Chereads / Kill This Love / Chapter 8 - Benci dan Kecewa

Chapter 8 - Benci dan Kecewa

Pagi yang cerah, hari yang tidak terlalu panas. Suasana yang tepat untuk mereka bertiga, menikmati hari sabtu dengan berbolos. Fani menatap kakaknya dengan tidak percaya, sedangkan Adit tampaknya setuju dan selalu tersenyum sepanjang perjalanan.

Mereka bertiga sudah berada dalam mobil, yang Melani pesan sebelumnya untuk mengantar mereka ke pusat perbelanjaan di pusat kota.

"Kak, bukannya senin kakak sudah ujian ya?" Tanya Fani yang masih ragu dengan perjalanan mereka.

"Gak apa-apa, Fani. Kakak ijin sakit, dan Adit juga sudah kakak info ke gurunya." Jawab Melani dan menunjuk ke arah Adit yang masih memeperhatikan lalu lalang mobil.

"Kamu juga senin juga harus ujian ya, sudah tenang. Kakak sudah urus pembayaran sekolah kamu." Melani membelai sayang kepala Fani.

"Hari ini kita belanja, nonton, dan makan. OK." Ucap Melani dengan riang, Adit mengangguk dengan setuju, dan Fani hanya bisa pasrah mengikuti peritah dan kemauan kakaknya.

Melani benar-benar melakukan rencananya hari itu, dia hanya ingin melihat adik-adiknya setidaknya tersenyum dan melupakan berbagai masalah yang ada di keluarga mereka.

Mereka memustuskan untuk menonton dua film bersamaan, Sebuah film horor menjadi pilihan Fani dan film kartun menjadi pilihan terakhir untuk mereka tonton.

Adit sangat senang ketika kedua kakaknya mengajaknya ke area permainan, matanya berbinar-binar dengan senang ketika melihat banyaknya pilihan permainan yang akan ia coba semuanya.

"Fani, kamu tungguin Adit ya." Ucap Melani, Fani menurunkan es krim yang sedang ia kulum dalam mulutnya. Melihat kakanya dengan bingung, "Ada apa kak?"

"Cuman mau ke toilet aja kok. Sebentar aja."

Fani pun megacungkan jempolnya, dan memberikan senyuman lebarnya.

Melihat Melani yang sudah mulai menghilang, kembali ia fokus pada Adit yang masih terus mencoba mengambil sebuah boneka kelinci biru.

Cukup cepat Melani menemuka toilet, sebuah toilet kecil dan kebetulan dengan suasana yang sepi. Melani meletakkan tas selempangya di atas meja panjang yang khusus disediakan untuk pengunjung yang ingin berdandan atau sekedar merapikan diri.

Ada bunyi gemerincing saat Melani meletakkan tas selempangnya yang berwarna merah. Gantungan kunci boneka panda dengan beberapa lonceng kecil, memecah kesunyian di ruangan toilet yang sepi tersebut.

Tidak lama Melani pun keluar dari dalam toilet, kembali ke area utama yang sebelumnya ia lewati. Area utama tampak ramai dengan adanya pertunjukan musik yang diadakan di aula perbelanjaan.

Melani mulai kesulitan mencari celah jalan, karena lalu lalang pengunjung yang bertebaran.

Baru saja ia mempercepat langkahnya, dan mencoba menyalip. Tiba-tiba ia merasa ada yang menarik tasnya dengan kuat. Langsung saja ia membalikkan badannya, dan berusaha meraih tasnya agar tidak lepas dari jangkauannya.

Seorang pria dengan gaya rambut *fringe, tubuhnya yang lebih tinggi sudah cukup membatasi jarak pandang Melani.

Bahkan ia sedikit mendongak untuk menatap pria tersebut, pria tersebut tampak lebih tua sedikit dari Melani, dan ia mengenakan kaos abu dengan lengan panjang lengan yang ia gulung hingga sikunya, sebuah tas laptop ia rentangkan ke arah samping kiri tubuhnya.

Dalam beberapa detik kedua orang tersebut saling menatap, mulai dari mata hingga menatap ke masing-masing tas mereka.

"Ahh...." Pekik pria tersebut, melihat gantungan Melani yang terkait pada tasnya.

"Apa?" Ucap Melani bingung karena pria tersebut mulai memegangi gantungan panda dengan gemerincing bola. "Ahh.. maaf. Tadi saya pikir..."

Pria itu masih sibuk berusaha melepaskan kaitan yang tersangkut pada tas laptopnya, tampak tidak mendengar Melani yang berusaha mengajak berbicara. "Biar aku saja.." Usul Melani.

"Sebentar, sepertinya bisa." Tolak pria itu dengan sopan dan halus, dan benar saja tidak lama gantungan panda tersebut sudah lepas dengan mudah. "Nah.. bisa kan."

"Kak Lani..." Fani berteriak dari kejauhan dan disampingnya Adit yang sedang berjalan cepat mengikuti ritme langkah Fani.

"Kok kalian malah kesini." Tanya Melani, tapi dengan cepat kembali ia menatap pria yang masih berada didepannya.

"Ee.. sekali lagi maaf ya.. dan terimakasih udah dibantuin tadi." Ucap Melani dengan sungguh-sungguh.

"Kak.. Kita lapar nih.." Ucap Fani menarik tangan kakaknya, sedangkan Adit mengangguk cepat setuju dengan pernyataan Fani sambil memasang wajah memelasnya.

"Iya, kita makan dulu yuk.. Oh ya sekali lagi maaf dan terimakasih ya." menatap wajah pria tersebut yang membalas dengan senyuman manis.

"Ka, Siapa?? ganteng banget... kenalin bisa kali..." Ledek Fani. Sedangkan Melani hanya melotot saja ke arah adiknya, sambil membawa mereka menjauh dari sang pria.

Melani, Fani dan Adit pun langsung bergerak meninggalkan pria tersebut, pria tersebut masih memandang dari kejauhan sampai akhirnya ia pun memutuskan untuk ikut meninggalkan tempat ia bertemu dengan Melani.

***

"Aduhh... Katanya lapar? Cepetan deh, kita mau makan apa nih?" Gerutu Melani kesal, karena sudah setengah jam Fani dan Adit masih saja berdebat memutuskan restoran mana yang akan mereka singgahi.

("Aku ingin makan ayam disana, kakak tau kan aku sedang mengincar mainan edisi khusus bulan ini.")

Adit menunjuk ke salah satu restoran cepat saji, terlihat panjangnya antrian pengunjung yang sudah memenuhi area kasir. Fani melipat kedua tangannya, dan menggeleng kesal.

("Adit, kakak mau makan makanan jepang. Kakak mau makan sushi. Bagaimana kalau kita bungkus untuk ayamnya, kamu kan tetap dapat mainan yang kamu mau?") Fani masih mencoba untuk merayu sedangkan Melani hanya menatap perdebatan kedua adiknya.

"Kalau kalian masih berdebat, lebih baik kita pulang saja deh. Makan mi rebus aja dirumah." Ancam Melani dengan sengaja, langsung saja kedua adiknya melotot ke arah Melani.

Dan akhirnya Adit pun setuju dengan gagasan Fani, usai membungkus satu porsi ayam goreng lengkap dengan bonus hadiah yang menjadi incaran Adit. Mereka pun bergegas menuju ke salah satu restoran Jepang yang cukup terkenal di pusat perbelanjaan tersebut.

"Selamat datang, Untuk berapa orang?" Tanya seorang pramusaji wanita dengan baju biru kimono panjang dan corak bunganya yang berwarna merah yang cerah.

"Untuk tiga orang, apakah bisa saya mendapatkan no smooking area." Jawab Melani.

"Tentu saja, senang bisa membantu. Silahkan ikut saya, saya akan berikan tempat terbaik untuk anda." Jawab pramusaji tersebut, dan masih mengarahkan ke arah dalam restoran.

Pramusaji tersebut, memberikan sebuah kursi sofa yang nyaman. Adit memutuskan untuk duduk berhadapan dengan kedua kakaknya. Ia tidak ingin kakaknya atau dia saling bersebelahan, karena Adit sudah mulai disibukkan dengan mainan yang baru saja ia dapatkan.

Bahkan ia juga mulai membongkar beberapa mainan lainnya yang baru saja ia beli, dengan sangat antusias.

Melani dan Fani masih sibuk melihat buku menu, memikirkan makanan apa yang akan membuat penuh perut mereka. Adit masih sibuk dengan mainan perangnya, miniatur prajurit lengkap dengan senjata sedang ia mainkan dengan amat seru.

Ditengah perdebatan antara Melani dan Fani, Adit menarik tangan Fani. Fani sedikit mengacuhkan dengan hanya menjawab

"Mmm...."

Kali ini Adit mengetuk tangan Fani dengan tangan kanannya, berharap Fani bisa mendongak dan menatapnya.

"Sabar ya Adit.. Biar kakak saja yang pesanin." Ucap Fani masih menatap buku menunya.

"Adit kamu coba sushi yang matang saja ya." Ucap Melani menimpali, dan kali ini ia menatap wajah adiknya. Ada ekspresi aneh saat melihat Adit terlalu fokus pada arah dibelakangnya.

"Kamu lihat apa sih?" Tanya Melani penasaran, dan ikut menengok ke arah belakangnya.

("Bukankah itu mama?") Adit mulai menunjuk meja yang berada tidak jauh dari meja mereka. Fani mulai menurunkan buku menu. Ia pun mulai penasaran dan benar saja, Fani sama terkejutnya dengan mereka berdua.

Di kejauhan Intan sedang duduk dengan santai, wajahnya terlihat ceria dan senang. Raut wajah yang jarang diperlihatkan pada mereka bertiga.

Tapi tidak hanya itu saja yang membuat kaget, seorang pria dengan jas birunya duduk bersebelahan dengan Intan.

Bahkan bisa dibilang pria tersebut bukan hanya bersebelahan, tapi posisi duduk mereka terlalu dekat. Dan dari sikap mereka berdua yang diperlihatkan, mereka layaknya sepasang kekasih.

"BUNDA??"

Ucap Fani dengan sangat terkejut, dan otomatis Fani langsung saja bangkit dari duduknya. Menutup buku menu dengan amat kesal.

"Fani, kamu mau apa?" Melani berusaha menarik pergelangan tangan Fani, agar adiknya bisa kembali duduk.

"Itu Bunda kak, dan lihat!! Siapa pria yang ada disamping bunda?"

Fani sudah tidak peduli dengan Melani yang masih saja terus menarik pergelangan tangannya, dengan cepat langkahnya sudah berada di luar jangkauan Melani.

Adit hanya bisa menatap dengan cemas dan bingung, melihat Fani yang sudah terlihat emosi dan kesal.

"Jadi bagaimana kerja kamu hari ini, kamu cape pasti?" Ucap pria dengan kemeja biru tersebut, menatap Intan dengan tatapan menggoda. Pria itu bahkan mengupingkan rambut Intan dengan perlahan dan ada rasa sayang yang ditunjukkan.

"Aku hari ini cape banget mas, kerjaan kantor banyak banget tadi. Tapi untung bisa ketemuan sama kamu hari ini." Jawab Intan dengan lembut dan sikap yang manja.

"BUNDA!!!"

Fani sudah berteriak dengan lantang, nafasnya sedang memburu dengan cepat. Ia bahkan bisa merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat dan kencang.

Semua mata sekarang sedang memperhatikan mereka. Intan dan pria tersebut pun langsung saja menatap dengan terkejut.

"Jadi INI YANG BUNDA LAKUKAN SELAMA INI DI LUAR RUMAH!!!"

Melani dan Adit sudah menyusul dan muncul dari balik punggung Fani yang masih berdiri dengan mantap. Pria itu menatap wajah Intan dengan bingung,

"Anak kamu Intan??" Tanya Pria tersebut.

"Ah.. hmm... Iya mas, Ehh....Lani, Adit kalian juga disini? Bukankah seharusnya kalian ada di sekolah?" Tanya Intan dengan tergagap.

"BUNDA!! Bisa-bisanya bunda berbuat seperti ini, gimana kalau ayah tau soal ini!!" Fani mengucapkan lebih lantang dari sebelumnya.

Tangannya sudah terkepal dengan erat, matanya semakin melebar menatap jijik kedua orang dewasa yang berada di hadapannya.

"Fani, udah kita keluar aja. Kamu gak perlu berteriak seperti itu." Melani kembali menarik pergelangan tangan Fani, tapi kondisi adik perempuannya saat itu terlalu keras kepala.

Semakin Melani mencoba, semakin Fani mengerahkan tenaganya agar kakaknya tidak dapat menggeser tubuhnya walau hanya satu inch sekalipun.

"Fani, dengar apa kata kakak kamu !! kita bicarakan ini dirumah. OK!" Ucap Intan dengan tegas, berharap Fani bisa menurut dan tidak membuat onar. Intan sadar, semua mata para pengunjung mulai menatap ke arah mereka semua.

Fani yang sudah kesal dan tidak berpikir secara logis, batas kesabarannya sudah tidak bisa ia tampung. Dengan cepat Fani mengambil dua gelas minuman yang ada di meja tersebut.

Tanpa aba-aba atau peringatan terlebih dahulu, langsung saja ia menyiram isi gelas tersebut ke arah Intan dan pria yang berada di sampingnya.

Pria itu menarik nafasnya dengan kesal, sedangkan Intan memekik kesall. Tidak menyangkan anaknya akan berbuat seperti itu. "FANI!!!" Ucap Intan.

"INTAN!! Harusnya kamu bisa didik anak kamu untuk tidak bersikap PREMAN seperti ini." Bentak pria tersebut.

Pria itu langsung saja bangkit dari duduknya, diikuti dengan Intan yang lebih khawatir ketimbang pada anak-anaknya. Baju mereka kali ini basah, dan terlihat ada noda bekas minuman. Fani semakin menyeringai puas, menikmati perbuatan yang sudah ia lakukan.

"Lebih baik, kamu urus dulu urusanmu dengan anak-anakmu." Ucap Pria tersebut menatap dengan melotot ke arah Fani dan Intan.

"Mas.. Mas mau kemana??" Intan masih mencoba untuk menahan pria tersebut. Tapi pria tersebut melangkahkan kakinya keluar meja dengan langkah berat dan kesal.

Intan benar-benar tidak peduli dengan keberadaan anaknya, langsung saja ia menyusul pria tersebut.

Mereka bertiga hanya bisa menyaksikan dari dalam restoran, ketika Intan masih saja berdebat dengan pria tersebut di luar restoran.

Melani langsung saja menggenggam tangan Fani dan Adit, tidak ada kesedihan yang mereka rasakan.

Tapi sebuah kekecewaan besar yang kali ini mereka rasakan. Kekecewaan dan rasa benci yang sudah lama mereka sembunyikan, dan sudah siap untuk mereka tumpahkan.