Chereads / My Perfect Boyfriend / Chapter 3 - Suara

Chapter 3 - Suara

Dera menenggelamkan kepalanya di atas meja dengan tangan sebagai bantalan. Sepanjang jalan di setiap koridor kelas, gadis itu menggerutu kesal, mengeluarkan sumpah serapah yang ia punya pada Dimas dan mulut embernya itu.

Dera benar-benar merasa malu. Kejadian di kantin tadi masih membekas di kepalanya. Tubuh Dera membeku, seluruh pergerakan di tubuhnya terasa kaku saat mendengar Dimas berteriak memanggilnya.

"DERA, BIMA NGELIATIN LO TUH!"

Seperti sedang merasakan serangan jantung ringan. Jantung Dera berdegub kencang. Yang ia dengar selanjutnya adalah suara tawa teman-teman Bima dan suara Ana yang memarahi Dimas.

"Kamu keterlaluan tau!"

Dera sudah tidak punya muka lagi saat itu. Baginya kali ini Dimas benar-benar sudah keterlaluan. Walaupun ia menyukai Bima, bukan berarti Dimas bisa berteriak seperti itu di depan anak-anak tadi.

"Ra, lo tenang ajah, tadi si Bima gak denger kok." Metta berdiri di sebelah bangkunya sambil terus mengelus rambut Dera.

"Gak denger gimana sih, Ta? Orangnya ajah ada di kantin tadi!" Jawab Dera kesal tanpa merubah posisi.

"Iya, dia gak denger kok. Tadi ajah pas lo pergi trus si Daniel sama si Bayu ketawa, dia sibuk sendiri sama bukunya, dia lagi pake earphone tau, lagi dengerin musik." Kali ini Ana ikut menenangkan Dera.

"Sok tau! Dia kan emang gitu, gak pedulian sama sekitar!"

"Tapi gue yakin ah dia gak denger, tadi kan gue masih di kantin sampe si Dimas nyamperin si Bima. Buktinya si Bima gak denger pas dipanggil si Dimas." Balas Ana mencoba membuat gadis itu tenang.

Dera menegakkan tubuhnya. Menatap ke arah dua sahabatnya itu. "Beneran?" Mereka berdua mengangguk yakin.

"Udah santai ajah kalo di depan si Bima." Celoteh Metta sambil duduk di kursi depan Dera.

"Gimana bisa santai? Telapak tangan gue ajah langsung keringetan setiap kali ngeliat dia." Keluhnya.

Kini bisa terlihat jika Ana mulai menghela napasnya jengah, cewek itu terlalu frustasi melihat keadaan sahabatnya yang hanya bisa menyukai tapi tidak mau mengungkapkan.

"Yaudah, lo bilang ajah lo suka sama dia." Usul Ana.

"Ih ogah! Kalo gue ditolak gimana? Lebih malu lagi gue buat nunjukin muka di depannya!"

Ana menggeram menahan kesal. "Terserah lo ah!"

***

Dera berjalan bersisihan dengan Ana melewati lapangan menuju parkiran yang berdekatan dengan gerbang sekolah. Metta sudah lebih dulu pulang karena jemputannya sudah datang.

"Minggu belanja yuk, kan malem minggu ini gak bisa." Ujar Ana.

Dera menoleh, "Yah, klo minggu gue gak bisa. Biasa, si Mami minta gue nginep dirumahnya."

Mami, Ibunya Dimas.

Sudah menjadi ritual bagi mereka bertiga jika setiap hari sabtu adalah waktu yang mereka gunakan untuk berbelanja. Ketiganya akan menghabiskan malam minggu dengan berkeliling Mall sampai kaki mereka pegal. Tapi karena malam ini Ana dan Dimas ingin berkencan, jadi acara malam minggu mereka ditunda.

"Yah, nunggu minggu depan dong." Ana mencebik. Padahal jiwa shoppaholicnya sudah berteriak kencang sejak kemarin.

"Yaudah lo nggak usah kencan aja sama Dimas sekarang."

"Enak aja!" Ana mendelik, "gue sama Dimas jarang-jarang bisa pergi kencan. Bingung gue, abang lo itu sibuk mulu, bikin gue mikir kalo dia punya cewek lain."

"Kayaknya." Jawab Dera asal yang malah mendapatkan cubitan dari Ana. "Aww.. sakit, gila."

"Lagian lo kalo ngomong."

Dera berdecak, menatap Ana geram. "Lagian, kan gue bilang jangan pacaran ama Dimas."

"Nah, lo kan adeknya, masa gak dukung gitu sih?"

"Gue aja yang sebagai adeknya gak percayaan sama dia. Maka itu, sebelum lo sakit hati mending putusin."

Ana menghela, "males ah bahas itu mulu sama lo. Ngeselin!" Cewek itu kemudian berlalu meninggalkan Dera untuk menghampiri Dimas yang sudah berdiri di samping motornya.

Dera mengecek kembali handphonenya.

Di depan sana, parkiran sekolah sudah mulai menyepi, hanya tersisa oleh beberapa murid yang baru keluat kelas.

Ada Bayu dan Daniel yang sedang berbicara dengan Sassy, si ketua eskul dance, dan Dimas yang sedang manja-manjaan bersama Ana, lalu pandangan Dera tertuju pada Bima yang bersandar pada motornya dengan earphone di kedua telinga, tangan kirinya berada di saku celana, dan tangan kanannya sibuk memainkan handphone.

Ganteng banget dia, Ra.

Dera tidak pernah merasakan malu seperti ini sebelumnya. Wajah cewek itu terasa terbakar, bukan hanya karena tertangkap basah sedang melompati tembok, kejadian tadi siang saat di kantin pun ikut andil.

"Unyil!"

Dera bergeming mendengar panggilan sialan itu. Ia tau jika sekarang Dimas sedang memanggilnya. Unyil adalah panggilan kesukaan Dimas untuk Dera saat mereka masih kecil. Karena waktu kecil, Dera memiliki pipi yang tembam seperti unyil, maka itu Dimas sering sekali memanggilnya dengan sebutan itu.

"Eh Unyil, gue panggil juga."

"Nama gue Dera! Bukan Unyil!" Sentak Dera kesal dengan tatapan tajam.

"Elah, marah-marah mulu lo. Dijemput gak?"

Dan dapat ia lihat, ketiga orang yang berada di belakang Dimas mulai menoleh padanya, tidak terkecuali Bima. Dera merasa terintimidasi dengan tatapan Bima saat ini. Cowok itu masih saja tampan walau terlihat guratan lelah di wajahnya.

Dera lebih memilih menunduk, menatap ke arah sepatu kets putih yang ia kenakan. wajahnya mulai memerah. Ini yang selalu Dera bilang jika ia tidak bisa berdekatan dengan Bima. Seperti apapun keadaannya, Dera selalu tidak bisa mengendalikan perasaannya.

"Deh, malah diem, dijemput siapa lo?"

Lagi-lagi Dera tersentak mendengar teriakan Dimas. Ia mengangkat wajahnya. "Gak tau, Bang Devry gak bisa ditelpon."

"Yaudah telpon Bunda."

Dera berdecak, "iya ini lagi mau gue telpon."

Dengan setengah kesal, Dera mencoba menghubungi Bunda, namun sialnya, pulsa Dera habis. Mau tidak mau ia harus meminjam hape Dimas.

"Bang, pinjem hape dong, pulsa gue abis." Ujarnya dengan cengiran.

"Giliran ada maunya bae sama gue."

"Lo mau minjemin apa enggak? Pelit banget sih." Ketusnya kemudian.

"Pulangnya bareng gue ajah, Ra." Kini Bayu ikut masuk dalam percakapan antar sepupu yang mulai memanas.

"Enggak ah Kak, kan rumah lo gak searah sama rumah gue."

"Panggil Abang, Ra. Lo manggil si Dimas Abang, giliran manggil gue Kakak." Uajr Bayu memaksa.

"Lo mah gak pantes dipanggil abang, lo tuh ya pantesnya dipanggil Mas, Mas Bayu~." Celetuk Daniel yang membuat semua orang yang ada di sana tertawa, tapi tidak dengan Bima. Cowok itu hanya tersenyum sambil menyibukan diri dengan hapenya.

Bayu mendengkus, lalu menoyor kepala Daniel kencang. "Sirik ajah lo ah!"

Bersamaan dengan itu, Dimas mengulurkan tangannya untuk memberi hape pada Dera. Cewek itu maju selangkah mendekat dan mengambil hape Dimas. Setelah mencari kontak Bunda, Dera kemudian menekan panggilan lalu mendekatkan ke telinganya.

"Assalamualaikum Dim." Jawab Bunda saat panggilannya tersambung.

"Walaikumsalam, Bun. Ini aku." Jawab Dera memberi tahu.

"Oh Dera, kenapa dek?"

"Kok Bang Devry belum jemput aku ya, Bun?"

"Loh, Bang Devry belum bilang gak bisa jemput kamu?"

"Dia gak ada telpon ke aku, Bun." Dera meringis, merasa kesal sekaligus marah.

Dalam satu hari ini Dera bisa mendapat begitu banyak masalah. Di mulai dari telat bangun pagi, ketangkap basah melompati tembok oleh Bima, bertemu Jessica dan Stella, lalu di kantin Dimas membuatnya malu, dan sekarang Devry tidak bisa menjemput.

"Bang Devry kemana sih, kenapa gak bilang dari tadi, tau gitu aku pulang naik ojek online ajah." Kesalnya yang justru membuat semua perhatian tertuju padanya.

"Yaudahlah Bun, aku tutup ya. Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Dera mematikan sambungan itu dengan kesal. Lalu mengembalikan hape Dimas sambil cemberut.

"Tuh kan gak dijemput, udah sama Bang Bayu ajah, gimana?" Bayu mengedipkan sebelah matanya.

Masih ajah usaha nih orang.

"Enggak usah Kak, ngerepotin nanti. Naik angkot ajah."

"Udah sih Ra mending sama si Bayu." Kali ini Ana ikut angkat bicara. "Gue takut lo kenapa-napa naik angkot."

"Kenapa jadi lebay sih Na, perasaan gue cuma mau naik angkot, bukan mau ikut Om-om."

Belum sempat Ana membalas, tiba-tiba ada sebuah suara yang memangil Dera dari arah belakang, dan sukses membuat semua orang menoleh ke arahnya.

"Dera.."

Ia menoleh, lalu mendapati sesosok cowok dengan seragam rapih yang berbeda jauh dengan keempat cowok di depannya tadi.

"Imam." Dera sontak mengerjap kaget dan tubuhnya mendadak kikuk, namun tidak bagi keempat cowok di belakangnya. Mereka seakan memberi tatapan tidak suka pada Imam yang menghampiri Dera.

"Belom pulang?" Tanya Imam.

Dera melirik tipis ke arah Dimas dengan rasa takut.  "I-ini baru mau."

Imam Mahardika, anggota Osis sekaligus ketua kelas 11 IPA 1. Imam adalah mantan pacarnya Dera sejak sebulan yang lalu. Mereka putus karena Imam kepergok jalan bareng sama cewek lain.

"Pulang bareng aku yuk, Ra." Ajak Imam.

"Gak bisa! Dera udah janji mau pulang bareng sama Bayu." Dimas menyerobot lebih dulu sebelum Dera membuka suaranya.

Mendengar itu, membuat Dera menatap Dimas sinis sambil memberengut. "Kapan gue bilang?"

"Tadi! Iya kan, Bay?"

"Hah?" Pertanyaan Dimas yang tiba-tiba membuat Bayu jadi salah tingkah. "Eh, iya-iya."

Dera tahu, Dimas sengaja memaksa dirinya pulang bersama Bayu untuk menghindari Imam darinya. Entah sejak kapan, tapi Dera merasa jika Dimas sangat membenci Imam.

Semua berawal saat Dera dan Imam putus. Saat itu, Dimas adalah tempat curhat yang paling tepat bagi Dera. Selama mereka berpacaran, Dimas juga sering bertanya tentang Imam, mencari tahu banyak hal tentang cowok itu. Dimas tidak pernah menunjukan kebenciannya, namun semenjak putus, Dimas memperlihatkan kebencian yang teramat sangat pada Imam.

"Jadi kamu mau pulang sama siapa?" Imam bertanya kembali, membuat Dera panas dingin karena ditatap Dimas dengan wajah merah menahan kesal.

"A-aku.. itu.."

"Hemm?" Imam masih menunggu jawaban gadis itu.

"A-aku.. aku pu-"

"Dia pulang bareng gue."

Dera tersentak, matanya mengerjap berulang-ulang. Itu bukan suara Bayu, bukan juga suara Daniel.

Ya Tuhan. Suara ini.

Dia menoleh cepat ke belakang, melihat Bima berdiri tegap dan berjalan pelan ke arahnya. Seakan mati rasa, Dera sudah tidak bisa lagi merasakan betapa cepat debaran jantungnya saat Bima sudah berdiri di sebelahnya.

"Dia pulang bareng gue!"

Wajahnya datar dan dingin seperti biasa, namun rahang Bima yang mengeras serta matanya yang tajam menatap Imam, membuat tubuh Dera merinding.

"Beneran kamu mau pulang sama Bima?" Imam masih berusaha mencari jawaban dari Dera.

Sebenarnya, jika Dera ingin berkata jujur, lebih baik dia pulang bersama Imam dibanding harus satu motor bersama Bima. Karena, saat bersama Bima, Dera yakin dirinya butuh napas bantuan agar tetap sadar sampai di rumah.

"Lo mau pulang sama siapa?" Suara Bima yang angkuh membuat Dera semakin menegang.

Dalam hati Dera berkata, Aku mau pulang sama Imam aja, Kak.

Namun,

"Aku ... pulang sama Kak Bima."

Mulutnya berkata lain.