Chereads / OVERLORD INDONESIA / Chapter 241 - Brain Mencoba Mengatasi Rasa Takutnya

Chapter 241 - Brain Mencoba Mengatasi Rasa Takutnya

Bulan Api Bawah (Bulan ke 9), Hari ke 3, 9:42

Brain melangkah keluar dari kediaman Gazef.

Dia melihat ke samping dan mengingat tampilan luar rumah Gazef agar dia bisa tahu jalan pulang. Dia tidak

bisa mengingat bagaimana bentuknya dulu ketika Gazef menyeretnya kemari; pikirannya sedikit kabur karena

hipotermia.

Dia setidaknya tahu lokasi dari rumah Gazef karena dia berencana untuk mengunjunginya agar bisa menantang

Gazef bertarung. Namun, karena dia hanya pernah mendengarnya dari mulut ke mulut, ada sedikit kesalahan

dalam informasinya.

"Di atap rumah itu tidak ada pedang yang tertancap."

Dia mengamati dengan teliti rumah tersebut mengutuk pemberi informasi yang telah memberinya informasi

yang salah. Rumah itu lebih kecil bila dibandingkan dengan rumah-rumah bangsawan yang ada di sana. Jika

seseorang membandingkannya, rumah tersebut terlihat seakan jika seorang penduduk yang kaya layak tinggal

disana. Bagaimanapun juga, sudah lebih dari cukup bagi tiga orang: Gazef dan sepasang pelayan yang tinggal di

sana.

Memasukkan ke dalam ingatannya, Brain melanjutkan perjalanannya.

Dia tidak menuju tujuan manapun secara khusus.

Dia tidak lagi ingin berkeliling mencari item magic, senjata-senjata, atau armor.

"Apa yang harus kulakukan...."

Gumamannya menghilang ke ruang kosong.

Tidak masalah jika dia hanya pergi kemanapun dan menghilang. Bahkan sekarang, otaknya sangat tertarik

sekali dengan ide tersebut.

Meskipun dia telah mencari di hatinya atas apa yang ingin dia inginkan, dia hanya menemukan sebuah lubang

kosong di tempat itu. Bahkan tak ada sedikitpun sisa dari tujuan yang sudah hancur dulu.

Lalu mengapaMelihat ke bawah, katana ada di tangan kanannya. Di balik bajunya, dia sedang mengenakan baju rantai (chain

shirt).

Alasan mengapa dia menggenggam katana sebelum tiba di ibukota adalah rasa takut. Meskipun jika dia tahu

bahwa itu tidak akan ada apa-apanya bagi monster yang disebut Shalltear yang telah menahan serangan

kekuatan penuh miliknya hanya dengan kuku dari jari kelingkingnya, kegelisahan tanpa adanya pedang itu terlalu besar dirasakan.

Lalu mengapa dia masih tetap memegangnya ? Tidak masalah meskipun dia meninggalkan pedang itu. Seperti

yang diduga, apakah itu karena dia gugup ?

Memikirkannya lagi, Brain memiringkan kepalanya.

Tidak.

Namun, kenapa dia membawa katana itu bersamanya, tak ada jawaban yang datang.

Brain berjalan sambil mengingat ibukota waktu dulu ketika dia mengunjunginya untuk pertama kali. Sementara

bangunan seperti istana dan guild Magician masih tetap tidak berubah, dia melihat banyak bangunan yang baru.

Saat Brain mencoba untuk menikmati jarak di ingatannya, ada sebuah keributan di jalan depan sana.

Dia mengerutkan dahi melihat keributan itu. Suara yang datang dari depannya dipenuhi dengan rasa kekerasan

yang tajam.

Saat dia akan berputar untuk mengambil jalan berbeda, matanya menjadi tertarik oleh seorang pak tua. Pak tua

itu kelihatannya seperti meluncur menembus kerumunan itu saat dia menuju jauh ke dalam.

"..A-Apa ? Gerakan apa itu ?"

Matanya berkedip beberapa kali saat kalimat itu tak sengaja keluar. Gerakan-gerakan itu benar-benar terlalu

luar biasa. Itu membuatnya seakan-akan dia baru saja melihat mimpi di siang bolong, atau mungkin hasil dari

semacam mantra.

Masih diragukan apakah Brain bisa mengikuti gerakan pak tua itu atau tidak. Teknik seperti itu hanya mungkin

bisa dilakukan jika seseorang bisa membaca aliran dari dorongan dan tarikan yang tercipta baik dari individu

tersebut dan seluruh kerumunan.

-Apa yang dia lihat adalah sebuah keahlian dari tubuh.

Kakinya bergerak ke arah pak tua itu tanpa ragu.

Setelah mendorong minggir orang lain dan tiba di tengah kerumunan, apa yang Brain lihat adalah saat ketika

pak tua itu menyerang dagu pria tersebut dengan kecepatan yang tinggi.

Lalu bagaimana ? Serangan yang tadi itu... Jika itu adalah aku, bisakah aku menghindarinya ? Itu mungkin sulit.

Apakah dia menipu indera pria tersebut ? Apakah aku hanya terlalu banyak berpikir ? Lagipula, itu adalah

serangan yang sangat bersih, tak ada satupun gerakan yang sia-sia...

Dia bisa merasakan kekaguman yang keluar dari mulutnya saat dia merenungkan serangan yang saja dia lihat

tadi.

Bukan hanya dia tidak bisa melihatnya dengan jelas, sangat sulit membandingkan seorang pemakai pedang dan

seorang ahli beladiri yang menggunakan unit pengukuran yang sama. Namun, meskipun dalam waktu sekejap

itu sudah lebih dari cukup untuk bisa memahami bahwa pak tua itu sangat kuat.

Pak tua itu mungkin bahkan lebih kuat dari dirinya.

Sambil menggigit bibir bawahnya, Brain membandingkan sisi samping dari wajah pak tua itu dengan data dari

lawan-lawan yang ahli yang ada di dalam ingatannya. Namun, dia berbeda dari mereka semua.

Siapa dia sebenarnya ?

Dalam satu kedipan, pak tua itu bergerak keluar dari kerumunan. Seorang bocah juga menjauh, seakan

mengikuti pak tua itu. Bertindak karena dorongan, dia seperti ditarik ke dalam, Brain mulai mengikuti si bocah.

Rasanya pak tua itu seperti memiliki mata di punggungnya, membuatnya sulit bagi Brain untuk mengikutinya

dari dekat. Tapi dengan bocah itu, itu bukan masalah. Dan meskipun jika bocah itu ditemukan, Brain sendiri

masih akan aman.

Sesaat setelah dia mulai mengikuti mereka, Brain merasakan kehadiran beberapa orang lain yang mengikuti.

Namun, apakah mereka mengikuti pak tua atau si bocah bukanlah urusannya.

Akhirnya, dua orang itu berbelok ke sudut dan jalan mereka berlanjut semakin gelap. Brain merasa gugup, itu

seperti dia sedang dipancing.

Apakah si bocah itu tidak berpikir curiga ? Saat Brain mulai penasaran, bocah itu bicara kepada pak tua

tersebut.

Karena mereka baru saja berbelok dari sudut, Brain mampu bersembunyi di dalam lorong dan mendengarkan

pembicaraan mereka.

Untuk meringkas percakapan mereka, bocah itu ingin belajar dari pak tua itu.

Omong kosong. Pak tua itu tidak akan menerima bocah yang masih hijau sepetinya sebagai seorang murid.

Ketika membandingkan kemampuan dari mereka berdua, jika si bocah adalah batu kerikil, maka pak tua itu

seperti permata yang besar. Mereka hidup dalam dunia yang benar-benar berbeda.

....Sayang sekali. Aku tidak mengira bahwa mengetahui perbedaan dalam kemampuan antara dirimu dengan

orang lainnya akan semenyedihkan ini. Sudah cukup, bocah.

Brain berpikir sendiri tanpa mengatakannya dengan keras.

Sementara yang dia maksud adalah bocah itu, juga diarahkan kepada dirinya sendiri di masa lalu yang masih cukup bodoh untuk percaya bahwa dia adalah yang terkuat.

Saat dia melanjutkan menguping - dia tidak sedikitpun memberi perhatian tentang rumah bordil - Kelihatannya

sudah diputuskan bahwa pak tua itu akan melatihnya mungkin sekali atau dua kali. Pak tua sekaliber itu, kepada

bocah sepertinya, Brain tidak bisa berpikir apapun yang layak diajarkan.

Apa yang terjadi ? Apakah mataku kabur lagi ? Tidak, bukan itu. Kemampuan bocah itu tidak spesial dan dia

bahkan tidak memiliki bakat apapun!

Latihan macam apa yang akan dia berikan ? Tapi dari posisi ini, dia hanya bisa mendengar, tidak bisa melihat.

Tak mampu menahan rasa penasarannya, Brain mematikan kehadirannya dan pelan-pelan bergerak untuk

mencoba mengintip dari sudut. Saat ituSebuah energi yang menakutkan menusuk seluruh tubuhnya.

Teriakannya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Seluruh tubuhnya benar-benar membeku.

Rasanya seperti binatang karnivora raksasa sedang bernafas dalam jarak satu inchi dengan hidungnya. Dunia

dipenuhi dengan rasa haus darah yang luar biasa. Itu membuatnya penasaran apakah jantungnya sudah berhenti

berdetak atau tidka.

Udara ini bahkan mungkin setara dengan Shalltear Bloodfallen, pikir Brain, yang dia percayai sebagai makhluk

terkuat di dunia ini.

Jika ada orang yang lemah pikiran, jantung mereka pasti akan benar-benar berhenti. Kakinya gemetar, dia

terjatuh ke tanah dengan suara gedebuk.

Jika aku seperti ini, mungkinkah bocah itu sudah tewas ?

Jika dia beruntung, maka dia hanya akan pingsan.

Tertekuk lututnya, gemetar saat dia menopang diri dengan lengannya, Brain mencari kehadiran dua orang itu

dan menyaksikan pemandangan yang tidak mungkin. Meskipun hanya dalam sekejap, goncangan itu

membuatnya melupakan ketakutannya.

Bocah itu masih berdiri.

Seperti Brain, kedua kakinya gemetar karena terror. Meskipun begitu, dia masih berdiri.

A-Apa yang terjadi ? Bagaimana mungkin bocah itu masih bisa berdiri ?

Dia tidak mengerti bagaimana bocah itu masih berdiri sementara dirinya sendiri lutut dan tangannya sudah

bersikap memalukan.

Apakah bocah itu memiliki item magic yang bisa menahan rasa takut atau tahu sebuah martial art yang sama efeknya ? Ataukah dia memiliki semacam bakat spesial ?

Dia tidak bisa mengatakannya dengan yakin bahwa kemungkinan itu tidak ada. Namun, sambil menatap

punggung si bocah yang tak dapat diandalkan, Brain tahu secara intuitif bahwa itu bukan masalahnya.

Meskipun tidak mungkin, hanya itu yang bisa dia pikirkan.

Bocah itu lebih kuat dari Brain.

Menggelikan! Bagaimana mungkin bisa begitu!

Meskipun kelihatannya dia telah melatih tubuhnya, dia masih kurang berisi. Dari saat melihat bagaimana dia

menggerakkan kaki dan tubuhnya sambil mengikutinya, bocah itu kelihatannya tidak memiliki bakat sedikitpun.

Meskipun begitu, hasilnya berbeda.

A-Apa yang terjadi ? Apakah aku selemah itu ?

Helaan nafasnya semakin suram.

Brain tahu bahwa air mata sudah jatuh dari matanya. Namun, dia tidak bisa memanggil energi untuk

mengusapnya.

"Uuu, ugh...kuh..."

Dia mencoba sebisa mungkin untuk tidak menangis keras-keras. Meskipun begitu, air matanya mengalir tanpa

akhir.

"Me..Mengapa..Mengapa."

Brain menggenggam tanah dan memfokuskan kekuatannya untuk berdiri. Tapi rasa haus darah itu masih

menabrak tubuhnya membuatnya tidak mampu bergerak walaupun hanya satu inchi. Hal terbaik yang bisa dia

lakukan adalah mengangkat wajahnya dan melihat ke arah bocah dan pak tua itu.

Dia melihat punggungnya.

Bahkan sekarang, bocah itu masih berdiri.

Bahkan sekarang, bocah itu masih berdiri berhadapan dengan pak tua tersebut dengan rasa haus darahnya.

Punggung yang dia kira lemah terlihat luar biasa jauhnya.

"Apakah aku..."

Selalu selemah ini ?

Dia merasa marah dengan dirinya, bahkan setelah rasa haus darah itu sudah menghilang, hal terbaik yang bisa

dia lakukan adalah berdiri.