Seperti memasang sebuah anak panah pada benang, tinju itu pelan-pelan ditarik ke belakang.
Meskipun dia berdiri disana gemetaran, Climb menyadari bahwa apa yang akan terjadi dan menggetarkan
kepalanya dari sisi ke sisi. Tak usah dikatakan lagi, tanda yang dia berikan tidak berefek kepada Sebas.
"Kalau begitu... matilah."
Seperti sebuah anak panah yang meledak dari benang yang tegang, tinju Sebas melayang kepadanya dengan
suara yang membelah udara.
- Ini akan menjadi kematian dalam sekejap.
Climb menyadari ini saat waktu menjadi pelan. Kelihatannya seakan sebuah bola baja yang besar yang bahkan
lebih tinggi daripada dirinya meluncur kepadanya pada kecepatan yang ganas. Pikirannya dipenuhi dengan
gambar dari kematian yang lengkap dan absolut ini. Meskipun jika dia ingin mengangkat pedangnya dan
menggunakannya sebagai tameng, akan mudah dihancurkan dengan tinju ini.
Tubuhnya bahkan tidak bergeming. Kegelisahan yang besar membuatnya benar-benar kaku.
-Tidak mungkin bisa lepas dari kematian yang ada di depan matanya.
Climb menyerahkan nasibnya dan di waktu yang sama, menjadi marah dengan dirinya sendiri.
Jika dia tidak bisa memberikan hidupnya untuk Renner, mengapa dia tidak mati saja sekarang ? akan lebih baik
baginya untuk mati sendirian, gemetar di dalam dinginnya hujan.
Di dalam matanya, dia melihat wajah cantik Renner.
Ada yang berkata jika seseorang sudah mendekati kematian, mereka akan melihat hidup mereka selama ini di
depan mata. Itu adalah efek dari otak yang mencari ingatan masa lalu untuk keluar dari situasi ini. Tetap saja,
dia menemukan itu sedikit menghibur karena hal terakhir yang dia lihat adalah senyuman dari tuannya yang
sangat dia cintai dan hormati.
Benar sekali. Apa yang Climb lihat adalah senyuman Renner.
Segera setelah dia menyelamatkan hidup Climb, Renner yang masih muda tidak menunjukkan senyumannya.
Kapan dia mulai tersenyum ?
Dia tidak bisa mengingatnya. Namun, dia memang teringat dia tersenyum dengan malu-malu.
Jika dia tahu kematian Climb, bukankah senyum itu akan hancur ? Seperti sebuah awan gelap yang
menghalangi matahari ?
Jangan membuatku tertawa!
Kemarahan yang muncul dari lubuk hati Climb.
Dia adalah orang yang menyelamatkan hidupnya yang telah dia buang ke sisi jalanan. Jika begitu, nyawanya
bukanlah miliknya lagi. Tubuh ini adalah untuk Renner, untuk memberikan meskipun sedikit sekali bentuk
kebahagiaan.
Pasti ada cara untuk keluar dari sini-!
Rantai ketakutan telah hancur dengan emosi kuat yang mulai muncul.
Tangannya bergerak.
Kakinya juga bergerak pula. Mata yang akan tertutup terbuka lebar. Dia mencoba mati-matian dengan mata telanjang untuk mendeteksi tinju
berkecepatan ultra tinggi yang menuju ke arahnya.
Seluruh indera di tubuhnya ditekan hingga batas mereka, hingga titik dimana dia bahkan bisa merasakan getaran
udara.
Seperti bagaimana seseorang menunjukkan kekuatan super pada kebakaran, ketika gawat darurat, otak
melepaskan keamanan yang ditempatkan di otot dan membuat mereka bisa menunjukkan kekuatan yang
sebelumnya tidak mungkin.
Otak yang mengeluarkan cairan kimia dalam jumlah banyak dan fokusnya otak seluruhnya kepada cara untuk
selamat. Dengan cepat memproses informasi dalam jumlah banyak dan memilih tindakan yang paling optimal.
Dalam sesaat, Climb melangkahkan kaki ke dalam dunia warrior kelas satu. Namun, bahkan hal itu telah
dilewati oleh kecepatan dari serangan Sebas. Sangat mungkin bahwa ini sudah terlambat, sehingga tidak ada
lagi waktu yang tersisa untuk menghindari tinju Sebas. Meskipun begitu, dia harus bergerak. Bagaimana dia
bisa menyerah ?
Dalam kompresi waktu yang cepat itu, gerakannya sendiri terlihat selambat kura-kura. Meskipun begitu, Climb
mati-matian menggerakkan tubuhnya.
Dan Boom. Dengan sebuah teriakan, tinju Sebas melewati wajah Climb. Tekanan angin yang datang dari serangan
itu telah merontokkan beberapa helai rambut dari kepalanya.
Dia mendengar suara lirih.
"Selamat. Bagaimana rasanya melewati rasa takut akan kematian ?".
-Tak mampu mengerti apa yang dia katakan, Climb menunjukkan ekspresi bodoh di wajahnya.
"Bagaimana rasanya menghadapi kematian ? Dan bagaimana rasanya melewatinya ?"
Climb sangat terengah-engah dan menatap Sebas dengan ekspresi linglung. Wajahnya terlihat seakan dia
memiliki beberapa skrup yang kendor. Haus darah tadi menghilang tanpa jejak. Hanya ketika ucapan Sebas
yang pada akhirnya masuk ke dalam kepalanya sehingga dia bisa merasakan suatu perasaan lega.
Seakan rasa haus darah yang kuat seluruhnya telah ditahan, Climb roboh seperti boneka yang terputus
benangnya.
Sambil berada di tangan dan lututnya, dia dengan rakus menghirup udara segera ke dalam paru-parunya.
"...Untungnya kamu tidak mati karena kaget. Ada waktunya ketika tubuhmu sangat percaya bahwa kematian
yang membuat kemampuan untuk mendukung hidup menyerah."
Masih ada hal yang pahit di tenggorokan Climb. Ini pasti rasa dari kematian itu sendiri, pikirnya.
"Mengulang ini berkali-kali akan membuatmu bisa melewati ketakutan yang paling besar. Tapi kamu harus
hati-hati. Ketakutan adalah yang memicu insting untuk menyelamatkan diri. Jika rasa takut itu menjadi tumpul
sepenuhnya, makan tidak akan bisa mengenali bahkan bahaya yang paling jelas. Kamu harus bisa membedakan
diantara mereka."
"Meskipun aku tidak sopan, Sebas-sama, siapa anda ?"
"Apa maksudmu ?"
"Rasa haus darah itu bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh orang biasa. Siapa sebenarnya.."
"Saat ini aku hanyalah orang tua biasa yang percaya diri akan kemampuannya."
Climb tidak bisa memalingkan matanya dari wajah senyuman Sebas. Meskipun dia kelihatannya tersenyum
dengan lembut, itu juga terlihat seperti senyum yang menakutkan dari kekuatan yang luar biasa jauh melebihi
Gazef.
Dia adalah perwujudan yang mungkin lebih kuat dari Gazef itu sendiri, warrior terkuat di antara negara
tetangga. Climb memutuskan bahwa rasa penasarannya sudah cukup sampai disitu. Dia merasa bahwa tidak ada hal yang
baik yang akan datang jika menggali lebih dalam.
Namun, satu hal yang terbakar di pikirannya adalah pertanyaan bahwa siapa orang tua yang bernama Sebas ini
sebenarnya. Dia bahkan mempertimbangkan kemungkinan bahwa dia adalah salah satu dari tiga belas pahlawan
dari masa lalu.
"Kalau begitu mari kita coba sekali lagi-."
"Tu..Tunggu! Aku punya pertanyaan!"
Sebuah suara ketakutan dari seorang pria terdengar dari belakang, memotong ucapan Sebas.