Setelah kepergian Ludius, Silvia justru lebih banyak diam. Seperti kembali kedirinya yang tidak biasa. Julian yang melihat kemurungan dari wajah Silvia, memutuskan untuk menelfon ibu Silvia yang belum mengetahui keadaan anaknya itu dengan sembunyi-sembunyi.
Beberapa menit kemudian, Ibu Yuliana datang dengan terburu-buru mendengar kabar putrinya tiba-tiba saja masuk ke rumah sakit. "Silvia, kamu baik-baik saja kan nak?" Ibu Yuliana mengangkat tubuh Silvia dan memeluknya.
"Ibu kenapa, aku baik ibu.. Pasti kak Julian yah yang berbicara pada ibu macam-macam. Ohya Bu, Aku hanya ingin memberitahu, bukankah cincin ini sangat indah?" tanya Silvia di penghujung ucapannya untuk memancing kejujuran mereka
"Iya Silvia, ini sangat cantik. Kakakmu Julian yang memberikannya. Memangnya ada apa nak?" Tanya ibu Yuliana balik dengan perasaan berdebar.
"Ibu, bukankah ini cincin pasangan. Seharusnya Kak Julian mempunyai pasangannya kan. Dan juga dalam lingkaran cincin ini terdapat inisial seseorang. Apa ibu tidak mengetahuinya?".
Perkataan Silvia mampu memojokkan Ibunya beserta Julian. Mereka seperti terdesak dengan jawaban lugas dari Silvia. "Bagaimana kamu mengetahui itu semua nak. Apa ingatanmu sudah mulai kembali?".
Terlihat jelas wajah-wajah orang yang seakan terciduk melakukan sebuah kesalahan. "Seseorang memberitahuku Ibu. Sekarang aku mohon pada kalian, jujurlah apa yang sebenarnya terjadi. Apa menutupi sebuah kebenaran adalah hal yang benar!" Silvia mulai meninggikan suaranya, dia terlihat kecewa dengan dua orang yang sangat dia percaya.
"Bukan seperti itu Silvia, Kakak hanya sedang melakukan yang terbaik untukmu". Julian yang jelas berbohong memberi alasan dengan wajah tertunduk.
"Tidak ada hal baik jika dimulai dari sebuah kebohongan Kakak. Apa Kakak tahu, aku seperti orang yang sedang berjalan tanpa arah. Dan Kakak justru mengarahkan aku pada jalan yang salah. Aku kecewa pada kalian". Silvia membuang mukanya pada mereka.
" Nak, maksud dari Kakakmu itu baik. Kamu memang harus melupakan semua yang berhubungan dengan Negeri China. Itu hanya akan membuatmu terluka Nak. Kadang diam itu juga perlu jika itu membuat keadaan menjadi lebih baik".
"Sudahlah Bu, ibu juga sama saja. Dari dulu ibu selalu diam jika aku mempertanyakan masa lalu kita dan Keluarga Ayah yang berada di China".
Waktu berjalan begitu cepat hingga malam habis termakan waktu.
____________________
Kemarin malam Ludius telah membooking sebuah resort di suatu tempat yang letaknya tidak jauh dari Kota Jakarta dengan pemandangan Pantai dan taman dengan hamparan penuh bunga. Walau tidak ada bunga Plum seperti di Kediaman Ludius, tapi Ludius sangat berharap melihat senyum Silvia lagi seperti dulu.
Pagi ini di depan kamar Ludius terdengar suara ketukan pintu, dan seseorang masuk begitu saja. Mu Lan terkejut melihat Ludius baru saja keluar dari kamar mandi dengan telanjang dada dan rambut yang masih basah oleh air. Sesaat Mu Lan terpaku hatinya berdetak melihat keindahan yang jarang orang lain lihat.
"Apa yang kamu lakukan disini? Apa kamu mau melihatku dalam keadaan seperti ini. Keluar!" Usir Ludius dengan dinginnya.
Setelah Ludius memakai kemejanya, dia menyuruh Mu Lan untuk masuk.
"Tuan Lu, jadwal pagi ini yaitu meninjaun proyek yang telah disepakati. Apa Tuan akan ada acara lain?" Tanya Mu Lan dengan perasaan yang masih bergejolak. Sesaat bayangan Ludius menyelinap masuk kedalam fikirannya.
Mu Lan yang melihat Ludius kesusahan memakai dasi mendekat untuk membantu. Tercium wangi parfum khas itali yang sesuai dengan perangaian Ludius.
"Jika Tuan kesulitan, Tuan bisa meminta saya untuk membantu".
"Lepaskan tanganmu! apa aku menyuruhmu untuk membantuku. Pergi gantikan aku menemani Tuan Julian meninjau proyek, katakan pada beliau Aku ada urusan penting pagi ini". Ludius berkata dengan dinginnya. Aura yang Ludius keluarkan mampu membuat seisi ruangan menjadi beku.
Mu Lan berjalan mundur dan keluar dari kamar Ludius dengan perasaan geram. Mungkin yang ada dalam fikiran Mu Lan saat ini adalah bagaimana cara untuk menaklukkan Ludius agar jatuh kedalam genggamannya.
Setelah Ludius berpakaian rapi, Dengan cepat dia keluar dari Apartement menuju mobilnya. "Tunggu aku pagi ini Sayang.. Aku akan memberikan kejutan untukmu" ujarnya pada dirinya sendiri.
...
Di depan Rumah Sakit mobil Ludius terhenti. Dia berjalan masuk layaknya model pria yang sedang berjalan di atas Red karpet. Banyak dari wanita muda yang terkagum melihat ketampanannya. Tatapan para wanita itu terus mengikuti kemana Ludius berjalan
"Sungguh pemandangan yang langka" celetuk salah seorang dari mereka.
Banyak wanita yang berbisik tentangnya, tapi dia hiraukan begitu saja.
Didepan ruangan terlihat Silvia tengah sendiri, mungkin ibunya tengah sibuk dan sepertinya Julian juga sedang meninjau proyek bersama Mu Lan. Hanya ada dua suster yang menjaganya.
"Ludius, Apakah kamu datang untuk menjengukku?" tanyanya dengan senang.
"Benar, Aku datang kalau bukan untukmu lalu untuk siapa lagi?". Jawab Ludius dengan senyuman.
(Sarapan pagi paling nikmat adalah melihat senyummu. Itu bukanlah sebuah kebohongan).
"Silvia, apa kamu mau ikut denganku?. Aku ada sebuah kejutan untukmu. Untuk urusan izin, aku sudah meminta suster untuk menemani kita jika terjadi sesuatu padamu".
Senyum mengembang diwajah Silvia, dia terlihat begitu senang dengan semua yang Ludius katakan.
(Aku tidak tahu apa artinya kamu bagiku. Tapi perasaan senang ini cukup untuk mewakili jawaban dari semua pertanyaanku).
Ludius mempekerjakan seorang suster untuk membantu Silvia turun dari ranjang menuju kursi roda. Ludius kenal betul sifat Silvia yang tidak suka jika ada orang lain sembarangan menyentuhnya.
"Biar aku saja sus, aku sudah menyiapkan mobil beserta sopir untuk mengantarmu ketempat kami". Ludius mengambil alih kursi rodanya dan membawa Silvia keluar menuju mobil.
Ludius menggendong Silvia masuk kedalam mobilnya lalu memasukkan kursi roda kedalam bagasi. Ludius menyalakan mesin dan membawa Silvia pergi tanpa diketahui oleh keluarga bahkan Kakaknya Julian.
"Ludius, kamu akan membawaku kemana? Sepertinya tempat itu lumayan jauh". Wajah Silvia yang tertimpa sinar matahari membuatnya terlihat lebih bercahaya.
"Kalau aku memberitahumu, itu bukanlah sebuah kejutan. Tenang.. Aku tidak sedang menculikmu. Apa wajah tampan sepertiku terlihat seperti penjahat wanita?" Tanya nya dengan sedikit tertawa.
"Ehm.. Mana kutahu. Memangnya aku detektif yang bisa menebak isi hatimu. Bisa sajakan kamu beneran sedang menculikku" balas Silvia dengan nada bercanda.
Mobil berhenti disebuah tempat yang luas dengan bangunan dengan fasilitas kelas satu. Ludius keluar mengambil kursi roda dan menngendong Silvia untuk mengeluarkan Silvia dari dalam mobil. Ludius membawa Sivia masuk ke dalam resort. Terilhat pelayan berjajar rapi menyambut mereka
"Selamat datang di Resort kami". Sambut para pelayan kompak.
Ludius membawa Silvia masuk jauh kedalam. Dan di dalam terdapat hamparan bunga dengan berbagai jenis menyambut kedatangannya.
Silvia berdecak kagum melihat hamparan bunga dengan angin sejuk yang menyapa kedatangannya.
"Silvia bukankah hamparan bunga ini menenangkan hatimu? Seakan kamu lebih jujur pada dirimu sendiri". Ucap Ludius dia berdiri sejajar disamping Silvia.
Silvia tiba-tiba merasa pusing, dia menyandarkan kepalanya pada kursi roda. (Tadi itu bayangan siapa, apa itu aku? Apakah aku pernah mengalami ini sebelumnya?).
"Silvia, apa kamu baik-baik saja?". Tanya Ludius yang melihat Silvia tiba-tiba menyandarkan kepalanya.
Tangan Silvia begitu saja bergerak menyentuh wajah Ludius. Mata Silvia mengamati wajah tampan yang ada didepannya. "Apa kita pernah memiliki sebuah hubungan. Mengapa wajahmu seakan tidak asing bagiku. Seperti kita telah mengenal lama satu sama lain". Ucap Silvia lirih.
(Aku belum bisa memberitahumu kalau kita sudah menjalin hubungan sangat dekat. Kita bahkan sudah bertunangan, cincin dijari manismu adalah tanda bahwa aku benar-benar mencintaimu). Perkataan itu terhenti di hatinya, Ludius sadar dia tidak bisa memaksa ingatan Silvia saat ini.
"Lihatlah Silvia, tanganmu sudah bisa digerakkan". Perkataan Ludius menyadarkan Silvia bahwa tangannya telah bergerak menyentuhnya.
"A.. Apa? Bagaimana bisa, aku bahkan tidak menyadarinya".