"Beneran nih, espresso juga? Asem, lho."
Olive melirik sembari menanti mesin yang sibuk berdehem-dehem ini batuk kopi ke dalam cangkir. Barulah ketika cairan hitam itu dimuntahkan dari moncongnya mimik wajah wanita ini berubah dari ragu menuju bahagia dalam hitungan supersekon.
"Ya, namanya juga lembur. Mesti yang bikin bangun, lah," kilahku.
"Oke, bosku. Sudah jam sebelas sih, hihi."
Blazer wanita itu dibiarkan menggantung di kursi kerjanya. Lagipula, Air Conditioner juga tidak terlalu dingin. Padahal bukan kerja di front office, tapi lengannya mulus cemerlang mengalahkan para pramugari gadungan. Saat ia menyadari ke mana sorotan mataku, "cie, kaya baru lihat pertama kali aja," disindirnya aku dengan sangat sengaja.
"Ya, kalo memang cakep masa' nggak boleh dipandang?" mampus, pipinya merah. 'iya sih' terdengar lirih, tidak tahu entah maksudnya memuji diri atau bukan ketika ia memalingkan wajahnya dariku. Seruput kecil terdengar saat ia membelakangiku, seolah ingin menghapus rasa malunya dengan sekali teguk.
Sensornya lumayan bagus, dan lagi tampaknya dia sudah mengatur preferensi kopiku. Serius, rasa-rasanya baru kali ini aku mencoba kopi rasa mesin espresso instan. Biasanya, kalau di ajak ngopi pun, ujung-ujungnya tak jauh dari kopi instan atau sejenisnya. Barulah mesinnya hidup berdengung saat gelasku kusodorkan ke bawah moncong logam yang menuangkan kopi hitam kelat ke gelas milik perempuan itu barusan.
"Eh, tahu nggak?" tahu-tahu ia sudah melipat tangannya saat aku kembali menoleh menuruti panggilannya, "Biarpun namanya sama, tapi Cafe Latte lebih berasa daripada kopi susu biasa, lho."
Nggak heran, "err, karena pakai espresso?"
"Nggak cuman itu sih," dilihatnya gelasnya yang sudah kosong. Cepat betul ia sudah menghabiskan espresso yang kelihatan panas itu, "susunya juga sudah diproses menjadi susu uap gitu, jadi nuansa kopinya nggak sampai tenggelam gara-gara pakai susu bubuk."
"Terus? Apa bedanya dengan cappucino?" balasku.
"Lebih banyak susunya daripada buih susunya, hihi," entah mengapa ia cekikikan saat mesin itu berdehem lagi, "tuh, udah kubikinin cafe lattenya."
Aku kembali menyambut mesin yang baru saja usai membuat kopi racikannya.
Lho. Kulihat gelasku lagi. Lalu kulihat layar digital mesinnya. Espresso. Hitam. "Lho, kok?"
Saat aku hendak bertanya, kulihat dirinya memandang ke kiri dan kanan sebelum mendekat duluan. Rambutnya yang dipangkas bob juga lantas berpadu sensual dengan pasangan putih-hitam yang ia kenakan. Dua kancing kemeja tak berlengannya sudah terbuka dari kerah hingga tepian katup bra hitam yang mengintip dari dalam saat ia menjorok ke depan dan berbisik,
"Cafe latte-nya kutunggu di tangga darurat, ya."