak dari Anthony Salim pemilik perusahaan PT. Bogarasa. Bayu memiliki Kakak perempuan yang cantik.
Dan yang duduk di depan Bayu namanya, Daniel Wonowidjojo, cucu dari Sulistio Wonowidjojo, pendiri PT. Gudang Surya, sebuah perusahaan produsen rokok populer asal Indonesia. Menduduki peringkat pertama tertua dan terbesar.
Banyak murid perempuan yang mulai berteriak histeris, dan banyak dari mereka yang mulai memuji ke empat cowok tersebut. Begitulah keadaan kantin jika mereka berempat mulai datang.
"Gila, itu cewek pada gak capek apa teriak-teriak gitu. Lagian, gak ditanggepin juga gitu sama mereka." Ana menggerutu jengah mendengar teriakan anak-anak perempuan di kantin.
"Bilang ajah cemburu." Sahut sebuah suara yang sukses membuat ketiga cewek itu menoleh.
Dera mencebik sempurna, sementara Ana tersenyum senang, sedangkan Metta kembali sibuk pada bacaannya.
"Ngapain sih lo Bang kesini." Ketus Dera pada cowok tersebut.
"Deh galak banget ni cewek satu. Gue mau ketemu pacar gue, bukan mau ngeliat lo." Cowok itu mengelus pelan puncak kepala Ana, dan menciumnya sekilas. "Kamu udah makan, sayang?" Tanyanya kepada Ana.
"Udah, makan bakso tadi."
Dera mencibir kesal, menatap kedua pasangan itu dengan tajam.
Ini Dimas, Adimas Putra Widjaja. Dimas itu Cucu dari Eka Cipta Widjaja, seorang pengusaha sekaligus pendiri Sinar Abadi Grup, merupakan orang pertama terkaya di Indonesia menurut Majalah Globe Asia edisi bulan Desember 2012 dengan kekayaan mencapai 8,7 miliar Dolar Amerika Serikat.
"Bima tuh, Nyil." ledek Dimas
Dera meringis dan refleks memukul lengan Dimas yang sudah duduk di samping Ana, dan secara otomatis cowok itu berada di depannya.
"Jangan kenceng-kenceng Bang, entar dia denger. Malu gue!"
"Elah.. masih ajah lo malu, diambil cewek lain uring-uringan deh, gak mau sekolah."
Dera menatap Dimas kesal. Bagi Dimas, meledek Dera adalah hobinya. Tidak di rumah ataupun di sekolah. Itu alasan yang membuat Dera membenci kehadiran Dimas di tengah kumpulan teman-temannya.
Dimas adalah kakak sepupu Dera. Bunda Dera itu adik Maminya Dimas. Usia mereka berjarak dua tahun. Berbeda dengan Dimas, Dera terlahir dari keluarga yang biasa saja. Ayahnya bekerja di perusahaan tekstil, sementara Bunda Dera hanya seorang Ibu rumah tangga.
"Bang Adi, kok lo ngocol sih!"
"Dimas, bukan adi!" Protes Dimas.
Cowok itu selalu kesal jika Dera selalu memanggilnya dengan sebutan Bang Adi , padahal dulu waktu kecil, jika dipanggil dengan nama itu Dimas akan biasa saja. Namun, semenjak Dera masuk ke sekolah yang sama dengannya. Dimas jadi berubah, mendadak tidak ingin dipanggil dengan nama itu. Alasannya sangat konyol, karena tukang bakso di kantin sekolah ini namanya, Mang Adi.
"Yeh, kan nama lo Adimas, ya dipanggil Adi lah." Ucap Dera ngotot sekaligus meledek.
"Kan bisa dipanggil Dimas juga!" Sahut Dimas kesal, lalu merengut sebelum akhirnya menatap Ana untuk meminta bantuan cewek itu. "Ribet banget sih dia, Yang."
"Ra!" Tegur Ana.
Dera berdecak sebal. "Iya, iya, Bang Dimas! Puas!"
"Nah gitu, kan kalo gitu bisa gue salamin ke si Bima."
"Awas lo ya Bang ngomongin yang enggak-enggak ke Bima."
"Lah cuma nyalamin doang."
"Tetep ajah, mulut lo kan bocor."
"Yaelah, mau gue bantuin malah gak mau." Tawar Dimas sambil meledek.
Dera melotot ke arah Dimas, memberi ancaman agar cowok itu tidak bercerita pada Bima tentang apapun.
"Gak perlu dibantu!"
Dengan kesal Dera bangkit dari duduknya, ia selalu seemosi itu jika berhadapan dengan Dimas. Mungkin itu terjadi juga karena kesalahannya. Beberapa bulan yang lalu, Dera pernah bercerita kepada Dimas kalau ia menyukai temannya yang bernama Bima. Untuk alasan itu, Dimas selalu berusaha mengolok-ngolok Dera seperti saat ini.
"Mau kemana, Ra?" Metta memegang tangannya, menahan untuk tidak pergi. Tapi bagi Dera berada satu ruangan bersama Bima membuat jantungnya berdebar-debar tidak karuan, ditambah Dimas yang selalu meledeknya seperti itu.
"Ke kelas! Males gue di sini."
Dera melangkah dengan kesal, pergi menjauhi meja yang tadi ia duduki, lalu melewati meja Bima dan teman-temannya. Saat berjalan di sebelah meja Bima, Dera menundukan wajah dan menutupinya dengan rambut.
Namun, teriakan Dimas selanjutnya, mampu membuat Dera mematung tepat di depan meja Bima. Jantungnya berdebar kencang, dan lututnya melemas.
"DERA! BIMA NGELIATIN LO TUH!"
Gadis itu menggeram dalam hati.
DIMAS RESEEEEEEEEEEE!!!!!!