Chereads / Hans, Penyihir Buta Aksara / Chapter 76 - Aksara 42a, Perpustakaan

Chapter 76 - Aksara 42a, Perpustakaan

Hans mengambil buku itu, berjalan ke arah meja kayu yang memang sudah disediakan, letaknya berada di ujung lorong.

Hans yang berjalan sambil membaca buku mengangkat kepalanya saat ia sampai, menemukan ada orang lain di sana.

Seorang anak perempuan, anak sebayanya. Hans tidak bisa melihat wajahnya karena tertutup buku, tapi ia bisa membayangkan wajah serius di baliknya.

Di bawah sinar lampu berwarna oranye, seorang gadis dan tumpukan buku terekam di benak Hans. 

Ia mulai membuka halaman demi halaman.

Elves dan Pengobatan

#Jurnal hari pertama#

Aku tersadar di dalam rumah pohon, suara air menghujam bumi terdengar keras, sepertinya aku dekat dengan air terjun.

Ingatan terakhirku, adalah ketika aku menyelamatkan elf kecil dari serangan makhluk magi.

Aku tidak dapat berdiri, tubuhku seakan remuk. Namun aku bisa merasakan tubuhku di balut kuat, aroma menusuk dapat ku rasakan.

#Jurnal Hari Ke Sebelas#

Elves atau elf merupakan makhluk yang dekat dengan alam dan hutan. Mereka enggan menggunakan tumbuhan dan tanaman obat, karena mereka bisa merasakan perasaan serta mendengarkan suara tumbuhan. 

Bukan, lebih tepatnya mereka bisa berkomunikasi dengan tumbuhan dan para elemental. Hal ini aku ketahui ketika bocah elf yang aku selamatkan membawaku keliling desa mereka, bocah itu bernama Niscalas, ia anak kepala Desa. Desa yang menggantung di pohon-pohon raksasa. 

Tangan Hans semakin cepat membalik lembar demi lembar buku itu, ia mendapat banyak informasi penting. Ia terkejut mengetahui elf bisa berkomunikasi dengan tanaman.

#Jurnal Hari Ke Lima Belas#

Hari itu aku tengah membantu seorang elf yang terluka, namun datang dari jauh kerumunan elf pemburu, membawa seorang elf yang memiliki luka menganga.

Aku memiliki sedikit masalah berkomunikasi, karena mereka menggunakan bahasa Eden Kuno. Daratan Sylivian dahulu dikenal sebagai daratan Eden dan semua makhluk menggunakan satu bahasa yang sama.

Karena masalah komunikasi tidak diijinkan ikut, mereka membawanya ke pohon besar di bawah air terjun, pohon itu berada di tengah muara air terjun. 

Aku tinggal di dalam rumah gantung, tempat mereka merawat anggota suku yang sakit. Ketika tengah membereskan tempat itu, Niscalas datang sambil berbisik,"ssst!" Aku menoleh, ia memberi isyarat, mencoba menjelaskan maksudnya. Awalnya aku bingung, namun kemudian aku mengerti ia meminta aku mengikutinya. 

Kami tiba di tempat upacara, aku bersembunyi di antara akar-akar pepohonan. Niscalas berada di sampingku.

Upacaranya dimulai, pohon di tengah muara tiba-tiba bergerak, sebuah wajah muncul di tengahnya. Hanya satu kata yang terlintas,

Treant! Suku pepohonan!

Aku terkejut, namun hal yang terjadi membuatku lebih terkejut, sang Treant menggoyangkan carang-carang miliknya, memanggil satu pohon besar lain, yang kemudian berjalan dengan akarnya. Akar-akar itu bergerak seperti cacing yang melompat dari tanah.

Kedua pohon itu kemudian bersinar, akar-akarnya menempel pada bagian perut yang menganga itu, aku bisa melihat pohon itu kemudian mulai layu dan mengecil hingga menjadi dua biji kecil.

Sungguh mencengangkan…

Hans terus membaca, mendapat informasi kesehatan lintas spesies. Hanya memakan waktu sepuluh menit, buku dengan enam puluh halaman itu habis.

Hans menutup buku itu, ketika ia mengangkat kepalanya, ia terkejut, melompat ke belakang berusaha menarik pedang dari pinggangnya. Sayangnya, tidak ada pedang di sana. 

Wajah sang gadis cantik itu muncul, yang selanjutnya membuat ia terdiam. 

"Mata yang indah…" Hans berbisik tanpa sadar, hal itu membuat wajah gadis itu memerah. Kemudian menutup wajahnya dengan tangannya.

Gadis itu kemudian tersadar, kemudian marah menjerit ke arah Hans, Hans menutup mulutnya.

"Maaf.. ada yang bisa aku bantu?" Tanya Hans malu, ia memandang lantai perpustakaan, menghindari kontak mata.

"Suara saat kamu membalikkan buku mengganggu aku!" Ujar sang anak perempuan itu. Tubuhnya seperti anak berusia tujuh belas tahun, tingginya hampir sama dengan Hans.

"Eh mohon maaf, aku terlalu asik membaca sampai lupa diri!" Hans memberi hormat, sambil membungkuk dengan tangan kanan di dada dan tangan kiri di belakang, khas para bangsawan utara.

"Membaca? Kamu membaca secepat itu? Tidak mungkin, kau pasti berpura-pura, karena buku itu membosankan, kau mencoba menipu orang lain seakan kamu membaca! Iya kan?!"

"Pasti kamu kemari karena ayahmu menghukum dirimu!" Ujar Gadis itu. Wajahnya kian dekat pada Hans yang berada di depannya. Membuat Hans perlahan mundur, gadis itu maju hingga akhirnya Hans terpojok.

"Tidak, bukan begitu, aku benar-benar membacanya. Dan aku tidak dihukum ayahku, aku berharap merasakan ia menghukumku, sekali saja…" Ujar Hans separuh berbisik.

"Hah?! Kamu aneh, masak ingin dihukum?! Apakah ayahmu terlalu baik sampai tidak mau menghukum dirimu?" Tanya Sang gadis lagi, semakin penasaran. 

"Bukan, bukan tidak mau, ia tidak bisa. Bagaimana orang yang sudah meninggal bisa menghukum? Aku yatim piatu nona." Hans menjawab sambil tersenyum tulus, di sudut matanya tersirat kesedihan.

"Hah! Maaf.." Ia memekik kecil, kemudian sang gadis menunduk, wajahnya memerah lagi.

Hans hendak menjawab, namun ia terhenti karena gadis itu memeluknya. 

"Tidak apa-apa, kau pasti akan baik-baik saja. Aku juga kehilangan ibuku ketika dia melahirkan aku, jangan menangis ya!" Sambil menepuk punggung Hans seperti seorang kakak mencoba menenangkan adiknya, dan jelas gadis itu menangis.

Hans merasa aneh, ia merasakan kehangatan kepedulian yang tulus namun juga ingin tertawa karena gadis ini terlalu polos. 

"Ehm.. Nona aku pikir Anda tidak seharunya melakukan hal ini di tempat umum, apa lagi dengan orang asing. Bagaimana bila ada orang lain yang melihat?" Ujar Hans pelan.

Wajah gadis itu kian memerah,"Eh, maaf, maaf!" Melepaskan Hans seakan-akan ia adalah barang haram ketika polisi melakukan razia.

"Eliane, kau bodoh sekali!" Gadis itu berbisik pelan namun Hans tetap bisa mendengarnya. Hal itu membuat Hans lagi-lagi hendak tertawa.

Hans menutupi mulutnya dengan tangan kanan, menarik buku secara acak dari rak. 

Dengan buku di tangannya, ia memandang gadis yang kini berbalik membelakanginya. 

Hans tersenyum, ia berjalan mendekat dan menepuk pelan pundak kanan sang gadis, namun memposisikan dirinya di sebelah kiri sang gadis.

Sang gadis berbalik dan menemukan tidak ada siapa-siapa,"Ehm! Aku di sebelah sini nona!" 

"Eh!! Aduh.. maaf!" Kali ini wajahnya sangat merah seperti tomat, sifat jail Hans seperti kembali lagi.

"Hahaha.. " Hans tertawa.

"Ehm?! Kamu!" Gadis itu melotot ke arah Hans.

"Maaf aku hanya bercanda, perkenalkan namaku Hans.." Hans berusaha mengganti topik dengan mengulurkan tangannya.

"Huft! Sebel!" Gadis itu tidak meraih tangan Hans, ia justru lari ke arah meja, tempatnya duduk.

Hans mematung, kemudian tersenyum, kemudian berbalik. Berjalan kembali ke arah meja dan duduk.

Hans duduk, namun di bangku di seberang bangku sang gadis sedang duduk.

"Mau apa?!" Gadis itu menyalak kesal, bersembunyi di balik buku yang ia baca.

Hans menggaruk kepalanya,"Woah, pengaruh hati terhadap kekuatan Aksara?!

"Hati yang dimaksud pasti ketetapan hati, dan bukan organ tubuh manusia."

"Kekuatan sebesar apapun tak akan berarti bila engkau tidak mempercayainya!" Ujar Hans lagi, ia berdiri dan berjalan melewati sang gadis

Hal itu membuat gadis itu menggeser sedikit bukunya dan menoleh untuk melihat Hans, ketika ia berbalik Hans juga berbalik, sang gadis buru-buru membalikkan kepalanya.

Sang gadis kemudian bertanya,"Kenapa bukan hati organ manusia?!"

Hans kemudian berhenti, dan melihat sang gadis,"Aku Hans, nona siapa?!"

Hans membungkuk dengan sopan, mencoba menirukan pria-pria di bar yang pernah ia lihat.

"Namaku Eliane, Eliane Nayara!" Gadis itu menjawab sambil menunduk malu, wajahnya memerah, membuatnya semakin cantik.

"Hati manusia adalah tempat darah dipompa ke seluruh tubuh, namun jiha mengalir melalui uma dan tali-tali jiha.

"Sedangkan hati atau ketetapan hati yang dimaksud berbicara soal tekad dan kepercayaan kita. Hati yang dimaksud adalah roh manusia, roh manusia memiliki pengaruh besar pada kekuatan jiha.

"Permasalahannya, mempelajari hal ini tanpa guru itu sangat berbahaya." Jelas Hans sembari menatap gadis itu. 

"Jangan pernah mencoba hal ini tanpa pengawasan, lagi pula dari semua buku yang ada di tempat ini, kamu mengambilnya pasti ada alasannya kan?" Tanya Hans, berusaha mencari informasi dari raut wajahnya.

"Rahasia.." Ujarnya sambil menjulurkan lidah meledek.

"Baiklah!" Hans kemudian berdiri, berlagak akan pergi.

"Eh mau kemana?" Tanya Eliane.

"Katanya rahasia? Aku mau lanjut membaca.." Ujar Hans menguap, berpura-pura berbalik. Eliane terdiam.

"Baiklah-baiklah tapi jangan bilang siapa-siapa ya!" Ujar Eliane.

"Nona, kau benar-benar polos sekali, sigh.."

Hans merasa bersalah dalam hatinya, dan memutuskan untuk berhenti mengerjainya.

"Haha.. aku hanya bercanda Nona Eliane, meskipun kamu percaya padaku sepertinya hal itu adalah keputusan yang kurang tepat. Kita baru bertemu hari ini kan??" Ia tersenyum sambil menggaruk belakang kepalanya, kemudian berbalik. 

"Eh?!" Terkejut, wajah Eliane kembali memerah. 

"Lalu kau mau kemana?!" Tanya Eliane memberanikan diri. 

"Aku akan mengambil buku lagi, buku yang ku baca tadi sudah selesai ku baca, kau lupa?!" Hans mengangkat buku di tangannya dan tersenyum

Ia berbalik sambil terus berbicara,"Aku hanya memiliki waktu tiga bulan, jadi aku harus membaca buku sebanyak-banyaknya."

Hans kemudian mengambil buku secara acak, kali ini ia mengangkat lebih dari dua puluh buku. Ia menarik keluar satu baris panjang, dan mendekapnya dengan kedua tangannya. 

Eliane tersentak, kaget melihat hal yang ia lakukan,"Tiga bulan? Kau akan masuk akademi Pantheon juga? Kau perlu bantuan?!" 

Hans menggeleng dan tersenyum,"Aku bisa melakukannya, oh iya setahuku nama akademi itu akademi militer. Apakah ada dua akademi yang melakukan penerimaan siswa?" 

Eliane menggeleng,"Bukan, akademi Panthoen adalah akademi yang di bangun oleh aliansi petinggi agama, knowledgia dan juga militer. Semua lulusan mereka harus mengabdi dahulu pada militer selama satu tahun atau mengumpulkan poin kontribusi sesuai nilai tertentu baru bisa lulus. Hal itu membuat orang-orang lebih menyebutnya sebagai akademi militer.

"Oh iya Hans, kau bisa masuk ke tempat ini, kau pasti anak-anak bangsawan atau keluarga kerajaan. Tapi mengapa aku tidak pernah bertemu denganmu di pertemuan para bangsawan?!" Tanya Eliane curiga, memegang dagunya. 

Rambut ikal dan mata indah Eliane terlihat seperti sedang berpose untuk pemotretan, membuat Hans terdiam beberapa saat.

"Hei Hans ada apa?!" Tanya Eliane, melihat Hans berdiam diri. 

"Eh?!" Hans tersipu, malu, meskipun Eliane tidak menyadari apa yang terjadi, Hans berjalan mendekat sambil menggeleng.

"Dia benar-benar meninggalkan kesan, sigh.."

"Aku baru kembali dari Elim, aku besar di sana. Sungguh aneh rasanya, aku dulu begitu membenci orang kaya, kini aku menjadi sama seperti mereka-" Belum lagi ia menyelesaikan penjelasannya, suaranya kemudian meredup.

"Elim? Whoaa kau dari tempat yang jauh ya?! Aku ingin sekali melihat dunia luar, tapi ayahku pasti tidak mengijinkan." Wajah Eliane terlihat kesal.

Hans tidak menjawab, ia sudah kembali membaca dengan kecepatan tinggi. Eliane hendak marah, ia berdiri, hendak merebut buku yang Hans baca, namun melihat wajah serius Hans ia terdiam, kemudian tersipu. 

Ia tidak duduk, melainkan melihat mata dan ekspresinya. Entah ini rasa yang normal atau tidak, keduanya tidak menyadarinya. Hanya saling mencuri pandang sambil membaca. Oh, maksudnya Eliane mencuri pandang, sebab Hans seperti kesetanan, ia membaca tanpa henti. 

Tak lama sore menjelang, keduanya hanya berbicara di jeda ketika Hans mengambil buku baru. Hari itu ia berhasil membaca hampir seratus buku. Eliane menggeleng, tak dapat mencerna apa yang tengah terjadi. 

Hans disisi lain, ia merasa hal itu adalah hal yang biasa. Ingatan eidetik membuatnya membaca tak ubahnya komputer yang melakukan proses scanning, ia hanya perlu mengingat judul buku dan nomor halaman. Tentu ia harus memproses semua pengetahuannya lagi di rumah, jadi ia membaca sebanyak-banyaknya dan mencerna informasi itu.

Eliane membereskan buku dan catatannya, sedangkan Hans tidak membawa apa-apa. Keduanya berdiri bersamaan dan Eliane menunduk.

"Hans, kita akan bertemu lagi kan? Kamu ma.. mau jadi temanku?" Ujar Eliane terbata, mukanya memerah dan kepalanya masih menunduk. 

"Nona, berbicara tanpa kontak mata itu tidak sopan loh. Tentu saja, aku akan berada di sini sampai tiga bulan ke depan."

"Tentu saja aku mau, menjadi teman nona manis seperti Anda adalah kehormatan!" Hans mengayunkan tangan dan membungkuk, tangan kirinya menempel di punggungnya. 

Entah mengapa di dekat Eliane, Hans merasa seperti dahulu ketika ia berada di Elim. Bebas dari keresahan dan hidup seperti siapa dia sebenarnya. 

"Ehm.. baiklah sampai bertemu!" Eliane bergegas, seakan terburu-buru karena merasa canggung. 

Tanpa sadar ia tergelincir, dengan sigap Hans langsung menangkapnya. 

"Ouch! Hati-hati yaa!" Hans kemudian membantunya berdiri dan mengelus kepalanya, seperti ia memperlakukan adik-adiknya di panti asuhan dahulu.

"Ah! Terimakasih!" Eliane berlari seperti kijang kehausan melihat aliran sungai. Hans tertawa terbahak, ia kemudian menyusun kembali buku yang ia ambil.

Menyilangkan tangannya dan berjalan naik sambil bersiul.