Aerin dan yeon so tiba di sebuah cafe persimpangan jalan menuju rumah aerin. Bukan tanpa maksud yeon so membawa aerin kesini, ia ingin menceritakan sedikit latar belakang pria dengan inisial T.A.E. sesuai janji tadi pagi di kelas.
"pesanlah, aku yang traktir" tawar yeon so. Aerin menggeleng mendorong buku menu yang sebelumnya yeon sodorkan padanya.
"ceritakan saja" ujar aerin.
Yeon mengulum bibirnya, ia berpikir sejenak lalu mengambil nafas dalam.
"dengar, yang aku ceritakan ini berdasarkan apa yang aku lihat dan apa yang aku dengar sendiri. Jadi kepercayaan itu sepenuhnya milikmu, mengerti?"
Aerin mengangguk "baiklah"
"pertama dia adalah kim taehyung, bermarga kim dan sering di panggil freak waktu sekolah menengah atas. Kenapa?, karena dia adalah pecundang bodoh pembawa sial setiap harinya"
"ini pembullyan" aerin menyela tanpa dosa
"aku belum selesai"
"oke selesaikanlah" aerin mengangkat tangannya pertanda damai.
"ini bukan pembullyan, waktu sma si freak--"
"oke, sebut saja namanya kim atau tae, atau apa saja yang lebih baik di dengar" aerin menyela lagi
Yeon so memutar bola matanya kesal, ia menghela nafasnya sabar.
"aku tidak akan melanjutkan ceritanya jika kau terus berkomentar dan menyelaku" ujar yeon so kesal.
"oke, oke, aku tidak akan melakukannya lagi. Lanjutkan" pinta aerin.
Yeon so diam, ia masih menimang.
"jadi dengarkan dulu, jika aku selesai silahkan berkomentar. Mengerti?"
Aerin mengangguk patuh.
"intinya tae itu dianggap stigma sejak dia sma"
"ke-kenapa?" tanya aerin tak sabaran.
"kau mengerti stigma-kan?"
"ya, begitulah"
"ku dengar tae pernah membawa dampak buruk pada seorang gadis remaja di usianya 17 tahun, ia membuat gadis itu kecanduan narkoba dan mengakhiri hidup gadis itu dengan cara sadis"
"dengan cara apa?"
"entahlah, waktu itu aku masih 2 tahun di bawah umur tae. Aku mengenal gadis itu, dia gadis pindahan dari incheon baik dan rama kami tinggal bersebrangan saat itu. Dan setelah aku tau dia berteman dekat dengan tae ia sedikit gila dan terakhir aku melihtnya 4-5 tahunan yang lalu di pinggir sungai gangnam"
"apa yang dia lakukan disana?"
"berenang" yeon so terkekeh
Aerin menepuk kuat kepalanya "yang benar saja, aku kira akan mengerikan"
"itu memang mengerikan" sanggah yeon so
"berenang tidak mengerikan" aerin membantah
"ia tidak bisa berenang, ia juga saat itu sedang keadaan mabuk"
"jadi si pembawa sialnya dimana?" tanya aerin
"astaga kau masih tidak mengerti?"
Aerin menggeleng
"tae sudah merusak hidup seseorang karena kelakuan buruknya itu, lihatlah gadis yang aku ceritakan tadi sudah tidak ada lagi. Dan semenjak kejadian itu siapapun yang dekat atau mendekati tae akhir ceritanya akan tidak jauh berbeda dengan gadis incheon itu." cerca yeon so cepat.
Aerin terperangah, ia tak percaya
"cerita yang bagus, aku ingin kau menunjukan cd film yang kau tonton itu nanti"
Yeon so melotot "astaga kau masih tidak percaya, aku mulai haus sekarang karena terus mengoceh" yeon so membuang mukanya.
"tunggu sebentar aku ingin memesan minuman" yeon so beranjak dari kursinya.
"ah iya, aku ingin memberitahu sesuatu" yeon so kembali menghadap aerin.
"apa?"
"bahasa koreamu terdengar baik" puji yeon so.
***
Aerin berjalan melintasi beberapa tempat yang bisa ia kunjungi untuk bekerja, setelah mendengar sedikit cerita dari yeon so membuat dirinya hampir lupa jika ia masih harus mencari pekerjaan.
"permisi" aerin memasuki sebuah toko buku yang tua.
"selamat sore" seorang wanita tua muncul dari balik lemari dan tumpukan buku yang terlihat usang.
Aerin tersenyum menyapa.
"ada yang kau butuhkan di toko tua ini?" wanita tua itu tersenyum hingga menarik dari dimata hingga kesuluruh wajahnya.
"ah, iya apa kau butuh pegawai baru, tidak maksudku, apa kau butuh seseorang untuk membersihkan dan menyusun buku--"
Wanita tua itu tertawa sambil menepuk bahu aerin.
"kau ingin bekerja disini" wanita tua itu bertanya
"iya"
"siapa namamu?"
"ae rin"
"baikalah, aku memang sedikit membutuhkan beberapa tangan anak muda untuk menyengarkan tokoku"
Aerin menunduk "Terimakasih banyak"
"besok kembalilah kesini, aku akan menunggumu"
Aerin mengangguk.
"pulanglah"
"maaf, bibi nama--"
" aku, eun mi panggil saja bibi aku terlalu tua jika kau panggil kakak"
"baikalah bibi."
"pulanglah aku harus menutup toko" pinta wanita tua tersebut.
Aerin melirik jam tangannya, jam baru menunjukkan pukul 05 sore.
"tap-tapi"
"jika ada pertanyaan, tanyakan saja besok" bibi eun mi mendorong tubuh aerin keluar dari tokonya.
"lihatlah sudah mendung, kau seharusnya cepat pulang, sebelum hujan turun dan menunda kepulanganmu" bibi eun mi menjelaskan.
Aerin mengangguk dan berpamitan sebelum ia angkat kaki dari toko tua dan usang itu.
Baru saja bibi eun mi ingin menutup tokohnya, suara gemuruh dan hujan sudah terlebih dahulu membasahi kota.
"gadis yang malang" bibi eun mi teringat akan aerin.
Tiba-tiba sepasang sepatu basah menginjak lantai kayu tokonya dan menahan bibi eun mi menutup tokonya.
"apa ini?"
Bibi eun mi menatap sepatu itu lalu mendongak. Ia tersenyum lega melihat wajah yang ia kenalai "ku kira kau tidak akan berkunjung"
Bibi eun mi membuka pintu dan mempersilahkan pria bertubuh basah itu masuk ke tokonya.
"aku akan mengambil handuk" bibi eun mi hendak meninggalkan pria itu.
"tidak usah bibi" pria itu mencegahnya
"bajumu basah tae, kau akan sakit jika dibiarkan seperti ini"
Pria bernama tae itu tersenyum.
"kenapa? Tidak biasanya kau tersenyum"
Tae mengintari pandangannya pada tumpukkan buku-buku yang berdebu.
"aku merindukan buku-buku tuamu" ujar tae.
Bibi Eun mi terkekeh, ia pergi ke rak buku paling ujung.
"kau akan menyukai kisah ini" bibi eun mi kembali, ia menyodorkan buku tebal dengan sampul berwarna abu-abu.
Tae menerimanya dengan dua tangan.
"Cinta atau kutukan" tae membaca judul yang tesedia dengan lantang, ia menatap bibi eun mi sebentar lalu membuka halaman pertama. Namun bibi eun mi mencegahnya
"baca nanti, setelah kau berani memberitahukan siapa dirimu pada orang lain" bibi eun mi mengingatkan.
"apa ini, aku sudah menceritakan semuanya kepadamu"
"bukan aku, tapi orang lain?"
"apa maksudmu orang lain?"
"pikirkanlah, jika kau ingin tau kisah di balik buku ini"
Tae diam, ia mengembalikan buku itu pada bibi eun mi.
"aku tidak membutuhkan buku ini" tae menolak.
"kenapa?"
Tae diam, ia menunjuk tas di bahunya.
"beban sudah penuh" ucap tae.
Bibi eun mi terkekeh "baiklah, kau bisa kembali lagi nanti. Hanya kau pelanggan setiaku selama beberapa tahun terakhir"
Tae terkekeh.
"kau akan benar menyesal jika tidak membaca buku ini" bibi eun mi mengingatkan.
"bagaiamana harimu? Apa masih sama?" bibi eun mi menggiring tae ke tempat duduk.
"tentu" sahut tae datar.
"kau masih tidak ingin menjelaskan pada mereka?"
"tidak, penjelasanku tidak akan berarti bagi mereka. Bahkan sekarang sudah jelas aku di cap stigma sosial"
Bibi eun mi mengelus pelan rambut hitam tae.
"kau tidak salah tae, jika kau benar sudah di cap buruk maka sebentar lagi cap itu akan luntur"
"maksudnya?"
"akan ada masanya di mana kebenaran menunjukan keberadaanya, dan semua orang akan tau itu. Kau hanya perlu bersabar"
Tae terkekeh "kau masih ingin menjadi cenayang?"
"aku memang cenayang" bibi eun mi tertawa
"ah, iya kau belum pensiun"
"sudahlah percaya atau tidak itu urusanmu, yang pasti besok kembalilah kesini untuk mengambil buku itu"
"jika aku ingat"
"harus ingat tae"
"akan ku usahakan"
***
Aerin membuka pintu rumahnya dengan wajah berseri, ia bersiap pergi bekerja di hari pertama. Hari ini les atau sekolah bahasanya libur di hari akhir pekan jadi aerin bisa berangkat lebih awal untuk memulai pekerjaanya.
Aerin menggeser hapus semua pesan yang masuk dari ten, ia masih sedikit kesal dengan sikap pria itu kemarin dan ia memutuskan untuk tidak berbicara terlebih dahulu.
Aerin sampai di tempat tujuannya setelah menempuh dengan bis dan turun di 1 halte, ia sedikit berlari menuju toko tempatnya bekerja saat dilihatnya sang pemilik toko sudah berdiri disana sambil membawa kardus besar di tangannya.
"biar aku saja" sambar aerin cepat.
Bibi eun mi kaget melihat kedatangan aerin yang tiba-tiba menyambar kardus berat itu di tangannya.
"wah kau bersemangat sekali" puji bibi eun mi
Aerin hanya tersenyum, ia menempatkan kardus berat itu di atas meja baca.
"ikat rambutmu manis, pakailah ini" bibi eun mi memberikan ikat rambut pink berkarakter kelinci kecil.
Aerin menerimanya dan langsung mengikat rambut panjangnya lalu menggulungnya membentuk sanggulan.
"aku memintamu mengikatnya, bukan menyanggulnya" bibi eun mi mengambil alih ikat rambut aerin, ia mengikat lembut dan pelan rambut hitam panjang aerin.
"lebih baik seperti ini, kau tampak lebih cantik"
Aerin terkekeh mendengar bibi eun mi memujinya.
"mari memulai pekerjaanmu"
Aerin mengangguk, ia bergegas mengambil alat bersih-bersih yang ia butuhkan di gudang. Sesuai perintah bibi eun m, aerin membersihkan lantai dan debu-debu di buku dan sela-sela dinding beserta jendela.
Ia tidak melewatkan satu titik debu pun lolos dari pandangannya.
Di tengah sibuk bekerja, suara pintu terbuka dan hentakan sepatu membuat aerin menyudahi pekerjaanya. Aerin segera bergegas menemui pelanggan pertamanya.
"selamat pagi datang" sapa aerin.
Pelanggan itu tersentak kagek melihat kemunculan aerin yang tiba-tiba.
"ada yang bisa--" Aerin menggantungkan ucapannya saat ia mendongak melihat wajah pelanggannya.
"ta-tae?"
Tae mundur beberapa langkah, sekedar berjaga-jaga.
"apa yang kau lakukan disini"
"aku bekerja disini"
"kenapa kau bekerja disini?"
"apa maksudmu?"
Aerin dan tae diam sejenak, mereka saling tatap untuk beberapa detik.
Bibi eun mi datang membuka pintu sambil membawa bunga di tangannya.
"hai, tae. Kau datang pagi hari ini" sapa bibi eun mi
Aerin langsung menghampiri bibi eun mi dan mengambil bunga.
"aku akan menaruh ini di vas" sambar aerin cepat. Ia sengaja menghindar.
Bibi eun mengangguk lalu mengajak tae duduk di kursi bacanya.
"dia gadis yang manis" bibi eun mi Membuyarkan tatapan tae dari aerin.
Tae menjawabnya dengan gumamam.
"kau kesini untuk buku itu"
"iya, hari aku tidak ada jam kuliah atau les"
"bagaimana dengan perjanjiannya?, apa kau sudah menemukan orang lain tersebut"
Tae diam.
"aku akan mengambil buku itu kau tunggu disini"
Bini eun bangkit dari kursinya dan mengintari rak-rak lalu kembali dengan buku yang sama seperti kemarin
"ini, habiskan dulu satu bab lalu katakan bagaimana perasaanmu"
Tae mengangguk.
Dari balik rak rak buku terdengar suara benda jatuh yang sangat keras.
"apa itu" tae berdiri ingin menghampiri sumber suara.
Bibi eun mi menahan tae "itu pasti aerin, ia sedang bekerja biarkan saja"
"dia bekerja? Denganmu?" tae mengerutkan keningnya.
"kenapa dengan wajahmu?, kau tidak suka?"
"bibi--"
"bibi--"
Tae dan aerin memanggil secara bersamaan.
Bibi eun mi kaget, ia menoleh kebelakang "oh, ae rin. Ada apa".
Aerin membawa setumpuk buku tua dan lama yang jelas terlihat karena debunya yang tebal.
"buku ini harus diapakan?"
Bibi eun mi melirik tae sekilas, mata tae tak berkedip ia memandangi aerin lama.
"taruh saja di gudang" perintah bibi eun mi. Aerin mengangguk dan pergi dengan buku-buku itu.
"ada apa tae?" kini bibi eun mi berbalik menghadap tae.
"apa?" tanya tae gelagapan.
"kau tadi juga memanggilku, ada apa?"
Tae menggeleng "tidak, lupakan"
"kau harus menemuinya, bicaralah dengannya" bibi eun mi beranjak dari kursinya meninggalkan tae.
"kau tau aku bibi"
"kau belum tau dia tae" bibi eun mi menyela sambil terkekeh.
"aku tidak ingin dia bernasib sama seperti ji eun" ucap tae lirih, ia tertunduk. Jari telunjuknya membentuk lambang hati di atas buku tua yang masih berdebu itu
"apa yang terjadi dengan ji eun bukan salahmu tae, sadarlah berhenti menyalahkan dirimu"
"aku tidak menyalahkan diriku" tae membuka buku tua itu dan membaca halaman pertamanya.
"berhentilah mengurung diri tae. Ji eun--"
Mata tae bergerak mengikuti kalimat yang ia baca.
"aku tidak pernah memintanya bunuh diri, tapi dia bunuh diri karena kau"
"tae" panggil bibi eun mi tegas.
"aku ini pendosa, satu juta tahunpun aku berlari menangis dan menyesali tak akan merubahnya"
Bibi eun mi menganggah.
"cap stigma itu tidak akan luntur, itu sudah menjadi permanen. Jalanku sudah gelap, dan inilah hukuman atas perbuatanku pada ji eun."
"apa yang kau katakan tae" bibi eun marah, ia tidak suka cara tae yang terus menyalahkan diri sendiri.
"jadi biarkan aku menjali hukumanku, dan jangan memaksaku untuk berbuat hal yang akan mencelakakan orang lain lagi"
Tae terus mengocehkan kesalahannya, ia tidak tau jika aerin mendengar semuanya di balik rak buku yang tidak jauh dari tempat tae duduk.
"ji eun?" aerin bergumam.
"lupakan ji eun, bukankah kau tidak menyukainya? Kenapa kau harus peduli dengan kesalahan yang jelas-jelas bukan kau pelakunnya" ujar bibi eun mi
"tapi dia menyukaiku, jika aku menyukainya ia pasti tidak mengkahiri hidupnya" tae menyela.
"tae" bibi eun mi menaikan volume suaranya, ia menekan kuat dadanya.
"pendosa tetaplah pendosa" tae membalik lembaran kedua.
Tak tahan dengan semua ocehan tae, aerin pun keluar dari tempat ia sembunyi.
"pendosa juga bisa memohon pengampunan" ucap aerin tiba tiba.
Tae tersentak kaget, ia menutup buku yang ia baca lalu melipat tangannya di dada.
"kau mendengar semuanya?" tanya tae.
Aerin menghampiri bibi eun mi.
"tidak ada pendosa yang tidak mendapat pengampunan".
Tae terkekeh, ia mengusap wajahnya dengan kasar berkali-kali. Ia mengambil buku tua itu dan memasukannya ke dalam tas lalu pergi.
"tae, kau--" bibi eun mi ingin mencegah.
"aku pulang, aku harus belajar" potong tae, ia mengambil langkah lebar untuk segera keluar dari toko itu.
"apa yang terjadi?" tanya aerin pada bibi eun mi.
***
"seperti itulah dia sekarang setelah kejadian itu, tae menjadi berbeda ia hidup seolah-olah sedang menjalani hukuman" ujar bibi eun mi.
Aerin menjadi prihatin setelah mendengar semua cerita dari bibi eun mi. Cerita yang ia dengar dari yeon so jauh berbeda dengan yang ia dengar dari bibi eun mi, dan aerin yakin ceritanya akan semakin berbeda jika ia mendengar dari tae sendiri.
"bantu aku aerin" bibi eun mi menggengam tangan aerin.
"apa?"
"sepertinya tae menyukaimu, ini jarang terjadi setelah bertahun-tahun. Bantu aku menyadarkan tae" pinta bibi eun mi dengan lirih.
"menyukaiku?"
Bibi eun mi mengangguk dan wajahnya begitu menaruh harapan besar pada aerin.
"aku tidak tau aku bisa atau tidak"
"kai bisa ae rin"
"entahlah"
"setidaknya cobalah, buat ia mengerti"
"bagaimana jika nanti ia tidak mempercayaiku?"
"apapun itu, aku mempercayaimu"
Aerin diam, ia tidak bisa menolak permintaan bibi eun mi yang tak lain bibi tae sendiri. Tae lah harapan satu-satunya yang akan menjadi penerus mereka.
***
5 tahun yang lalu..
"tae oppa" seorang gadis berseragam sma menyapanya dari balik pohon.
Tae yang sedang duduk bersantai itu langsung mencari letak suara yang memanggilnya.
"oh, ji eun-ya" tae melambaikan tangannya.
Ji eun berlari menghampiri tae dengan senyum bertengger di bibir merah mudanya.
"kau bolos lagi?" tanya ji eun. Tae menjawabnya dengan gumaman.
"aku akan menghukum mu karena bolos" ancam ji eun yang hanya di seringai oleh tae.
"oppa, aku serius" ji eun merenggek.
"ji eun tenanglah sedikit, aku sedang berpikir" ujar tae.
Ji eun melipat tangan dan mengerutkan dahinya.
"astaga, kau marah?"
Ji eun melengos.
"aku hanya ingin berpikir sejenak untuk keputusan yang besar" tae menjelaskan
Ji eun masih mengabaikan tae.
"kau jelek jika marah, aku tidak suka"
Ji eun memukul bahu tae kuat.
"yak, itu sakit" tae meringgis
"aku cantikpun kau tidak akan suka" sahut ji eun.
"kalau begitu cantiklah, agar aku suka" ucap tae tanpa berpikir panjang.
Ji eun tersenyum "benarkah?"
Tae mengangguk.
"kapan kau akan kembali ke incheon?" tanya tae mengalihkan percakapan.
"entahlah, aku suka disini" jawab ji eun.
"kau harus mengunjungi keluargamu" tae mengingatkan
"mereka yang memindahkanku kesini, untuk apa aku kembali kesana"
"mereka ingin kau belajar disini dan menjadi pandai, bukan membuangmu"
Ji eun merebahkan dirinya di sebelah tae.
"akan ku pikirkan nanti"
Tae terkekeh, ia membenarkan posisi rok ji eun yang sedikit tertarik naik.
"gadis itu harus sopan dan bisa menjaga dirinya dengan baik" ujar tae. Ia pun ikut merebahkan dirinya di bawah pohon bersama dengan ji eun.
"jika kau ke incheon, nanti bawakan aku jajangmyeon"
"kau suka jajangmyeon?"
Tae mengangguk.
"aku akan membawakan banyak nanti, ibuku sering membuat jajangmyeon untuk ku" ucap ji eun antusias.
Tae terkekeh mendengarnya.
Tae kembali melanjutkan langkahnya setelah lama ia berhenti di restoran jajangmyeon, ia memandangi lama restoran itu dan pikirannya kembali memutat kisah lama dengan ji eun.
Tae mendatangi tempat yang sebelumnya sering kunjungi untuk menenangkan diri, di sebuah taman yang penuh pohon dan danau kecil.
Tae duduk bersandar di sebuah pohon, ia menatap danau tenang itu yang nampak menyala terang oleh sinar matahari. Ia lalu mengeluarkan buku tua di dalam tasnya dan bersiap kembali membaca, namun seseorang tiba-tiba mengambil duduk di sebelahnya dan meletakan satu kantung besar tepat di atas buku tua milik tae.
"aaih, panas sekali" gadis itu mengeluh, lalu membuka kantong plastik besar yang ia bawa dan mengeluarkan berbagai jenis makanan dan minuman.
Tae menggeser duduknya dan menarik bukunya menjauh.
Namun gadis itu juga ikut bergeser dan menaruh semua makananya di dekat tae
"tae oppa, kau haus?" tanya gadis itu sambil menyodorkan minuman kaleng dingin
Tae bungkam, ia memandang lama wajah gadis di depannya itu.
"cepat, minumlah" gadis itu menaruh minunam kaleng tepat di tangan tae, ia mengepalkan pakasa minuman itu di tangan tae.
Tae masih terpaku dengan gadis di depannya itu.
"tae oppa? Ada apa?" gadis itu bertanya dengah tingkah lugunya.
"jj-ji eun?"
Tubuh tae berkeringat, jantungnya berdegub kencang melihat gadis di depannya.
"apa?" gadis itu menoleh kebelakang memastikan jika tae melihat orang lain.
Tae tersentak tiba-tiba saat gadis itu memukul keningnya
"aww"
"kau kira aku hantu? Huh??, ini aku ae rin"
Tae mengedipkan matanya berkali-kali, benar itu aerin. Sekilas gadis itu mirip ji eun jika rambutnya di ikat seperti itu, dan tae tak menyukai itu.
"huh?-ap-apa yang kau lakukan disini?"
Aerin mengeluarkan kotak plastik berisikan jajangmyeon.
"aku melihatmu memandangi tokoh dan kurasa kau ingin makan ini" aerin membuka tutup plastik itu dan langsung di sambut dengan aroma jajangmyeon yang begitu menggoda.
Tae menelan salivanya kasar dan itu tak lepas dari pandangan aerin.
"mari makan"
Aerin mengeluarkan sumpitnya dan memberikan suapan pertamanya pada tae.
"kau suka ini?" tanya aerin setelah menyuapi tae.
Tae mengangguk, mulutnya penuh membuatnya tidak bisa bicara.
Aerin terkekeh lalu memberi tae minum dengan minuman kaleng di tangan tae sebelumnya.
"aku harus belajar memasak ini" ucap aerin tiba-tiba
Tae tersedak.
"astaga" aerin langsung menepuk punggung tae dan memberinya minum lagi
***