Terkadang hujan tidak begitu baik. Hujan tiba-tiba turun dengan deras sebelum kami tiba di rumah masing-masing. Karena sudah dekat dengan apartemenku, aku mengusulkan Fuyukawa-san untuk berteduh di sana. Dia tidak menolaknya.
Kami tiba di apartemenku, di kamarku, dengan keadaan setengah basah. Lain kali, aku harus memeriksa prediksi cuaca untuk hari esok dan selanjutnya.
"Kita jadi basah, ya."
"Iya."
"Biar kubawa pakaian ganti. Fuyukawa-san ke kamar mandi saja dulu."
"Um."
Tubuh Fuyukawa-san terbilang tinggi untuk seorang gadis. Oleh karena itu, pakaianku pasti muat untuk dia pakai.
Aku mengambil baju kaus dan celana olahraga untuk dia pakai, juga handuk. Tak lupa juga plastik untuk memasukkan pakaian basahnya untuk dibawa pulang. Kuketuk pintu kamar mandi untuk memberikan ini padanya. "Fuyukawa-san, ini pakaiannya."
Dia membuka sedikit pintu kamar mandi. Dia menampakkan sedikit wajahnya di balik pintu dan menjulurkan tangan kirinya.
"Makasih, Amamiya-kun."
"Iya, sama-sama."
"Oh iya, Amamiya-kun. Satu hal lagi."
"Hm?"
"Jangan ngintip, ya."
"Tentu saja nggak. Cepat pakai pakaiannya. Aku juga mau ganti pakaian."
"Kawaii," kata Fuyukawa-san dengan suara yang kecil.
"Eh? Apa?"
"Nggak ada apa-apa."
Dia tersenyum, lalu menutup pintunya.
Kalau kuingat lagi, ini pertama kalinya aku bersama seorang gadis di kamar ini. Minggu lalu, aku bersama tiga orang gadis, sedangkan hari ini hanya seorang gadis.
Tidak apa-apa. Tidak akan terjadi hal apa-apa.
Dia keluar dengan memakai pakaian yang kuberikan dan terlihat sangat pas dengan tubuhnya.
Baiklah, sekarang giliranku untuk mengganti pakaian. Bisa saja aku terkena demam kalau seperti ini terus.
Aku menyuruhnya duduk di ruang tengah kamar ini selagi aku mengganti pakaian di kamar mandi.
Setelah mengganti pakaian, aku mengecek tasku. Untung saja tas ini anti air, sehingga isi di dalam tasku tidak basah. SMA Keiyou memang luar biasa.
Fuyukawa-san duduk di dekat meja sambil menundukkan pandangannya. Sepertinya masih ada hal yang dipikirkan olehnya.
Aku menuju dapur untuk membuat teh. Dia sebagai tamu sekarang, sudah seharusnya aku memberikannya minum. Setidaknya teh ini dapat menghangatkan tubuhnya sedikit.
Kuletakkan dua gelas teh di atas meja, lalu aku duduk di seberangnya.
"Fuyukawa-san, silakan minum tehnya."
"Makasih, Amamiya-kun."
"Um."
Dia mulai meminum tehnya dan aku juga melakukan hal yang sama.
Suara hujan yang deras menghiasi kamar ini. Tidak ada percakapan yang terjadi saat kami sedang minum teh. Aku sendiri tidak tahu harus mengatakan apa lagi setelah apa yang sudah terjadi tadi. Ah, kalau kuingat lagi, aku baru saja melakukan sesuatu yang memalukan. Apa seharusnya aku harus memeluknya tadi? Memegang tangannya agar tidak lari juga salah satu pilihan. Aaah… aku baru saja melakukan hal yang memalukan.
Bagaimana dengan Fuyukawa-san sendiri? Sepertinya dia tidak merasa keberatan tadi. Apa memeluknya tadi merupakan pilihan yang tepat? Lebih baik aku meminta maaf karena sudah memeluknya.
"Eng… Fuyukawa-san."
"Ya, Amamiya-kun?"
"Begini… maaf tadi Aku langsung memelukmu. Kamu pasti terkejut, kan? Tiba-tiba ada orang memelukmu."
"Ah, um… nggak apa-apa."
"Syukurlah."
"Malahan Aku senang karena kamu peluk," katanya dengan suara yang sangat pelan.
"Hm? Kamu bilang apa?" Suara hujan yang deras ini membuatku tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakannya.
"Ah, bukan apa-apa."
"Oh. Begitu, ya."
"Ngomong-ngomong, Amamiya-kun, apa kamu tahu siapa yang menabrakmu waktu itu?"
"Ah… Aku baru saja mau tanya itu padamu, Fuyukawa-san."
"Jadi kamu nggak tahu, ya?"
"Iya. Kamu tahu, Fuyukawa-san?"
"Maaf, Aku juga nggak tahu."
"Beneran?"
"Iya. Waktu itu, Aku nggak bisa lihat wajahnya. Tapi… pemilik mobil limosin saat itu pasti murid SMA Keiyou, sama seperti kita."
"Kenapa kamu bisa pikir seperti itu?"
"Aku lihat orang yang keluar dari mobil itu. Seorang gadis yang memakai seragam sekolah yang sama seperti kita."
"Begitu, ya."
"Saat di rumah sakit, Amamiya-kun nggak ketemu dengan orangnya?"
"Nggak. Yang kutahu biaya perawatan rumah sakit sudah ditanggung oleh orang yang menabrakku itu."
"Begitu, ya."
"Um..."
"Oh iya, Amamiya-kun, kalau kamu ketemu dengan gadis pemilik mobil itu, gimana sikapmu nanti?"
"Gimana, ya? Aku nggak tahu pasti."
"Begitu, ya. Sepertinya akan sama seperti tadi," kata Fuyukawa-san dengan suara yang pelan. Lagi-lagi aku tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakannya karena hujan yang masih terus mengguyur.
"Oh iya, satu lagi."
"Hm?"
"Kenapa beasiswaku di sekolah itu nggak dicabut, ya?"
"Ah, benar juga."
"Apa orang yang menabrakku waktu itu punya hubungan dengan sekolah kita?"
"Kemungkinannya ada saja, sih."
"Iya, kamu benar."
Kami melanjutkan minum teh yang masih tersisa di gelas kami masing-masing.
Suana kamar ini menjadi sunyi kembali. Hanya terdengar suara hujan yang dari tadi masih mengguyur kota ini.
Fuyukawa-san kembali menundukkan pandangannya. Sudah pasti masih ada sesuatu yang dipikirkannya.
"Amamiya-kun…" dia memanggil namaku dengan pandangannya masih ke bawah. Awalnya, kukira dia sedang bergumam sendiri, tapi sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu padaku.
"Ya?"
Dia beranjak dari tempatnya, lalu duduk di dekatku.
Fuyukawa-san, kamu terlalu dekat.
Dia begitu dekat. Aku bisa mencium aroma manis dari tubuhnya walau dia sudah memakai pakaian yang kuberikan. Dia memegang bajuku dengan pandangan yang masih ke bawah.
"Hey, Amamiya-kun, selama ini kamu sendirian, kan?"
"Apa maksudmu, Fuyukawa-san?"
"Aku tahu kalau kedua orang tuamu sudah meninggal. Kamu tinggal bersama kakek dan nenekmu di Nagano dan sekarang kamu tinggal sendirian di Tokyo."
"Jadi kamu sudah tahu, ya?"
"Iya. Sebenarnya, kedua orang tuaku sudah menjengukmu waktu di rumah sakit. Mereka tahu tentangmu di sana dan menceritakannya padaku."
Kakek dan nenekku sama sekali tidak memberitahu tentang ini padaku. Seharusnya mereka bilang saja kalau orang tua dari gadis yang kutolong itu datang untuk menjengukku. Kenapa mereka diam tanpa memberitahukan kebenarannya?
Fuyukawa-san melajutkan, "Seharusnya waktu itu Aku ikut dengan orang tuaku untuk bilang terima kasih karena sudah menolongku. Tapi… Aku terlalu takut untuk bertemu denganmu."
"Sudah nggak apa-apa, Fuyukawa-san. Setidaknya kamu sudah katakan semuanya hari ini."
"Apa kamu masih ingin menjadi temanku atas semua yang sudah kulakukan? Apa kamu nggak membenciku? Apa kamu…"
"Fuyukawa-san!"
Aku memotong perkataannya, melihat ke wajahnya dan mengelus kepalanya. Dia melihat ke arahku sehingga mata kami bertemu, lalu kulanjutkan. "Tadi sudah kubilang, kan? Aku akan tetap menjadi temanmu. Bukannya waktu itu kita sama-sama ingin menjadi teman?"
"Iya, tapi…"
"Itu saja sudah cukup. Itu perasaanmu yang sesungguhnya, kan?"
"Iya. Beneran begitu saja sudah cukup?"
"Iya, benar, karena Aku juga ingin berteman denganmu, Fuyukawa-san."
"Syukurlah."
"Karena itu, jangan pikirkan lagi tentang hal ini. Semuanya sudah selesai hari ini. Kita bisa kembali ke hubungan kita sebelumnya."
"Um, baiklah."
Dengan begini, masalah ini sudah selesai. Kami bisa kembali seperti biasa, seorang teman yang berada di kelas yang sama dan sebagai sesama perwakilan kelas 2-D. Sangat disayangkan jika aku menjauhinya karena hal ini. Tentu saja bukan diriku yang sesungguhnya jika aku menjauhinya karena kebenaran yang dia sembunyikan itu.
Aku ingat kembali perkataan ibuku dulu. Ibu pernah bilang kalau setiap orang pasti memiliki hal yang tidak bisa dikatakan meskipun ingin dikatakan dan dibalik semua itu pasti ada alasan yang kuat untuk membuatnya melakukan itu. Mungkin hari ini, aku dapat mengerti apa yang ibu katakan itu.
Fuyukawa-san tidak bisa mengatakan terima kasih padaku dan memberitahuku kalau dia lah gadis yang kuselamatkan itu karena rasa takut yang menghantuinya jika hal itu membuatku membencinya atas kecelakaan yang terjadi. Rasa bersalah dan penyesalan, dia memendam rasa itu lebih dari satu tahun. Namun sekarang, dia sudah melepas semuanya dengan mengatakan semuanya. Sekarang tidak ada yang mengikatnya lagi. Dia bisa menjadi dirinya, Fuyukawa-san, yang sebenarnya tanpa terikat dengan rasa bersalah dan penyesalan itu lagi. Mungkin, aku bisa mengetahui sisinya yang belum pernah kuketahui.
Senyuman mulai kembali menghiasi wajahnya yang cantiknya. Melihatnya tersenyum, aku pun ikut tersenyum. Senyum indahnya itu terasa sangat alami seperti pertama kali bertemu dengannya di loker sepatu pada April lalu.
"Amamiya-kun, boleh aku berada di sini sedikit lebih lama?"
"Boleh, kok. Lagian di luar masih hujan deras."
"Ngomong-ngomong, Amamiya-kun, tanganmu…"
"Ah, maaf." Ternyata tanganku masih berada di kepalanya. Secepatnya kuturunkan tanganku kembali. Rasanya memalukan.
Apa ini karena efek dari hal yang disebut dengan "persona"? Teori kepribadian yang membuat orang bersikap berbeda daripada biasanya. Mungkin sifatku sedikit berbeda hari ini sejak mengetahui kebenaran dari gadis yang kutolong waktu itu dan perasaan yang Fuyukawa-san katakan.
"Nggak apa-apa," katanya sambil memegang tanganku.
"Fuyukawa-san?"
Kenapa tiba-tiba dia memegang tanganku?
"Tanganmu besar, ya."
"Ah, ya, mungkin."
"Kalau dibandingkan dengan tanganku, tanganmu ini besar. Dengan tangan ini, kamu pasti sudah melakukan banyak hal dan juga melewati berbagai kesulitan."
"…"
"Karena itu, Amamiya-kun, Aku ingin kamu bergantung padaku. Kamu nggak sendirian lagi sekarang. Ada aku yang berada di dekatmu, di sisimu, sebagai temanmu."
"Makasih, Fuyukawa-san. Kamu juga, bergantunglah padaku."
"Um," jawab Fuyukawa-san dengan seyuman di wajahnya.
Fuyukawa-san berada di rumahku hingga hujan sedikit mereda yaitu sekitar pukul enam sore. Kulihat ramalan cuaca di ponselku menunjukkan hujan akan terus mengguyur kota Tokyo sampai malam nanti. Oleh karena itu, aku menyuruhnya pulang sebelum malam. Kupinjamkan payung yang bisa digunakannya untuk melindunginya dari hujan saat pulang ke rumanhya. Kami mengucapkan selamat tinggal di depan kamarku dan dia pergi meninggalkan apartemen ini.
Kejadian hari ini sangat memengaruhi keadaan batinku. Syok yang kuterima saat mengetahui semua kebenaran dibalik kecelakaan tahun lalu membuat tubuhku terasa lelah. Terlebih lagi saat mengejar Fuyukawa-san.
Aku mulai memasak untuk makan malam. Kari yang kubuat bersama Taniguchi-san tersisa sedikit lagi, jadi aku akan memasak menu tambahan untuk makan malam hari ini.
Setelah makan, aku mandi. Mungkin besok aku harus ke pemandian umum Komeisen yang terletak di Meguro. Tempat ini kudapat saat mencari tempat pemandian umum di internet. Beruntung tempatnya dekat dengan apartemenku. Berendam di bak mandi yang luas pasti sangat menyenangkan.
Malam hari biasanya kugunakan waktuku untuk belajar kembali atau membaca novel yang kupinjam dari perpustakaan. Namun, malam ini aku tidak akan melakukan itu. Kelopak mataku terasa berata sesudah mandi. Aku pun langsung tidur setelah mematikan lampu.
Semoga besok semuanya akan kembali normal.
Semuanya.