Chereads / Alizerta Online / Chapter 3 - Chapter II

Chapter 3 - Chapter II

"Ba-bagaimana ini Hansel...hmmm Andreno Spark yang kita dapatkan hanya satu"

Wajahnya terlihat murung dan menatap ke bawah, luka lebamnya pun menggambarkan perjuangan untuk mendapatkan suatu hal yang sangat diinginkannya. Tapi, disisi lain pun keinginanku untuk mempunyai sebuah perangkat ini begitu besar.

Bingbang dan bingung kedua hal itulah yang senantiasa ada dalam pikiranku.

Rasanya sangat tidak tega, setelah dia memasang wajah akannya keputus asaan dan pasrah. Dengan berat hati, kuberikan Andreno Spark dengan kedua lenganku yang menjulur ke arahnya.

"Nih"

Tatapannya berubah menjadi cukup aneh, dan sepertinya merasa kebingungan dengan tindakan yang kulakukan. Terdiam dengan mulut yang sedikit ternganga, melihatnya membuatku menjadi merasa terhibur dengan ekspresi konyolnya yang tidak dibuat-buat.

"Ha-Hansel...ka-kau serius?"

Raut wajah yang murung, seketika berubah menjadi berseri-seri yang menandakkan kebahagiaan dalam dirinya. Luka lebam yang ada di wajahnya tertutupi dengan seyum yang ia keluarkan dengan murninya.

"Tentu saja, lagi pula aku tidak terlalu tertarik dengan VRMMO "

Masih belum percaya dengan apa yang kukatakan. Tapi, tangannya sedikit demi sedikit menghampiri perangkat Andreno Spark dengan gemetar dan ragu. Lalu kubantu untuk memberikannya dan tiba-tiba ia terduduk secara perlahan ke tanah.

"Hey!" aku pun menatapnya.

"Terima kasih...kau selalu saja membuatku teseyum, dasar sialan"

Dan itulah hari terakhir saat melihatnya terseyum padaku, sekaligus kesalahan tesbesar yang pernah kubuat.

Pagi yang indah pun datang dengan dihiasi warna biru yang begitu indah. Tapi, hari ini adalah malapetaka yang mengubah semua bagian dari hidupku, menjadi sebuah kekelaman yang mendalam. Hari dimana sebuah perangkat game, merebut semuanya dariku dengan siksaan jiwa yang sangat membekas.

"Diketahui, sebuah perangkat keras game Andreno Spark telah menjebak sekitar lima belas ribu orang ke dalamnya, pihak berwajib..."

Terdengar hal yang mengerikan bagiku, gelas minum yang kupegang pun terlepas dan pecah begitu saja mengenai lantai. Badanku kaku dengan tatapan yang terkejut, seakan-akan aku tidak menerima apa yang sedang kudengar.

Lekas pergi dengan terburu-buru untuk menemui Nobi. Pemandangan yang tak biasa sekaligus mengerikan, kudapati setelah keluar rumah. Mereka semua sedang diangkut ke dalam sebuah ambulans, dengan perangkat keras game yang masih tertempel di kepalanya. Langkah berlari, membawaku kepada Nobi untuk memastikan semuanya masih belum terlambat. Tetapi, kenyataan yang kulihat tidak mungkin menipuku.

Terbaring lemas seperti yang lainnya dan sedang dibawa menuju ambulans. Langkahku terus berlari menghampirinya dengan mata yang penuh akannya air kesedihan. Petugas malah menghalangiku dan hanya mengatakan "Jangan menggangu."

Ibunya bernama Lau. Melihatku dengan tatapan kosong yang diisi dengan air mata. Seketika kuterduduk perlahan di tempat yang sedang kupijaki, rasa bersalah pun mengecamuk dalam diriku. Bahkan, jiwaku seolah-olah menyalahkan diriku tentang apa yang terjadi pada Nobi.

Beberapa hari setelahnya, ayahku tak kunjung datang ke rumah. Ibu selalu mencari ayah kemana pun tapi hasilnya yang ia dapatkan hanyalah ketidakpastian. Menjelaskan bahwa ayah menghilang secara misterius, setelah insiden yang kami sebut Hell On Earth.

Hal yang kusukai berbalik menjadi hal yang terkutuk. Memang sungguh ironis.

Satu tahun pertama pun telah berlalu. Dan Alizerta masih belum terselsaikan. Pemerintah pun tidak dapat berbuat apapun, mereka hanya bergantung pada para pemain yang terjebak di dalamnya untuk segera menyelesaikan game tersebut. Terdengar konyol tapi memang begitulah kenyataan yang terjadi. Pasalnya bila perangkat tersebut dilepas secara paksa, sebuah sinyal radiasi tinggi akan langsung merespon, dan segera merusak semua jaringan sel tubuh yang menyebabkan sebuah kematian pada seseorang. Hal tersebut sama seperti 'Game Over' di dalam game Alizerta.

Hal buruk terus saja muncul dalam kehidupanku, hal berharga yang kupunya terus menghilang seiring berjalannya waktu, dan pada puncaknyalah mimpi buruk pun menjadi nyata.

Seperti biasanya sepulang sekolah, menuju rumah menggunakan motorku. Tapi, entah kenapa ada yang berbeda dalam hari yang kujalani.

Terlihat rumah terselimuti gelap yang membuatku berpikir, bahwa hal aneh sedang terjadi dari dalam. Lekas berlari menuju pintu dan segera membukanya. Berantakan dimana-mana, pikiran pun menjadi panik tidak karuan.

"Bu...ibu!"

Tidak ada jawaban sama sekali. Perasaan seketika menjadi takut akannya hal mengerikan terjadi. Apa ada perampokan di rumahku?

Untung saja adik iparku tinggal di rumah nenek saat ini. Tapi, entah dengan ibuku dan aku terus-menerus mencarinya dari ruangan ke ruangan. Yang kutemukan hanyalah perabotan jatuh dan berserakan dimana-mana. Akhirnya kutemukan sebuah siksaan bathin yang menyiksaku begitu dalam, hingga menembus jiwaku.

Petir menyambar dengan cahaya kilatnya. Ketemukan sebuah jasad ibuku yang tergantung kaku dalam garasi. Terdiam kaku, lalu terduduk dan tidak percaya apa yang kulihat di depan mataku. Tidak ada yang bisa ku gerakan, hanya melihat sebuah hal yang mengerikan. Jiwa yang tergoyang seakan-akan sedang mengamuk dalam diriku.

Kesedihan menusukku begitu dalam. Rasanya seperti hancur dan tidak bisa berkata-kata. Teriakan pun memasuki sebuah keheningan, yang dimana aku tidak bisa mengeluarkan suaraku. Air panas pun mengalir dari mataku. Kepedihan menjalar ke seluruh tubuhku, dan semuanya terasa hancur.

Itulah alasanku mengutuk Andreno Spark. Bentuk nyata dari sebuah neraka yang menyiksaku, dan merebut semuanya tanpa adanya rasa kasihan.

Rasa tak kuasa melihatnya, yang sekarang ini terkubur dalam tanah. Kesedihan masih terus aku rasakan, yang menandakkan sebuah ke tidak relaanku. Hujan pun terus membasahi tubuhku yang tersungkur di depan makam ibu. Tiba-tiba saja, rasa ciprakan hujan pun berhenti.

"Apa kau mau...menyelesaikan semua ini?"

Terdengar seorang pria yang berdiri di belakangku. Segera menoleh, dan kutemukan pria berjas hitam yang sedang memayungiku agar tidak basah terkena air hujan. Kebingungan pun menerpa dalam pikiranku yang terbanjiri oleh rasa sedih.

"Siapa kau?" ia pun mendekatkan mukanya.

"Ikutlah bersamaku, dan kita akhir semua kekacauan ini"

Tanganya menjulur ke arahku. Tanpa pikir panjang, aku pun segera menolak tawarannya. "Pergilah!" dengan nada suara yang lantang. Tatapannya berubah menjadi kekecewaan, dan segera pergi meninggalkanku.

Saat itu, aku hanya bisa melampiaskan kesedihan yang bercampur dengan amarah. Tidak ada yang lain lagi, selain kepedihan, sedih, dan amarah yang kurasakan dalam jiwaku.

Beberapa hari kemudian, adik iparku Rei terus-menerus menelponku. Aku hanya bisa menjawab "Semua baik-baik saja." tapi saat dia menanyakan soal ibu, reflekku membuat sebuah gerakan untuk segera menutup telepon dengan sangat cepat. Aku hanya tidak ingin menyebarkan rasa kesedihan yang sedang kualami ini. Dan berpikir bahwa, mungkin ketidaktahuan adalah jalan terbaik untuk menghalau kesedihan agar tidak menyebar.

Dua tahun telah berlalu dan lagi-lagi Alizerta masih terus berjalan, kesedihan akannya kehilangan pun sedikit terobati. Sekarang ini aku hanya tinggal sendiri di dalam rumah.

Setiap Rei ingin pergi menemuiku, larangan pun selalu ku lontarkan padanya untuk tidak datang ke rumah sementara waktu, dan tetap tinggal bersama nenek. Hal itu kulakukan untuk mencegahnya sebuah kesedihan yang akan dialaminya, bila mana ia tahu.

Tempat yang sering ku kunjungi saat ini hanyalah sebuah rumah sakit, yang dimana Nobi terbaring lemas dengan perangkat keras Andreno Spark yang masih terus menempel di kepalanya. Setiap hari ku menjenguknya, semenjak insiden dua tahun lalu yang membuat segalanya menjadi suram. Syukurlah ketiga lampunya masih menyala yang menandakan ia masih terus bermain, alias hidup. Tapi, entah berapa lama akan bertahan. Aku takut kehilangan hal berharga lagi, yang membuatku mengulang kembali kepedihan seperti saat kehilangan ibuku.

Sekarang ini dialah satu-satunya alasan dan harapanku untuk masih menjalani hidup yang terasa kejam bagiku.

"Hansel!"

Seperti biasa, ibunya Lau menjenguk keadaan anaknya dengan raut wajah sedihnya. "Ma-maaf Hansel...karena Nobi kau jadi datang setiap hari kesini," dengan tersenyum kepadaku. Aku tahu itu hanyalah seyum yang dipaksakannya untukku, agar membuat diriku tidak terlalu mencemaskan Nobi. Tapi disisi lain, hatiku merasa terseret setelah melihatnya berpura-pura. "Semuanya akan baik-baik saja."

Pemandangan yang membuatku tak berdaya adalah saat ibunya mengelus pipi Nobi dengan meneteskan air mata keputusasaannya. Konyolnya diriku, yang hanya bisa melihat mereka berdua, tanpa berbuat apapun.

"Kau ingin menyelamatkannya?"

Suara itu tidak salah lagi, segera ku menoleh ke arah sisi, dan benar dugaanku. Pria berjas hitam yang selalu menawariku untuk pergi bersamanya. Dia benar-benar tidak menyerah dalam membujukku, tapi kali ini ada yang berbeda dari perkataannya.

"Apa maksudmu?" dengan nada suara yang lantang.

Ia pun menatapku dengan keseriusannya. "Aku bisa membawamu menemuinya," perkataan yang terdengar konyol. Tapi, wajahnya menunjukkan sebuah keseriusan dari apa yang ia ucapkan. Rasa ragu, seketika timbul dari dalam diriku.

"Ikutlah bersamaku, dan kita akhiri apa yang seharusnya diakhiri"

Seperti biasa, juluran tanganya, yang menunggu untuk segera berjabat tangan denganku. "Apa kau bisa bertanggung jawab dengan perkataanmu tadi?" ia pun menganggukan kepalanya dengan raut wajah yang terlihat murni, tanpa adanya sesuatu kebohongan. Dan kami pun berjabat tangan, yang menunjukkan suatu persetujuan diantara kedua belah pihak. Keputusan besar pun akhirnya bisa kujawab.

Sebuah mobil yang cukup mewah pun mengantarku ke sebuah gedung yang terlihat megah. "Saliksta Industry." nama gedung yang sepertinya pernah kudengar, dan sepertinya aku mengenal gedung yang sedang kulihat ini. Aku pun memasukinya dengan tuntunan dari pria berjas hitam itu. Langkah kami berdua pun menuntun pada sebuah ruangan yang terisolasi, dan banyak sekali orang yang sedang bekerja di depan komputernya. Mereka menatapku dengan wajah yang berseri-seri, seakan-akan sedang melihat seorang pahlawan yang datang.

Terlihat sebuah alat aneh mirip dengan tempat tidur yang dipenuhi oleh kabel.

Seorang pria tua pun datang dengan tersenyum ke arahku. Jas putih yang ia gunakan mencirikan bahwa ia seorang profesor. Entah ada apa dengannya, ia terlihat seperti mengenalku.

"Kau mirip sekali dengan ayahmu Hansel," ujar pria tua itu sambil mengelus kepalaku.

Dibuat terkejut olehnya, ternyata ia mengetahui namaku, lalu perkataannya seolah-olah menjelaskan bahwa ia mengenal ayahku. Sudah jelas, ia mengetahui tentang ayahku Ranz Saliksta.

"Ka-kau mengenal ayahku?" tanyaku dengan ragu.

"Tentu...ia seorang jenius yang hebat," jawabnya dengan tersenyum.

"Di-dimana dia sekarang...Ap-apa ayahku masih hidup?" ia pun memalingkan wajahnya, dan terlihat wajah ragunya untuk menjawab pertanyaanku.

"Begini Hansel, ayahmu sedang mengerjakan sesuatu yang orang lain tidak bisa kerjakan...jadi dia tidak bisa diganggu oleh siapapun," jawab pria berjas hitam.

Jawaban apa itu, yang ku dapatkan lagi-lagi hanyalah ketidakpastian. Seketika kuturunkan wajahku, raut wajah pun menjadi murung dan kembali merasa sedih. "Maaf Hansel, tapi akan ada waktunya, kau bertemu dengannya," ujar pria tua itu sambil mengelus kepalaku. Harapan pun muncul, dan menjelaskan bahwa ayahku masih hidup. Tapi sayangnya, saat ini aku tidak mengetahui keberadaannya secara pasti.

"Baiklah...kau siap, jagoan?" tanya pria tua itu, dengan reflek kuanggukan kepalaku yang menyatakan aku sudah siap. Tapi, aku tidak mengerti apa yang ia maksud.

Mereka pun menyuruhku untuk segera berbaring di benda yang terlihat aneh bagiku, rasanya nyaman setelah berbaring. Orang-orang yang ada dalam ruangan pun memasangkan beberapa kabel ke sekujur tubuhku. Perangkat keras yang mirip dengan Andreno Spark pun terpasang di kepala.

"Hansel, ingat selalu untuk tidak Game Over disana!"

Dan itulah kata-kata terakhir yang kudengar. Tiba-tiba saja rasa kantuk memberatkan kedua mataku dan memaksa untuk menutupnya. Gelap pun digantikan oleh warna putih yang menyilaukan mata. Blank, itulah sensasi yang kurasakan. Otak pun terasa tergetar. "Engine Start." entah dari mana suara itu. Tulisan pun muncul yang terbaca seperti identitas akun lamaku, setelahnya sebuah angka seratus persen muncul, lalu menghilang begitu saja yang menandakan, aku berhasil di tahap ini.

Perparduan warna yang berbeda, menuntunku untuk menembus sebuah ruang waktu dengan kecepatan cahayanya. Terasa sangat luar biasa, jantungku berdebar dengan sangat kencang seperti mau pecah. Setelahnya, gelap pun muncul yang mewarnai penglihatanku menjadi warna hitam pekat. Perlahan cahaya pun muncul. Tulisan pun terbaca olehku. "Welcome To Alizerta Online." lalu menghilang.

Mataku yang susah untuk dibuka, perlahan dapat membuka dengan sendirinya. Garis cahaya tipis, perlahan-lahan melebar menjadi sebuah penglihatan, dan kutemukan sebuah keramik dengan motif yang cukup indah. Tangan terasa hangat dan segera kugerakan keduanya, kedua tanganku terlihat biasa saja dan dapat kugerakan dengan bebasnya.

Menoleh ke arah depan, kutemukan sebuah pemandangan yang menyejukkan mata. Banyaknya rumah dan ornamen yang bernuansa klasik, ditambahnya dengan sebuah langit berwarna biru yang dihiasi awan menambah kekagumanku, saat pertama kali melihat dunia Virtual ini. Dunia yang kupikir seperti neraka malah menghasutku ke dalam keindahannya yang memukau.

Segera ku sadari bahwa saat ini, aku berada dalam dunia Alizerta. Ambisi pun muncul untuk segera menyelesaikan game terkutuk ini dengan kemampuan dan pengetahuan yang kumiliki. Kesempatan emas pun muncul dan tak akan ku sia-siakan begitu saja.

"Aku berhasil"

Sebuah harapan besar pun muncul dan saatnya diriku kembali pada jati diri yang sebenarnya sebagai seorang Pro Gamer. Naluri alami pun muncul dan bagian yang hilang dalam diriku kembali menempel ke dalam jiwa.

Dan saat itulah langkah awalku untuk menyelamatkannya.

To Be Continue...