Chereads / Senja di Atap Kirara / Chapter 3 - Awal Kedekatan

Chapter 3 - Awal Kedekatan

Pagi itu sedikit mendung, awan-awan menutupi matahari hingga keadaan nyari gelap. Aku memarkir sepeda motorku dan membungkus helm agar kering jika hujan mendadak turun.

Kusampirkan tas di pundakku dan bergabung bersama kerumunan murid-murid yang menuju kelas masing-masing. Aku baru saja akan mencemaskan bagaimana reaksi seluruh orang saat namaku diumumkan di tengah upacara. Simulasi Sains diadakan di setiap sekolah yang bertujuan untuk mencari siswa-siswa berprestasi untuk di kirim ke olimpiade antar negara. Pesertanya kebanyakan kelas dua dan tiga, yang jika mendapat peringkat tertinggi antar provinsi akan mengikuti pendidikan privat selama tiga bulan sebelum mengikuti Olimpiade Sains. Selama tiga kali ujian eliminasi, sekolah kami meraih lima dari sepuluh peringkat teratas sehingga pihak sekolah berhak mengirimkan tiga peserta terbaik.

Aku masih ingat jelas ketika Pak Dedi memberitahuku bahwa kemungkinanku terpilih sangat kecil karena posisiku selalu di antara 10 hingga posisi ke 15. Lagipula, tujuan awalku bergabung cuma karena aku ingin bisa melihat Rangga lebih dekat. Aku sudah cukup senang saat dia tersenyum padaku ketika membagikan kertas materi ujian. Dan aku sama sekali tak ingin merusaknya dengan menjadi peserta dengan nilai tertinggi, mengalahkan Rangga yang berada di posisi itu selama 3 kali berturut-turut.

Tapi apa dayaku ketika upacara berlangsung khidmat, membuat kepala sekolah berpidato dua kali lebih lama karena cuaca sedikit mendung. Nyaris tak ada yang peduli sebenarnya, ketika petugas upacara mengumumkan selesainya prosesi upacara hari itu dengan intonasi datar. Tetapi Pak Dedi buru-buru meraih mikrofon dan dengan tegas menyuruh seluruh siswa untuk tetap di tempatnya sementara beliau berdiri di sebelah kepala sekolah dengan sebuah kertas di tangan kirinya.

"Hari ini dengan bangga saya umumkan bahwa hasil simulasi Sains telah dikirim dari pusat. Peraih skor tertinggi datang dari sekolah kita, yang sekali lagi membuat saya bangga, dan tidak hanya itu, tiga posisi teratas juga diraih oleh sekolah kita sehingga dengan senang hati saya umumkan ketiga siswa ini berhak mengikuti olimpiade antar negara yang akan berlangsung di Kuala Lumpur tiga bulan lagi."

Aku mengintip di antara bahu siswa-siswa di depanku, memperhatikan wajah puas Rangga saat ia mendengar dengan seksama seluruh perkataan Pak Dedi.

"Peringkat ke 3 dengan hasil skor 901 diraih oleh Aditya Gunawan kelas 11-A. Silahkan maju ke depan, nak." Gemuruh tepuk tangan memenuhi lapangan upacara. Beberapa siswa menepuk pundak Aditya dan mengucap selamat padanya.

Aditya berdiri di tengah, sesuai arahan Pak Dedi dengan senyum bangga menghiasi wajahnya.

"Peringkat ke 2 dengan hasil skor 933 diraih oleh Rangga Dwi Sasongko kelas 12-A!"

Kali ini tepukan tangan bercampur dengan raut bingung. Hampir semua murid mengernyitkan kening dan kebanyakan mereka mencari-cari Rangga, yang berdiri dengan ekspresi tak percaya. Bukan rahasia umum lagi bahwa Rangga selalu dijagokan dalam hal apapun. Nyaris tak ada yang percaya bahwa Rangga bisa bergeser ke posisi kedua, karena seluruh siswa dan guru-guru sudah terbiasa mendengar betapa Rangga selalu meraih posisi tertinggi di segala bidang perlombaan.

"Silahkan maju ke depan, nak. Kemarilah." Pak Dedi mengisyaratkan tangannya untuk memanggil Rangga mendekat.

Kulihat Rangga sempat ragu beberapa detik sebelum melangkah, agaknya ia berharap Pak Dedi mengoreksi ucapannya bahwa Rangga seharusnya mendapatkan posisi pertama. Tetapi detik-detik untuk mengoreksi telah lewat dan Rangga menelan kekalahannya dengan tabah. Diganti ekspresi wajahnya dengan senyuman berbesar hati dan tepuk tangan kembali meledak di lapangan.

Pak Dedi menatap Rangga dengan senyuman menyayangkan. Beliau buru-buru berbalik dan membacakan pengumuman terakhir yang sekarang ditunggu dengan penuh minat oleh semua orang. Aku menelan ludah, berharap waktu berhenti seperti ini selamanya, atau setidaknya rombongan besar alien datang tepat waktu untuk menculikku dari detik-detik mematikan ini.

"Peringkat pertama, dengan hasil skor 953 diraih oleh siswi kelas 12-B, Kirara Aulia Effendy!"

Aku yakin, lebih dari separuh sekolah atau mungkin hampir 90% dari isi sekolah baru pertama kali ini mendengar namaku dan menyadari eksistensiku. Mereka melongokkan kepala, mencari-cari siapa pemilik nama yang diucapkan Pak Dedi di antara barisan murid-murid kelas 12-B. Ketika seluruh murid di kelasku berbalik untuk menunjukkan wajah kaget mereka dan ketika Dea menyikut rusukku dengan penuh semangat, aku tahu aku tak punya pilihan lain selain berjalan dengan langkah lunglai ke tengah lapangan. Kutatap kakiku yang menjejak dengan enggan, menghindari seluruh mata orang-orang dan memilih kabur dari raut wajah Rangga yang pastilah tak percaya sedikitpun.

Ketika sampai di sebelah Rangga, aku bisa masih menatap kedua kakiku yang membatu. Tak sepertiku, Rangga berdiri dengan penuh wibawa. aku melirik sekilas ke arahnya dan ia tampak tenang mendengar penjelasan Pak Dedi mengenai betapa bangganya sekolah memiliki murid2 seperti kami.

Seluruh murid dibubarkan tetapi Pak Dedi menahan kami lebih lama. Beliau mengajak kami masuk ke ruang guru dan di sana tepukan tangan dsri guru2 menanti kami. Kebanyakan guru menghampiri Rangga dan membelai kepalanya dengan sayang. Beberapa menepuk pundak Aditya, tetapi hanya satu orang yang menatapku dan berbicara langsung denganku.

"Bapak mengajarmu tiga tahun, nak. Tapi tak pernah nilaimu di atas rata-rata melebihi Rangga. Jujur saja, bapak sangat terkejut mendengar bahwa nilaimu yang paling tinggi satu sekolah!"

Beberapa guru mengangguk mengiyakan perkataan Pak Harry tetapi aku tak berniat membalas tuduhan atas pernyataan beliau sebab tak lama ia disanggah oleh Bu Ratna, wali kelasku.

"Tapi bukan berarti Kirara tidak berbakat, loh Pak Harry. Dia itu sebenarnya cerdas, walaupun kurang menunjukkannya. Saya sebenarnya yakin, kalau Kirara ini fokus dengan tujuannya, dia bisa meraih posisi tertinggi."

"Menurut saya juga begitu," sambung Pak susanto. Beliau guru bahasa Inggrisku. "Saya mendapati Kirara sangat baik di bidang yang dia sukai. Kadang2 pikirannya teralihkan tapi bakatnya terlihat. Kirara masih SMA, potensinya masih begitu besar dsn bisa kita lihat hari ini, siapa yang menyangka dia bisa mengalahkan Rangga!"

Gumaman guru-guru kini berganti dengan senyuman menenangkan padaku. Mereka tampaknya mulai menyetujui kenyataan bahwa aku membuat murid favorit merek lengser dari posisi teratas. Pak Dedi kemudian menyela semua perhatian dengan berdeham di hadapan kami.

"Nah, jadi, ayo, para juara saling berjabat tangan. Mulai besok kalian akan menjadi tim sekaligus pesaing. Jadi siapapun yang menang tentunya akan mengharumkan nama bangsa dan sekolah kita. Bapak harap kalian bisa saling membantu selama proses pembelajaran."

Aku mendengar Rangga berjaabat tangan dengan Aditya, keduanya mengatakan "good luck" tanpa canggung karena baik Rangga dan Aditya sebenarnya berada dalam komite OSIS. Dan keduanya berbalik kepadaku. Aku mendapati sepasang mata Rangga menatapku penuh minat dengan senyuman terukir di wajah tampannya. Ia menyodorkan tangan kanannya padaku.

"Well done, Kirara. Gue tau lo berbakat. Jadi, mohon bantuannya tiga bulan ke depan, ya." Ucap rangga manis. Aku melirik ke arah guru-guru yang juga tersenyum dan menantikan jawabanku.

"Uhm.. iya.. sama-sama.." kataku dengan suara serak. Aku menyambut uluran tangan rangga dengan gemetaran dan kurasakn telapak tangannya yang besar dan hangat seakan membungkus ketakutanku dalam diam. Aku tak ingin melepaskannya tapi bukan hal yang bagus untuk melakukan itu di depan para guru.

Aditya kemudian maju dan menyodorkan tangannya juga. "Good luck ya, Ra. Kita saling bantu."

Aku menjawabnya dengan erangan lemah dan anggukan secepat kilat. Lalu buru-buru mendengar penjelasan Pak Dedi mengenai hal2 yang berhubungan dengan pelajaran kami besok. setelahnya, kami diizinkan untuk kembali ke kelas masing-masing untuk mengikuti pelajaran atau malah ke kantin untuk sekedar bersantai. teknisnya, kami tak lagi diharuskan untuk memikirkan apapun selain olimpiade di depan kami.

Ketika beriringan di depan ruang guru, Rangga berhenti dan menatapku dan Aditya bergantian. "Well, berhubung kita dibebastugaskan dari semua PR, gue mau ngasih tau ke kalian kalo ntar malam ada 'party' kecil-kecilan di rumah gue. sekedar syukuran gitu untuk ngerayain pencapaian kita hari ini. Jadi gue harap kalian bisa datang."

"Wow," komentar Aditya dengan alis terangkat. "Jam 7 kan? I'm in."

Rangga tersenyum kecil. "Lo bisa datang, kan, Ra?" tanyanya padaku. Aku tak segera menjawab, kenyataannya otakku macet saat ia menatapku dengan penuh permohonan. Aku ingin sekali mengabadikan wajahnya yang seperti anak-anak ini. "Lo boleh bawa temen atau pacar kok. Yang penting kita bertiga bisa ngumpul."

ingin sekali kukatakan bahwa aku tak punya pacar. Belum pernah malah. Seumur hidupku aku hanya jatuh cinta dengan satu orang dan pria itu bahkan tak pernah tahu bahwa aku mendambakannya begitu lama.

Sebagai jawaban, aku mengangguk pelan dan kulihat wajah Rangga yang tersenyum lebar. Ia mengangguk dan menepuk pundakku dua kali sebelum pergi bersama Aditya ke arah kantin. Pundakku rasanya ringan. Aku suka sekali sentuhannya dan diam-diam berharap bahwa kedekatan kami bisa lebih dari sekedar tepukan di pundak dan jabatan tangan.

Bisakan, aku berharap walau kemungkinannya lebih kecil dari ukuran sel-sel di tubuhku?