Chereads / Kesempatan Kedua di Kehidupan SMA-ku / Chapter 67 - Pada Akhirnya, Kebenaran Akan Terungkap (1)

Chapter 67 - Pada Akhirnya, Kebenaran Akan Terungkap (1)

Kebenaran merupakan suatu hal yang diinginkan oleh semua orang. Semua orang ingin mengetahui kebenaran apa yang ada di sekitar mereka. Kebenaran yang baik dan kebenaran yang buruk. Tidak peduli apa pun itu, semua orang ingin mengetahuinya.

Bagiku, kebenaran tentang gadis yang kutolong waktu itu masih menjadi tanda tanya besar. Pihak sekolah mungkin mengetahui sesuatu, tapi tidak mengatakan apa-apa kepadaku. Sedangkan Taka mengatakan kalau dia tidak tahu siapa gadis itu. Namun, pada akhirnya, kebenaran tentang hal itu terungkap dengan sendirinya.

Sehabis pulang dari trip studi sosial, kulihat kumpulan orang yang tidak biasa bersama di perkarangan depan Gedung Utama dan mendengar sesuatu yang mengagetkanku.

Apa yang ditanya Namikawa-san kepada Fuyukawa-san membuatku penasaran.

Aku berhenti melangkah ke arah mereka, terdiam, dan hanya bisa memperhatikan mereka dari jarak yang bisa membuatku mendengar percakapan mereka..

"A-apa maksudmu, Namikawa-san?"

"Sumire-chan dan Izumi-chan sudah memberitahukanku semuanya."

"Shimizu-san dan Nazuka-san?"

"Ya. Aku yang memberitahukannya kepada Sakura."

"Salah satu anggota klub voli kami melihat langsung saat kecelakaan itu terjadi."

Ternyata Namikawa-san dan Kayano-san berteman dengan Nazuka-san, Shimizu-san, dan Taniguchi-san. Apa ini yang Taka maksud kalau aku hebat karena bisa berteman dengan Namikawa-san?

"Benar, kan, Fuyukawa-san?"

"Tunggu dulu. Kenapa kalian percaya dengan orang itu? Apa dia punya bukti kalau Yukina adalah gadis yang diselamatkan Ryuki?"

Yukina? Taka memanggil Fuyukawa-san dengan namanya? Oh iya, dia pernah bilang kalau pernah sekelas dengan Fuyukawa-san. Hubungan apa yang ada di antara mereka berdua? Sepertinya mereka berdua memang dekat.

"Hiroaki-kun, kamu temannya Amamiya-kun, kan? Kenapa kamu nggak bilang hal sebenarnya?"

"Hal apa yang kamu maksud, Taniguchi?"

"Gadis yang diselamatkan Amamiya-kun adalah Fuyukawa-san. Kenapa kamu nggak jujur ke Amamiya-kun?"

"…"

"Kenapa diam?"

"Fuyukawa-san, gadis itu kamu, kan?" Namikawa-san kembali bertanya.

"Iya. Akulah gadis yang ditolongnya waktu itu. Akulah yang membuatnya tertabrak."

Apa yang baru saja kudengar dari mulutnya Fuyukawa-san? Apakah ini kebenarannya?

"Ah, Amamiya-kun." Kayano-san menyebut namaku saat dia menyadari kalau aku berada di dekat mereka.

Fuyukawa-san mengubah arah pandangannya ke arahku. Mata kami bertemu sehingga membuat dia terkejut.

"Amamiya-kun… kamu mendengarnya?" tanya Fuyukawa-san dengan ekspresi terkejut.

"Taka, kenapa kamu nggak jujur aja ke aku?"

"Ryuki… Aku…"

Entah kenapa aku mulai bertanya kepada Taka terlebih dulu.

"Hah…" aku mengembuskan napas, lalu melanjutkan. "Kukira kamu orang yang jujur dan bisa kupercaya. Kamu dapat nomor ponselku pasti dari Fuyukawa-san, kan? Kalau kuingat lagi sejak kamu menghampiriku dulu, kamu bilang nggak tahu siapa gadis yang kutolong itu."

"Eng… Ryuki, sebenarnya…"

"Fuyukawa-san, kenapa kamu nggak bilang ke aku kalau kamu lah gadis yang kutolong waktu itu?" Tanpa mendengar jawaban dari Taka, aku bertanya ke Fuyukawa-san.

"Aku…"

"Kenapa? Kenapa kamu nggak bilang?" Aku bertanya dengan suara yang pelan sehingga membuat murid lain yang masih berada di sekitar sini tidak mendengarkannya.

"A-aku…"

"Kenapa? Tolong jawab aku."

"Amamiya…" tiba-tiba Mizuno-san memanggilku.

"Ssttt. Bisa kamu diam dulu, Mizuno-san? Aku nggak tanya ke kamu. Aku tanya ke Fuyukawa-san sekarang," kataku sambil meletakkan jari telunjuk di depan mulutku.

Aku tidak tahu bagaimana ekspresiku saat ini, tapi ada satu hal yang jelas. Perasaanku saat ini rasanya sangat berbeda daripada biasanya. Dadaku sedikit terasa sesak, dan bahkan sulit untuk bernapas.

Saat aku menginginkan jawaban langsung dari mulut Fuyukawa-san, dia justru pergi meninggalkan tempat ini dengan berlari.

"Fuyukawa-san!!!" Aku meneriaki namanya.

"Yukina, tunggu!"

Fuyukawa-san terus berlari, melewati gerbang sekolah hingga tidak terlihat lagi.

"Oi, Ryuki. Kenapa kamu mendesaknya sepeti itu?"

"Ha?"

Terdengar suara tamparan dan tiba-tiba pipi kiriku terasa sakit. Seseorang baru saja menamparku dan orang yang melakukannya adalah Mizuno-san. Ini pertama kalinya aku ditampar oleh seseorang.

"Amamiya, dengar. Yukina nggak bisa bilang hal sebenarnya pasti karena dia takut. Waktu itu kamu dengar juga saat kita makan siang bersama, kan?"

Ah, sepertinya Fuyukawa-san bilang seperti itu.

Mizuno-san melanjutkan, "Dia takut kalau kamu tahu hal sebenarnya, kamu akan membencinya."

"Ryuki… Aku nggak bisa kasih tahu ke kamu karena Aku sudah berjanji dengan Yu- Fuyukawa."

"Janji?"

"Iya. Dia memintaku jangan ceritakan hal ini ke kamu. Dia ingin mengatakannya langsung ke kamu. Maafkan aku karena sudah membohongimu dan memang benar kalau Aku dapat nomor ponselmu dari dia."

"Begitu, ya."

Awan yang ada di atas kami perlahan-lahan mulai menjatuhkan tetesan air.

"Oh iya, Aku baru tahu kalau Namikawa-san dan Kayano-san berteman dengan Shimizu-san, Nazuka-san, dan Taniguchi-san."

"Apa itu yang harus kamu katakan, Amamiya?"

"Apa maksudmu, Seto-san?"

"Ryuki, ada hal yang harus kamu lakukan sekarang."

"Amamiya, kamu nggak sadar?"

"Kali ini apa, Mizuno-san?"

"Kejar Yukina. Sekarang!"

"Kenapa?"

"Apa kamu nggak sadar kalau semua yang Yukina lakukan ke kamu merupakan caranya untuk meminta maaf dan sebagai cara menebus kesalahannya padamu?"

"Ha? Dia bahkan nggak bilang 'aku minta maaf' ataupun 'terima kasih' ke aku."

"Oi, Ryuki. Buka pikiranmu. Fuyukawa melakukan semua ini untuk bisa dekat denganmu. Dia ingin mengenalmu, memahamimu, melakukan semuanya demi membayar rasa bersalahnya karena membuatmu tertabrak waktu itu."

"…" Aku terdiam karena apa yang dikatakan Mizuno-san dan Taka adalah hal yang benar.

Waktu pertama kali tiba di sekolah ini di tahun keduaku, ada seorang gadis dengan senyuman manis di wajahnya mengajakku berbicara di loker sepatu. Di aula sekolah saat upacara pembukaan semester dan penyambutan murid baru, gadis itu mengajakku berbicara dan memperkenalkan namanya, Fuyukawa Yukina-san. Dia juga merekomendasikanku sebagai perwakilan murid laki-laki untuk kelas 2-D. Dia tidak khawatir terhadap bagaimana orang menganggapku, bahkan dia hampir bertengkar dengan temannya sendiri.

Saat dia mengatakan ingin menjadi temanku, betapa senangnya hatiku saat itu karena aku juga menginginkan hal yang sama. Dia orang yang berharga bagiku di sekolah ini. Aku ingin terus berteman dengannya, menjalankan tugas perwakilan kelas bersama dengannya, dan lain sebagainya. Aku tidak ingin hubungan kami berakhir di sini.

Mungkin… akulah yang terburuk.

Dari awal, aku tahu kalau aku tidak akan bisa membencinya, tapi ada apa dengan sikapku tadi? Rasanya seperti bukan diriku yang sebenarnya. Apakah ini yang disebut dengan "persona"?

Kukepal tangan kananku dan kuarahkan sebuah pukulan ke arah pipi kananku. Rasanya sakit, tapi ini tidak lebih sakit dari apa yang dirasakan Fuyukawa-san.

"Amamiya-kun, apa yang kamu lakukan?"

"Tenang saja, Namikawa-san. Aku hanya memukul seorang idiot. Terima kasih semuanya, aku pergi dulu."

Tanpa mendegar satu pun jawaban dari mereka, aku langsung berlari meninggalkan sekolah untuk mencari Fuyukwa-san. Dia seharusnya masih berada di sekitar sini.

Aku berlari di sepanjang Sungai Meguro melihat seorang gadis yang sedang berlari juga dari kejauhan. Sepertinya itu Fuyukawa-san.

Kukejar dia dari belakang dan saat mulai mendekat kuteriakkan nama seseorang, "Fuyukawa-san, tunggu."

Gadis yang berlari itu berhenti dan melihat ke arah belakang. Ternyata benar gadis itu adalah Fuyukawa-san. Dia yang menyadari kalau aku sedang mengejarnya kembali berlari dari kejaranku. Dia berlari semakin kencang tanpa adanya rasa lelah yang memperlambat larinya. Wajar saja, dia anggota klub bola basket.

"Fuyukawa-san, tunggu!!!"

Dia sama sekali tidak menoleh ke arahku yang berlari di belakangnya.

Aku hanya bisa terus berlari sambil terus memanggil namanya dan dia sama sekali tidak mau berhenti. Kupanggil lagi dan dia tidak menoleh ke belakang. Lagi dan lagi, hasilnya tetap sama.

Kami sekarang sudah berada di pinggir Sungai Meguro, tempat di mana kami melihat bunga sakura setelah kami mengatakan keinginan kami untuk berteman. Kejadian di hari itu masih lekat di ingatanku.

Perlahan tapi pasti, aku mendekatinya. Sepertinya kakiku yang pernah patah karena kecelakaan itu sudah pulih sempurna 100%. Aku bisa dash ke arahnya.

Saat jarak di antara kami semakin menipis, kupanggil namanya lagi. "Fuyukawa-san, tunggu!"

Dia tetap saja tidak berhenti.

Apa yang harus kukatakan kepadanya saat ini agar dia mau untuk berhenti?

Saat aku melewati tempat di mana kami melihat bunga sakura saat itu, sesuatu muncul di kepalaku. Mungkin, inilah yang bisa kukatakan untuk membuatnya berhenti.

Sekuat tenanga kuteriakkan namanya.

"YUKINA-SAN!!!"

Tiba-tiba dia berhenti.

"Tunggu aku, Fuyukawa-san," kataku sambil mengatur pernapasanku dengan menghela dan mengembuskan napas.

"Kenapa kamu mengejarku?" Fuyukawa-san menjawab pertanyaanku tanpa berbalik.

"Ah-ah… tentu saja, ah… karena kamu lari, Fuyukawa-san." Setelah napasku kembali normal, aku melanjutkan. "Kenapa kamu lari?"

"Aku takut."

"Takut kenapa?"

"Aku takut untuk berhadapan denganmu, Amamiya-kun."

"Kenapa?"

"Aku sudah membohongimu. Aku nggak bilang apa-apa kepadamu karena sudah menolongku saat itu. Aku nggak bilang 'terima kasih.' Pasti kamu membenciku sekarang, kan? Sudah, tinggalkan saja aku sendirian. Aku bukan gadis baik seperti kamu pikirkan. Aku…"

"Fuyukawa-san, berbaliklah. Kumohon."

Akhirnya dia berbalik dan aku bisa melihat wajahnya. Saat mata kami bertemu, dia langsung menundukkan pandangannya yang membuatku tidak bisa melihat bagaimana ekspresi wajahnya sekarang. Namun, saat dia berbalik tadi, terlihat jelas kalau dia sangat sedih dan air matanya jatuh membasahi pipinya.

Tanpa pikir panjang, aku langsung memeluknya.

"Aku nggak akan membencimu, Fuyukawa-san."

"Amamiya-kun?"

"Aku tahu kamu pasti punya alasan kenapa kamu nggak bisa bilang ke aku kalau kamu lah gadis yang kutolong. Pasti kamu merasa ketakukan tentang hal yang akan terjadi saat kamu mengatakan hal itu. Ditambah lagi rasa bersalahmu yang besar karena membuatku tertabrak saat itu. itu semua karena kamu orang yang baik, Fuyukawa-san. Aku nggak menyesal atas tindakanku saat itu karena itu adalah tindakan yang benar. Mungkin… Aku akan menyesal jika nggak menolongmu waktu itu. karena itu, Aku hanya ingin satu hal."

"Apa itu?"

"Ucapkan 'terima kasih' kepadaku."

"Amamiya-kun, terima kasih karena sudah menolongku waktu itu. Terima kasih, Amamiya-kun. Terima kasih…"

Suara tangisan mulai terdengar jelas. Fuyukawa-san tidak sanggup membendung rasa sedihnya lagi, sehingga dia mulai menangis di bahuku.

"Aku senang kalau gadis yang kutolong itu sangat sehat sekarang."

"Aku sangat ketakukan saat melihatmu terbaring di jalan dan keluar darah di kepalamu. Aku sangat ketakutan juga untuk menjengukmu di rumah sakit dan untuk mengatakan terima kasih. Tapi… ada ketakukan yang lebih besar yaitu Aku nggak bisa bertemu denganmu lagi saat kutahu kalau kamu sudah dipindahkan ke Nagano. Maafkan aku karena sudah membohongimu. Maafkan aku." Isak tangisnya mengiringi perkataan yang diucapkannya.

"Sekarang nggak ada yang perlu kamu takutkan lagi. Aku juga minta maaf, Fuyukawa-san."

"Eh?"

"Aku seharusnya nggak mengatakan hal seperti tadi. Aku seharusnya nggak mendesakmu. Pikiranku tadi sangatlah kacau karena tiba-tiba dadaku terasa sesak. Tapi… Aku sadar kalau kehadiranmu sangat berharga bagiku. Aku nggak mau hubungan kita hancur. Aku ingin terus bersama denganmu. Sebagai temanmu. Bukannya waktu kita sudah mengatakan kemauan kita masing-masing untuk menjadi teman? Aku nggak mau hal itu hancur."

"Um. Maaf, Amamiya-kun. Dan juga terima kasih."

"Um, ya."

Aku masih terus memeluk Fuyukawa-san. Sudah berapa lama waktu berlalu dalam keadaan seperti ini, aku tidak tahu.

Saat ingin melepas pelukanku kepadanya, tiba-tiba kedua tangannya menyentuh punggungku. Dia membalas pelukanku dengan memelukku juga.

"Aku bersyukur bisa bertemu denganmu lagi. Terima kasih sudah kembali. Akhirnya… Aku bisa mengatakan semuanya. Semua yang kupendam lebih dari setahun."

"Aku juga bersyukur karena akhirnya kamu mengatakannya."

Kami tidak tahu sudah berapa lama kami saling berpelukan. Aku tidak bisa melepaskan pelukannya begitu saja karena dia masih menangis. Isak tangisnya masih terdengar jelas.

"Sudah… jangan nangis lagi. Ayo kita pulang sebelum hujannya menjadi deras."

"Um. Ayo pulang."

Aku melepas pelukanku dan Fuyukawa-san juga. Dia mengelap air mata yang jatuh membasahi pipinya dengan lengan seragam sekolahnya yang panjang itu. Setelah air mata yang ada di wajahnya hilang, kami bergerak untuk pulang.