Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Silent Bullet

Brokenstatue
--
chs / week
--
NOT RATINGS
26k
Views
Synopsis
bahkan sampai akhirpun kami bertahan dalam pendirian kami. -Letnal kolonel Luke Watsiegfried- Ledakan Hanyalan Petasan Bagiku -Letnan Kolonel Marisha Degre-
VIEW MORE

Chapter 1 - Perang yang Tak Berujung

Malam itu, langit di atas Hopper diselimuti awan gelap, seakan mencerminkan kegelisahan yang mencengkeram hati para prajurit Bunker 5A1. Suara tembakan menggelegar, bergema di antara bangunan-bangunan tua yang menjulang tinggi, mengalahkan deru angin malam. Di dalam markas, para prajurit Horn berjuang untuk bertahan hidup, tubuh mereka bergetar menahan ketakutan, namun tekad mereka tak kunjung padam.

"Komandan, pasukan Khorkan sudah memasuki batas area kota kita! Apa yang harus kita lakukan?" teriak seorang prajurit melalui radio, suaranya bergetar karena panik.

Letnan Marisha, pemimpin pasukan Horn yang tangguh, menjawab dengan suara tegas, "Jangan mundur!" Matanya berbinar dengan tekad, wajahnya dihiasi oleh coretan hitam jelaga, bukti dari pertempuran sengit yang sedang berlangsung.

"Duaaar!" Sebuah ledakan dahsyat mengguncang bumi, menghancurkan bangunan di sekitarnya dan menewaskan ratusan prajurit Horn. Asap hitam membubung tinggi, menyelimuti kota Hopper dalam kabut kematian. Namun, Marisha tetap tegak berdiri, suaranya bergema di tengah hiruk pikuk peperangan, "Jangan takut! Tetap maju! Kota kita wajib dipertahankan! Jangan menjadi pengecut!"

"Matipun tidak masalah bagi kita! Tetap maju! Pertahankan tiap sisi!" Teriakannya menggema, membakar semangat para prajurit yang tersisa. Mereka berlari maju, tubuh mereka dibalut dengan api semangat patriotisme, bertekad untuk mengusir pasukan Khorkan dari kota tercinta.

Namun, nasib berkata lain. "Dor!" Sebuah peluru tajam menembus dada Marisha, tubuhnya tersungkur, darah segar mengalir deras membasahi tanah. Para prajurit Horn yang melihat kejadian itu langsung mengerumuni komandan mereka, berusaha menyelamatkannya.

"Bertahanlah, Kapten! Kumohon, Marisha! Kau masih ingat janji yang sudah kita ucapkan! Bertahanlah!" bisik seorang prajurit, tangannya gemetar saat mengangkat tubuh Marisha.

"Luke, kau kah itu? Kau harus gantikan aku untuk se..." Ucapan Marisha terputus, napasnya tersengal-sengal.

"Tidak! Kau harus tetap bertahan, Marisha!" Luke, seorang prajurit muda yang setia, memotong kalimat Marisha. Ia meletakkan tubuh Marisha di atas tempat tidur tenda medis, air matanya mengalir deras membasahi pipinya.

"Kenapa harus seperti ini?" gumamnya, suaranya bercampur dengan deru tembakan yang terus bergema di luar.

"Keluarlah, Luke! Kami akan menangani ini!" Seorang tenaga medis mendorong Luke keluar dari tenda, matanya berkaca-kaca.

Luke terduduk di depan kamp, kepalanya menunduk, pikirannya dipenuhi oleh kenangan bersama Marisha.

"Luke, kau pemimpin yang baru. Letnan Marisha menyampaikan hal tersebut sebelum ajalnya datang," ucap seorang prajurit, tangannya menepuk pundak Luke dengan lembut.

"Aku ingin melihat wajahnya untuk yang terakhir kali," ucap Luke, matanya berkaca-kaca. Ia berdiri dengan tubuh gemetar, berusaha mengendalikan emosinya.

Sepanjang jalan menuju ruang perawatan, para prajurit menatap Luke dengan penuh simpati. "Kau pasti bisa, kawan! Dia mempercayaimu! Kau adalah orang beruntung, Luke! Aku turut berduka," kata mereka, suara mereka teredam oleh dentuman senjata yang terus bergema.

Luke memasuki ruangan perawatan, matanya langsung tertuju pada tubuh Marisha yang terbaring kaku di atas tempat tidur. Wajahnya terlihat pucat pasi, matanya terpejam, seakan tertidur untuk selamanya.

Luke mengamuk, membanting peralatan medis yang ada di dekatnya. "Arghhh!" teriaknya, amarah membara dalam dadanya.

Seorang pria bertubuh kekar dan berkulit hitam, Letnan Dua Charlie Brown, menahan amarah Luke. "Cukup, Luke!" ucapnya dengan suara tegas. "Mereka membutuhkanmu! Apa yang kau pikirkan? Marisha sudah berjuang! Ia percaya padamu! Karena ia yakin kau akan memenangkan peperangan ini!"

Luke hanya mengangguk, air matanya mengalir deras membasahi pipinya. Ia menghapus air matanya, lalu memasang helmnya dengan cepat.

"Luke, maksudku Komandan," ucap seorang prajurit wanita, Hana, berdiri di depan pintu bersama kerumunan pasukan.

Luke menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Maaf jika ini menyakitkan, tapi kita harus benar-benar bertempur," ucapnya dengan suara yang bergetar.

"Apa kau punya rencana, Sersan Hana?" tanya Luke, matanya berkaca-kaca.

Hana mengangguk, matanya berbinar dengan tekad. Mereka berdua pun terjun ke medan pertempuran, tubuh mereka dibalut dengan api semangat patriotisme, bertekad untuk mengusir pasukan Khorkan dari kota tercinta.

Desiran peluru menggema di udara, menghantam tubuh para prajurit Horn. Luke, yang menyaksikan seorang prajuritnya jatuh, semakin berang. Ia menembus barisan pasukan Khorkan, pistolnya memuntahkan peluru panas, menewaskan puluhan musuh.

"Dor!" Sebuah peluru tajam menembus kepala Luke, tubuhnya tersungkur, darah segar membasahi tanah. Luke gugur bersama 450 prajuritnya, gugur dalam pertempuran yang sengit, pertempuran yang tak kenal ampun.

Hari itu, Bunker 5A1 jatuh ke tangan pasukan Khorkan. Para tenaga medis berhamburan menyelamatkan diri, tubuh mereka dihujani peluru. "Dor!" "Retetetetet!" Suara tembakan menggema, menewaskan para prajurit dan tenaga medis yang tersisa.

Letnan Dua George dan Letnan Dua Charlie Brown berjuang untuk menyelamatkan beberapa orang yang tersisa, tetapi mereka pun menghilang dalam balutan debu ledakan.

Pasukan Khorkan memasuki kota Hopper, tank-tank mereka menggelegar, menghancurkan bangunan-bangunan, menebarkan teror di tengah warga yang ketakutan. "Bumm!" Sebuah tank menembak rumah warga, menewaskan penghuninya. Warga berhamburan menyelamatkan diri, sebagian tewas, sebagian mengungsi, berlindung di balik tentara Horn yang tersisa.

Bendera Khorkan berkibar di atas kota Hopper, menandakan kemenangan pasukan Khorkan. Para pemimpin Horn dieksekusi secara brutal, kisah mereka diabadikan dalam momen penting yang dikenal sebagai "Silent Bullet," pertempuran yang menorehkan luka mendalam di hati para prajurit Horn, pertempuran yang menandai jatuhnya kota Hopper ke tangan musuh.