Aku berhasil membujuk Dea untuk ikut denganku. Ia memang menanggapinya dengan separuh hati tapi toh tetap saja datang menjemputku dengan mobil ayahnya. Dea tampak manis dengan baju kodok yang menutupi kemeja lengan panjang miliknya. Ia menguncir rambutnya ke belakang dan memakai jepitan di dekat telinga, membuatnya kelihatan semakin imut.
Dea melihatku dan mengernyit bingung. "Serius lo mau pake itu? Kita ini mau party apa ke acara sunatan sih?"
Aku melihat ke bawah, mengamati baju kaftan putih yang menutupi seluruh badan meski aku tak menutup rambutku. Hiasan yang melekat di bagian dada hanya berupa rimpel kecil dan nyaris tak terlihat.
"Tapi kata Rangga acara syukuran gitu.."
Dea memutar bola matanya kesal. "Kalo yang ngundang Pak Dedi ya kemungkinan pake yasinan atau sholawatan, Ra. Tapi ini kan Rangga, ketua OSIS paling gaul dan paling terkenal. Masa iya dia syukuran pake pengajian?"
"Tapi.."
"Bagusan lo ganti deh, cepet. Atau kalo takut lo bawa aja itu kaftan emak lo buat cadangan di mobil. Pokoknya gue gak mau nganterin lo kalo pakaian lo kayak mau foto lebaran aja."
Aku kembali ke rumah dan segera mengganti baju dengan amat sangat tergesa-gesa sebab Dea tak berhenti membunyikan klaksonnya. Dan ketika aku keluar untuk kedua kalinya, Dea kembali mendecak geram. Ia akhirnya turun dari mobil dan berkacak pinggang di depanku.
"Lo emang kudet banget sih, Ra? Sini deh gue benerin. Lagian lo kenapa pake baju putih lagi? Jangan bilang lo sebenernya mau pesta sama mba kunti."
Aku menyerah dan membiarkan Dea memasukkan kemejaku ke dalam sela-sela jeans yang kupakai. Membuka dua kancing teratas kemejaku, menggulung lengan kemeja hingga ke separuh siku dan bahkan menggulung celana jeansku hingga ke atas mata kaki. Ia berhenti dan memperhatikanku beberapa saat lalu masuk ke dalam mobil dan mengambil seutas kalung bohemian rumbai dengan hiasan manik-manik sederhana dan menyematkannya di leherku.
"Nah, udah oke deh kayak gini. Untung lo pake sepatu flat. Oya, ntar di jalan lo blow rambut lo pake blower portabel gue di mobil. Biar pas nyampe di rumah Rangga lo udah cantik."
"Aduh Dea, gue buat apa cantik-cantik gitu? Yang ada ntar diketawain sama yang lain.."
Dea mendelik kepadaku sementara ia menyalakan mobilnya. "Lo kan yang harus jadi bintang tamu utama di sana, Ra. Lo yang jadi juara satu sekolahan kan? Ini kesempatan lo buat bisa lebih dekat sama Rangga. Masa lo mau tunjukin kecupuan lo di depan dia? First Impression is all the matter!" tandasnya menggebu-gebu. Aku nyaris meledak tertawa dan bertanya-tanya dalam hati, sejak kapan Dea bertekad menjadi mak comblangku?
Tapi kemacetan menyambut kami malam itu dan kami telat hampir satu jam setelahnya. Dea tak menggubrisku yang mulai resah, berulang kali melirik jam tangan dan menatap panik ke arah mobil-mobil yang terjebak macet di depan kami. Sebaliknya, gadis itu bersiul rendah mengikuti lagu yang diputar di radio. Beberapa kali Dea menenangkanku, mengatakan bahwa pesta ala anak SMA memang selalu di mulai lebih lambat. Tapi sejak ini adalah pesta 'gaul'ku dan terlebih tak ingin membuat kesan buruk pada Rangga, aku sama sekali tak bisa tenang hingga kami tiba di depan pagar rumah Rangga.
***
Dua orang satpam menyambut kami di depan pagar. Dea langsung menurunkan kaca mobilnya dan tersenyum ramah.
"Punten, aya naon teh geulis?" tanya salah satu satpam.
"Misi om, kita diundang Rangga ke pestanya," sahut Dea lancar. Kedua satpam mengangguk dan tersenyum lalu segera membuka pintu pagar.
Ternyata rumah Rangga begitu luas dan besar. Jarak antara pagar dan bangunan utama nyaris mencapai 500 meter. Taman-taman di kanan dan kiri menjadikan rumah itu bak cerita dalam dongeng-dongeng. Ada air mancur dengan patung malaikat kecil berambut ikal yang tengah menuangkan kendi air di tengahnya, dilengkapi dengan lampu-lampu yang menyorot dari bawah. Tapi ada yang aneh, sama sekali tak tampak keramaian ataupun tanda-tanda kehadiran anak-anak lain di depan pintu utama rumah. Hanya ada dua orang satpam lagi yang berdiri di dekat pilar teras parkiran rumah.
"Pestanya di belakang, neng. Ikutin aja jalan ini, ntar mentok di belakang trus di sana ada yang ngurusin parkiran, kok," jelas satpam sambil tersenyum.
Dea mengucapkan terima kasih dan mengikuti petunjuk satpam tadi. "Gila," katanya menggeleng tak percaya. "Ini kalo mau maling kayaknya keburu dehidrasi deh. Luas amat rumahnya Rangga! Bekas istana Belanda kali ya?"
Aku mengangguk menyetujui dengan gugup. Isi perutku rasanya naik ke tenggorokanku saat melihat kerlip lampu-lampu di ujung jalan. Ternyata sudah banyak mobil yang terparkir dan musik mulai terdengar riuh ketika kami tiba di sana.
Dea memarkirkan mobilnya dengan cepat dan kami menatap canggung ke arah kerumunan. Pestanya tampaknya tak hanya di gelar dalam ruangan tetapi juga di luar sebab begitu banyak meja-meja berisi makanan dan beberapa stereo di letakkan di sekitar kolam. Lampu-lampu disko memantul dari dalam rumah memantul pada genangan air kolam yang berada persis di depan jendela rumah. Aku menghitung jumlah tamu dan kehilangan arah setelah mencapai 40 orang. Tentu saja ini bukan pesta kecil-kecilan seperti yang dikatakan Rangga pagi tadi, kecuali maksudnya jika dibandingkan dengan pesta pernikahan Pangeran William dan Kate Middleton.
"Untung lo ga ngotot mau pake kaftan itu deh, Ra." Dea nyengir melihat wajahku yang memutih. "Bayangin kalo lo muncul siap untuk baca Yasin!"
Aku mengacuhkan tawanya yang berdering keras dan berusaha menatap kakiku saat beberapa orang memandang kami heran. Tapi dengan segera tawa Dea membawa Rangga padaku, maksudku, pada kami.
"Hai, Ra. Makasih udah dateng ya!" Rangga tersenyum lebar padaku sementara suaraku hilang entah kemana. "Dan lo... Dealovita kan?"
"Yep, panggil aja Dea." sahut Dea sambil menjabat Rangga. "Eh, gila ga sih, rumah lo gede banget! Hampir aja gue baca doa takut diculik wewe gombel tadi!"
Rangga meledak tertawa dan menepuk bahu Dea satu kali. "Sori, sori. Tadinya mau buat di rumah tapi hari ini orangtua gue di rumah makanya gue pindahin ke sini. Agak kecil ya? Tapi udah gue atur supaya nyaman sih, mudah-mudahan kalian nyaman."
"Loh, emang ini ga termasuk rumah juga?"
Rangga menggeleng. "Ini tuh tadinya gudang, dulu sih sempat jadi tempat tinggal pembantu tapi udah lama kosong. Jadi setahun ini udah gue renov dikit-dikit biar agak lapang dan ga malu-maluin kalo ngundang anak-anak." Jelasnya sedikit tersipu.
Kali ini ganti Dea yang menggeleng. "Kalo gue malingin rumah lo trus sembunyi di sini, mungkin ga ada yang tau, kali ya?"
Rangga tertawa lagi tapi ia beralih padaku yang masih membisu. "Menurut lo gimana, Ra? Oke nggak?"
Aku tak siap di hujani tatapan penuh tanya dari Rangga. Kedua matanya membulat sempurna, seakan bocah lima tahun yang menanti permen dengan penuh harapan. Aku ingin mengatakan bahwa tempat ini hebat, keren, gaul dan memuji kepintarannya yang memiliki ide untuk menyulap tempat ini menjadi begitu bagus, tapi lidahku kelu. Aku bahkan tak bisa melihat ke arah lain selain kedua matanya yang memandang meminta persetujuan.
Saat aku melewatkan tiga detik yang terasa seperti seratus abad, Dea menyenggol lenganku dan berkata dengan nada usil. "Eh, Ra, jawab dong. Tersepona gitu ngeliatin Rangga.." ujarnya terkekeh.
Segera kupindahkan tatapanku ke bawah dan berusaha tak terlihat konyol di depan Rangga. Tetapi ternyata Dea tak berhenti sampai di situ. "Ganteng ya, Rangga?"
Aku melirik Rangga satu kali, melihat wajahnya merona ketika aku refleks menjawab "ya" dengan suara serak. Ia melemparkan senyum dan balas menggodaku. "Lo juga cantik hari ini, Ra." dan aku teramat yakin wajahku tak bisa lebih merah daripada ini.
"Come on, girls. Masuk dan enjoy the party! Gue yakin banyak yang kalian kenal kok. Rata-rata dari sekolah kita dan beberapa temen SMP gue.. Ah, itu dia salah satu temen dekat gue dari SMP.. OY, GY!"
Teman Rangga yang ia tunjuk itu menoleh dan berjalan mendekati kami. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dari Rangga dan rambutnya berwarna coklat muda dipotong model bob, jatuh lurus dan berkilau tertimpa lampu-lampu. Matanya bulat dan senyumnya manis sekali. Kulitnya juga lebih putih, terlihat kontras dengan anting hitam di telinganya.
"Kenalin, ini temen gue, Kirara. Doi juara satu simulasi satu sekolahan gue. Dan di sebelahnya Dea, temen gue juga."
Dadaku rasanya penuh sesak saat mendengar Rangga memujiku dengan bangga, membuatku mau tak mau tersenyum ketika pria itu mengulurkan tangannya dan menatapku takjub.
"Aw, man. Jarang banget ada yang ngalahin Rangga!" serunya tak percaya. "By the way, gue Egy. Pleasure to meet you. And i have to admit that you didnt look like a nerd who loved doing physic, way more beautiful than that!"
Aku tak tahu harus merespon seperti apa ketika Egy memujiku seperti itu tetapi untungnya Rangga langsung memotong. "Yeah, yeah, save your stupid words and dont even try to flirt her, kay?" katanya sambil tertawa.
Rangga kemudian menyeret Egy menjauh dari kami dan memaksa kami masuk ke lingkaran pesta, di mana ramai anak-anak yang mengobrol dengan sebuah gelas di tangan mereka dan mengikuti musik yang berdentum semakin keras.
"Nah, kan, gue bilang apa? Rangga sampe tersepona gitu ngeliat lo! Kan udah gue bilang lo harus keliatan cantik! sampe temennya juga main gebet aja, hahaha."
Kembali Dea menggodaku dan berulang kali mengatakan bahwa aku harus lebih percaya diri, mengingat besok pasti rangga akan menghabiskan waktu bersamaku seharian dan aku sama sekali tak boleh kelihatan cupu sedikitpun. Maka aku mencatat dalam hati untuk meminjam blower Dea sehari lagi sebelum membeli sendiri.
Kami baru akan berkeliling ke dekat kolam ketika ada sebuah suara yang setengah mengejek dan setengah tak percaya menyapa kami.
"Wow, coba lihat deh guys, dua anak cupu kesasar di sini!"
Aku dan Dea berbalik dan menemukan Leony dan gengnya tengah memertawakan kami. Tak pelak, beberapa anak-anak langsung mengamati dan berbisik-bisik saat Leony dkk menghampiri kami dengan wajahnya yang culas.
"Go to bed, miss winner. Lo ga cocok di sini, tau gak?"
***