"Aku selalu mendoakan ibu…"
"Tapi doamu tak sampai, kenapa kau tak masuk agama Muhammad, aku tak kuat lagi disiksa…"
"Mama…huhu.." Evo masih menangis.
"Aku pergi anakku …masuklah agamanya Muhammad.."
Tiba-tiba tubuh Jauhari melemah, dan ambruk.
"Mama… mama jangan tinggal Evo ma… Mama." Evo menjerit lalu tubuhnya gelosor pingsan lama Evo pingsan, sementara Jauhari telah lama sadar, tapi masih kelihatan bingung, kayak orang habis dinyalain petasan tepat di depan hidungnya.
Sementara setelah Kyai menyalurkan tenaga prana dari jauh, Evo mulai bergerak-gerak sadar, karena peristiwa itu Evo kemudian masuk Islam, mempelajari doa anak kepada orang tuanya. Setelah sholat ashar, keluarga Evo meninggalkan pesantren, wajah Evo sudah tak sedih lagi, nampak jelas ada gurat-gurat harapan yang kuat di dasar hatinya, sehingga wajah cantiknya berpendaran.
Belum sampai setengah jam mobil Evo dan keluarganya pergi, datang lagi dua mobil, satu mobil toyota model lama, satu lagi mobil sedan polisi. Setelah mobil itu parkir, orang-orang yang ada di dalam mobil segera keluar, dari mobil toyota kijang, nampak keluar dua lelaki satu berperawakan sedang bajunya warna coklat susu, umurnya sekitar empat puluhan tahun, orang ini bernama Setiono, sering dipanggil pak Nono, adalah kepala desa Pasir Seketi.
Yang keluar dari mobil bersamanya adalah carik Sanusi, orangnya berperawakan tinggi gagah, kumis melintang sangar. Sementara mobil yang satu lagi adalah mobil polisi, berisi tiga orang polisi. Kelima orang itu segera menemui Kyai di rumahnya.
Aku tak mengerti masalahnya, sampai Kyai memanggilku, karena aku sedang masak di dapur menyiapkan makanan untuk berbuka puasa. Merebus singkong, dan membakar ikan asin. Bau ikan asin yang terbakar segera memenuhi udara, memanggil cacing dalam perut bergerak-gerak sehingga menimbulkan suara berkerutan, rupanya bau ikan asin pun sampai ke rumah cacing-cacing dalam perut itu.
"Feb, dipanggil Kyai.." suara Majid yang wajahnya melongok dari balik gedek yang sebatas dada, pemisah dapur dengan dunia luar, yang memanggil Feb cuma Majid, dia adalah teman sekolahku di SMA. Karena tau aku di pesantren lalu dia menyusul, Majid sama denganku dari Tuban cuma beda kecamatan, dia dari Bangilan, perawakannya biasa malah agak pendek, tingginya setelingaku, wajahnya paspasan, ganteng kagak, jelek ia, karena wajahnya berlubang-lubang bekas jerawat batu, tapi memang hobynya mencet jerawat, kalau sudah mencet jerawat, maka ia akan berusaha sekuat mungkin supaya jerawat itu kena, kalau sudah kena, senangnya seperti mendapatkan harta karun terpendam.
"Gantiin di dapur ya?"
"Udah sono, biar aku yang ngurusin"
Akupun melangkah meninggalkan dapur menuju tempat Kyai menerima tamu. Nampak di situ juga Mujaidi, rupanya dipanggil juga, Mujaidi adalah santri dari Bekasi. Sebenarnya awalnya bukan santri, tapi berobat karena kecanduan narkoba, setelah sembuh, kemudian memutuskan menjadi santri.
Mujaidi perawakannya tinggi kurus, aku aja sepundaknya, umurnya masih delapan belasan, bibirnya tebel hitam, sering sariawan, lalu dikelotoki kulitnya, wajahnya agak lonjong, sama dengan Majid, wajah Mujaidi juga berlubang-lubang karena bekas jerawat batu, hobinya sama dengan Majid, memenceti jerawat, kalau Mujahidi sudah memenceti jerawat maka ia akan lupa waktu, lupa makan, bedanya dengan Majid kalau Majid mencet jerawatnya kalau sudah meletus, bekas letusannya diusap-usapin ke tembok, tapi kalau Mujahidi lebih profesional mencetnya aja dia pake kain, sehingga kalau jerawatnya meletus, letusannya tak kemana-mana, kainnya juga dibasahi cairan antiseptic.
Peralatan pencet memencet jerawat milik Mujahidi juga lumayan lengkap. Yang aku pernah lihat, ada batu kali, manfaatnya adalah kalau batu dijemur di matahari, dan setelah panas maka ditempelkan, ke jerawat yang belum matang, maka akan segera matang, ada lagi amplas nomer 2000, gunanya untuk mengamplas tempat jerawat yang terlalu dalam. Ada juga jarum jahit, untuk ngorek-ngorek jerawat yang sudah terlalu berakar.
Aku segera duduk di sebelah Mujahidi, yang melemparkan senyumnya kena mataku,
"Mas Ian." kata Kyai.
"Iya Kyai."
"Entar malem, bareng Mujahidi ikut ronda sama orang Pasir Seketi. Mereka membutuhkan bantuan kita, untuk menangkap pencuri yang meresahkan warga."
Akupun mengiyakan, sambil melirik Pak Lurah dan rombongannya. Maka setelah sholat maghrib, dan menjalankan wirid wajib, aku dan Mujahidi pun berangkat setelah berpamitan kepada Kyai. Gelap mulai merayap, kampung Pasir Seketi dari pesantren jaraknya kira-kira empat kiloan, cuma harus melewati hutan kopi yang panjang serta grumbul-grumbul yang gelap mengerikan, tapi kami menganggapnya biasa, karena memang kami biasa hidup di alam bebas. Jam delapan lebih kami tiba di desa Pasir Seketi. Di hadang pemuda-pemuda desa yang membawa golok arang.
"Siapa?" tanya pemuda gempal memakai topi coklat. Di belakangnya berdiri pemuda yang lain siaga.
"Aku Ian." jawabku keras untuk menghilangkan kecurigaan. Dan rupanya pemuda itu mengenaliku.
"Oo mas Ian, ayo mas ke rumah Pak Lurah, Pak Lurah sudah menunggu, tadi berpesan kalau mas Ian datang supaya langsung dibawa ke rumah." kata pemuda itu seraya menggandengku. Diikuti oleh anggukan hormat dari sepuluh pemuda, di mata mereka memancarkan kekaguman ketika memandangku dan Mujahidi.