Chereads / Kesempatan Kedua di Kehidupan SMA-ku / Chapter 62 - Menepati Janji (5)

Chapter 62 - Menepati Janji (5)

Setelah selesai makan, Nazuka-san dan Shimizu-san menawarkan diri mereka berdua untuk membersihkan peralatan masak dan makan, berserta dapurku.

Awalnya, aku menolaknya. Tapi mereka sangat ingin melakukannya. Mereka bilang kalau aku dan Taniguchi-san sudah membuat makanan tadi, maka sisanya biar mereka yang urus.

Aku dan Taniguchi-san berada di beranda kamar ini untuk mencari udara sambil melihat keadaan di luar apartemen. Setelah itu, kami masuk ke kamar lagi.

Taniguchi-san mulai melihat ke seluruh arah kamar ini, seperti sesuatu yang menarik yang belum pernah dia lihat.

Wajar saja karena kebanyakan murid Keiyou berasal dari keluarga elit nan kaya raya. Melihat kamarku yang kecil seperti ini pasti merupakan hal baru bagi mereka.

Aku menuju sisi tempat tidur untuk bersandar. Melihat Nazuka-san dan Shimizuka-san yang sepertinya sedang kewalahan dalam melakukan pekerjaan mereka. Pasti mereka memang tidak terbiasa dengan pekerjaan seperti itu. Melihat mereka dalam keadaan kewalahan seperti itu membuatku tersenyum kecil.

"Kenapa tersenyum seperti itu, Amamiya-kun?" tanya Taniguchi-san karena melihatku tersenyum sendiri tanpa sebab.

"Ah, itu… lucu saat kulihat mereka berdua. Pasti mereka nggak terbiasa sama sekali dengan pekerjaan seperti itu."

"Oh… kamu benar. Haha…" Taniguchi-san melihat ke arah mereka dan tertawa.

Wajah Taniguchi-san saat tertawa sangatlah manis. Tanpa sadar, aku sudah memalingkan pandanganku ke wajahnya. Dia melihat ke arahku dan hanya memiringkan sedikit kepalanya karena bingung atau sedang memikirkan sesuatu.

"Oh iya, Amamiya-kun. Kamu murid pindahan, kan? Sebelumnya kamu bersekolah di mana?"

Ah, benar juga. Dia belum mengetahui apa-apa tentang itu. Untuk saat ini, hanya murid kelas 2-D yang sudah kujelaskan semuanya saat pengumuman hasil ujian tengah semester, Namikawa-san, Kayano-san, dan Taka. Lebih baik kuceritakan padanya. Belakangan ini, kami juga sudah mulai berteman dekat.

"Ah, um… sebenarnya, Aku murid Keiyou dari tahun pertama."

"Eh? Beneran?"

"Iya."

"Terus, kenapa kamu masuk di tahun kedua?"

"Di hari pertama sekolah di tahun pertama, Aku mengalami kecelakaan karena menolong seorang gadis yang hampir tertabrak mobil. Karena itulah, Aku dipindahkan kembali ke Nagano dan bersekolah di salah satu SMA di sana yang dekat dengan tempat tinggalku."

"Aku ingat kalau waktu itu memang ada kecelakaan di dekat sekolah. Ternyata itu kamu, ya."

"Iya. Ini bekas luka saat itu," kataku sambil memperlihatkan bekas luka di keningku yang selalu kututup dengan poniku.

Taniguchi-san yang duduk di seberang meja mendekat ke arahku dan duduk di depanku.

"Pasti berat, ya." Taniguchi-san sambil mengelus kepalaku.

Are? Taniguchi-san? Apa yang kamu lakukan?

Jantungku berdebar kencang. Dia sangat dekat. Aku dapat mencium aroma manis darinya yang sedang mengelus kepalaku.

Saat kulihat ke arah dapur di sebelah kiriku, Nazuka-san dan Shimizu-san menyeringai. Mereka tersenyum lebar karena melihat Taniguchi-san sedang mengelus kepalaku.

Aku membuang pandanganku dari arah mereka. Ini membuatku malu.

"Ano, Taniguchi-san?"

"Ah, maaf."

"Um, nggak apa-apa."

Sepertinya, tanpa sadar dia mengelus kepalaku.

Pertama kalinya ada orang yang melakukan itu padaku. Terlebih, orang itu adalah seorang gadis. Perasaanku menjadi campur aduk karena perlakuannya tadi.

"Ngomong-ngomong, kamu sudah ketemu dengan gadis yang kamu tolong itu?"

"Belum."

"Gadis itu murid Keiyou, kan?"

"Sepertinya. Sebenarnya, Aku nggak terlalu ingat kejadian waktu itu."

"Dia nggak jenguk kamu di rumah sakit juga?"

"Iya."

"Aku nggak percaya ada orang seperti itu. Kalau orang yang menabrakmu?"

"Aku juga nggak ketemu. Yang kutahu, orang yang menabrakku itu yang membayar semua biaya perawatan rumah sakit. Kakek dan nenekku nggak mengatakan apapun tentang gadis yang kutolong itu, maupun orang yang menabrakku."

"Kakek dan nenek? Kamu tinggal bersama mereka?"

"Iya."

"Orang tuamu nggak di sini?"

"Ah, um. Kedua orang tuaku sudah meninggal."

"Ah, maaf."

"Ya, nggak apa-apa, kok."

"…"

Taniguchi-san terdiam dan menundukkan pandangannya. Dia seperti merasa bersalah karena membuatku menceritakan tentang masa laluku.

"Nggak perlu merasa bersalah, Taniguchi-san. Aku menceritakannya karena kamu sudah kuanggap sebagai temanku."

"Um, ya," jawab Taniguchi-san sambil mengangguk kepalanya.

"Mungkin agak telat, tapi mulai dari sekarang yoroshiku ne."

"Aku juga."

Senyum mulai kembali menghiasi ekspresi di wajahnya Taniguchi-san. Sudah seharusnya dia tersenyum seperti itu karena aku sangat menyukai senyum manis di wajahnya itu. Terasa sangat alami dan indah.

Aku memang baru saja bertemu dan berteman dengannya melalui klub bantuan. Keputusanku untuk masuk ke klub bantuan mungkin merupakan keputusan yang tepat.

Dulu, ibuku pernah mengatakan padaku untuk menjadi orang yang bisa membantu orang lain. Aku senang karena bisa mewujudkan perkataan ibuku dengan masuk ke klub itu. Secara tidak sadar, mungkin aku menyetujui masuk klub itu karena perkataan ibuku. Dengan masuknya aku di klub itu juga aku dapat bertemu dan berteman dengan murid dari kelas lain.

Nazuka-san dan Shimizu-san sepertinya sudah selesai melakukan pekerjaan mereka. Mereka berdua pun menuju ke arah kami dan duduk.

"Hah… pertama kali aku cuci piring," kata Shimizu-san sambil menghela nafasnya.

"Aku juga. ternyata nggak semudah yang kubayangkan."

"Tentu saja. Kalian jangan meremehkan pekerjaan rumah."

"Haha…" Aku tertawa kecil.

"Hah… Aku akhirnya sadar."

"Sama, Aku juga."

"Oh iya, Amamiya-kun. Tadi kamu bilang kalau orang tuamu sudah meninggal, kan?"

"Kalian dengar, ya?

"Iya, kami dengar."

"Iya, itu benar. Ayahku meninggal saat Aku belum lahir, sedangkan ibuku meninggal saat aku berumur tujuh tahun."

"Pasti sulit dan berat, ya."

"Um, iya."

Jika Aku mengatakan tidak, maka itu akan menjadi sebuah kebohongan. Aku sudah berjanji untuk selalu jujur kepada teman-temanku.

Saat itu memanglah masa yang sulit, berat, dan menyakitkan. Bisa dikatakan saat itu merupakan titik terendah dalam hidupku. Kehilangan kedua orang tua di saat Aku masih kecil terasa sangat berat dan menyakitkan.

Tapi…

Aku harus tetap kuat dan semangat. Hingga akhirnya, aku bisa bersekolah di Tokyo dengan menerima beasiswa dari hasil kerja kerasku belajar di sekolah.

"Tapi," aku melanjutkan perkataanku yang tadi.

"Sekarang aku sudah punya teman yang menyenangkan seperti kalian. Karena itu, Aku berterima kasih kepada kalian karena sudah menjadi temanku, bahkan sampai datang ke kamarku yang kecil ini sambil membawa makanan dan minuman, makan siang bersamaku, dan berbicara denganku. Ini pertama kalinya Aku makan bersama orang lain di sini. Terima kasih, ya." Aku menundukkan kepalaku ke arah mereka bertiga.

Aku melihat ke bawah sekarang, sehingga membuatku tidak bisa melihat wajah mereka bertiga dan juga ekspresi di wajah mereka. Aku terus menundukkan kepalaku sampai mereka mengatakan sesuatu.

"Amamiya-kun, angkat kepalamu." Taniguchi-san memegang bahuku.

Aku mengangkat kepalaku dan melihat ke arahnya yang berdiri tepat di depanku.

"Kami juga berterima kasih padamu karena sudah membantu klub kami. Dengan bantuanmu, kami bisa meraih kemenangan yang kami impikan. Aku bersyukur karena bisa bertemu denganmu, mengenalmu, dan menjadi temanmu."

"Seperti yang Hitoka katakan, kami sungguh bersyukur bisa bertemu denganmu dan menjadi temanmu."

"Iya, benar."

"Makasih Taniguchi-san, Shimizu-san, Nazuka-san. Mulai sekarang, bergantunglah pada teman kalian ini. Datanglah lagi ke klub bantuan kalau ada masalah atau sekedar mampir."

"Iya, pasti kami akan datang lagi, kok."

"Ya., tentu saja."

"Um."

Dengan sadar, aku mulai tersenyum.

Senyum mulai memenuhi ekspresi wajahku karena perasaan senang. Mereka benar-benar teman yang baik dan dengan bersama mereka membuatku merasa nyaman untuk membicarakan semua tentangku. Sekali lagi kukatakan dengan jelas dan dengan senyuman di wajahku.

"Terima kasih, ya."

Seketika mereka bertiga menjadi diam. Mereka tercengang seperti melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya, sesuatu yang menakjubkan dan membuatku bingung.

"Hm? Kalian kenapa?"

"Ah, nggak ada apa-apa. Ya, kan, Sumire?"

"Iya, nggak ada apa-apa kok. Ya, kan, Izumi?"

"Ya. Nggak ada apa-apa, kok."

Kenapa tingkah mereka menjadi aneh seperti itu, ya?

Entahlah, aku tidak paham. Mereka saja tidak tahu kenapa bisa tercengang seperti itu.

"Oh iya, mau makan kue yang dibawa Shimizu-san?"

"Mau," jawab mereka secara serentak.

Akhirnya, kami memakan kue yang dibawa Shimizu-san sampai habis. Setelah itu, mereka bertiga meninggalkan kamarku untuk kembali ke rumah mereka masing-masing.

Kari yang dibuat tadi masih tersisa banyak. Dengan begitu, aku tidak perlu memasak beberapa hari kedepan. Aku hanya perlu memanaskan kari ini untuk makan.

Hari sangat menyenangkan. Aku tidak menyangka kalau di kamar yang kecil ini, aku bisa makan bersama dengan tiga orang lainnya.

Satu per satu harapan dan doa yang kupanjatkan saat mengunjungi Meiji Jingu mulai terkabulkan.

Sekarang, aku harus menjadi orang yang bisa diandalakan oleh teman-temanku. Oleh karena itu, aku harus berusaha dan bersemangat.

Ibu dan ayah, aku tidak sendirian lagi. Sekarang, aku sudah mempunyai teman yang mempercayaiku dan ada teman yang mulai mengandalkanku. Apakah kalian melihatnya dari atas sana?

Waktu terus berlalu dan sekarang sudah malam.

Besok sudah hari Senin dan aku akan kembali bersekolah.

Aku mulai menyiapkan semua untuk kegiatan belajar di sekolah besok karena hari ini aku sangat senang. Perasaan ini tidak tertahankan sehingga membuatku membuka buku untuk belajar.

Semoga hari esok menyenangkan.