Kami menyusuri jalanan St. Boulevard dengan pujian demi pujian dilontarkan oleh Carlos. Aku membiarkannya mengapresiasi kerja sama kami barusan dengan senyuman tipis di ujung bibir. Noah bahkan tergelak beberapa kali sambil mengemudi di sebelahku. Ia turut menambahkan bagian-bagian yg luput dari cerita Carlos.
Setelah beberapa saat, aku membiarkan kepalaku terkulai di dekat jendela, mengamati mobil-mobil yang bersisian di sebelah kami dan menikmati cahaya yang jatuh melewati jendela. Belum terlalu siang dan aku menyesal tak sempat makan apapun selain sebuah apel pagi tadi. Aku mulai melamunkan untuk berhenti di Wendy's dan membeli burger dan kentang goreng.
Noah kini mulai bersenandung pelan sementara Carlos mulai tenggelam dalam usaha pencariannya. Kami hampir sampai dan euforia melandaku. Aku nyaris menghubungi Mark ketika Carlos mendadak berujar ringan.
"Yah, setidaknya kita punya waktu dua minggu sebelum kembali ke Atlanta." Carlos masih mengutak atik laptopnya sementara aku dan Noah mendelik bersamaan.
"Kau bercanda!" sergahku cepat. "Tidak, tentu saja tidak. Aku harus kembali ke Ohio nanti malam, Carlos!"
Carlos bahkan tak mengangkat wajahnya. dengan santai ia merespon balik, "easy, Alyssa. Kepulanganmu sudah dijadwal ulang. Kevin baru saja menelpon pagi ini dan ayahmu sendiri yang memerintahkan untuk memperpanjang misi."
"Oh, yeah? Bagus sekali. Apa pendapatnya saat tahu anak gadis satu-satunya digantung terbalik oleh suaminya yang psikopat?" Kataku penuh penekanan. Aku benci memikirkan untuk terus bersama Noah selama dua minggu ke depan.
"Tapi kudengar kau menikmati ciuman Noah," ujar Carlos kalem dan Noah terkekeh geli.
Sudah cukup.
Ku tarik Glock 19 yang tersembunyi di bawah gaun di paha kiriku dan segera meletakkan lubang pistol itu di atas telinga kiri Noah. Pria itu terlihat santai, seakan aku baru saja menawarkan sandwich, bukannya hendak membunuhnya. Kini Carlos sepenuhnya memandangku. Alisnya berkerut sedikit dan akhirnya ia menghela napas panjang.
"Oke, baiklah. Aku akan memindahkan Noah ke San Francisco selama beberapa hari. Kau bisa tinggal di sini." Katanya hati-hati.
Aku belum memindahkan Glock ku dari kepala Noah sebab aku menyukai ketegangan yang ditimbulkan benda manis ini.
"Bagaimana kalau aku yg pergi sementara dia di sini?" Itu jelas bukan pertanyaan apalagi permintaan sebab aku menekan setiap suku kataku dengan nada penuh perintah.
Lagi, Carlos menghela napasnya. "Baiklah, kalau itu maumu, aku punya misi untukmu di sana. Tapi, kita sudah cukup membunuh hari ini, Al."
Aku melihat Noah juga ikut tegang menanti keputusanku. Dia pasti sama sekali tak menyangka keberadaan pistol ini di balik pahaku dan tahu ini ancaman baginya. Reputasiku terakhir membuat namaku sedikit diperhitungkan. Yah, membunuh seorang lelaki tambahan tak ada ruginya bagiku. meski ku akui, aku pasti mendapat masalah jika benar-benar membunuh Noah.
Kutarik kembali pistolku dan menyimpannya di tempat asal. Kini tak ada yang bersantai sedikitpun, Carlos memilih melanjutkan percobaannya dalam diam dan Noah memandang lurus ke jalanan yang lumayan padat. Kami hanya 500 meter jauhnya dari NEST (sarang) dan aku benar-benar tidak sabar untuk segera mendamprat Kevin.
Ketika tiba di pintu masuk, aku meraih clutch yang tadi kubawa dan melingkarinya di lengan. Carlos mendesah saat melihatku merampok persedian racun darinya dan tak mendengar kata "tidak" darinya. Tentu saja baik Carlos maupun Noah sama-sama menginginkan agar aku bisa sejauh mungkin dari barang apapun yang bisa membunuh pria itu. Tapi dengan adanya Glock yang bersembunyi di balik gaunku, Carlos tak bisa berbuat banyak.
"Kau tak ikut masuk?" tanya carlos setengah hati. Aku cukup yakin dia tak benar-benar menginginkanku kembali berkelahi di dalam sana. Misi telah selesai dan nyawa Noah tak bisa ia jadikan taruhan.
Aku menggeleng, mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. "Aku ingin ke Wendy's, kau bisa mengabarkan hasilnya padaku nanti."
Carlos mengangkat kedua alisnya dan bergumam, "well, kalau itu maumu," lalu meninggalkanku sendiri.
Aku masih menghembuskan asap rokok hingga hampir separuhnya lalu berjalan ke arah pertokoan. Tentu saja bakal banyak yang melirikku. Gaunku yang separuh robek menjadi penyebabnya. Tapi aku bahkan tak begitu peduli untuk menutupinya, aku hanya ingin makan dan segera menghubungi Mark.
***
Dua buah cheese burger, satu kantong kentang goreng dan segelas soda berhasil kuhabiskan dalam sepuluh menit saja. Aku duduk di sudut ruangan sambil menimbang untuk menghubungi Mark dan memikirkan seribu macam alasan agar ia tak curiga. Menjadi seorang pembunuh bayaran yang terikat kontrak selama 20 tahun membuatku nyaris tak pernah mendapatkan seorang pacarpun. Aku tak akan menyesalinya seandainya saja ini semua memang murni keinginanku. Tapi ayahku yang begitu baik hati malah menempatkanku dalam seluruh kekacauan ini. Mana mungkin aku tahu saat ia mengajariku menembak dan ikut latihan bela diri dari umur 10 tahun hanya untuk membuatku menggantikan posisinya sebagai pembunuh bayaran?
Aku melewati masa kecilku berlatih ilmu pertahanan diri dan navigasi di hutan, tidur di atas pepohonan dan hanya makan buah-buahan di sekitar hutan belantara. Ayah juga melatihku berburu dengan anak panah, berkuda, bahkan membiarkanku mengebut di tengah kota saat umurku baru 13 tahun. Tadinya kupikir ayah akan memasukkanku ke kemiliteran, membuatku bersemangat menempuh berbagai latihan yang ayah buat. Tapi di saat umurku 15 tahun, ketika aku telah mempelajari hampir semua ilmu yang ayah berikan, ayah mengajakku untuk melakukan misi pertamaku.
Hari itu hujan deras, membuat air tergenang dan menciptakan jejak dalam lumpur yang kami injak. Petir dan kilat saling bersahutan di atas kami tetapi ayah tak berhenti. Kami kemudian naik ke atas gedung kosong di mana seluruh langit terbentang luas di atas kepalaku. Kupikir kami akan berlatih lagi kali ini, ketika ayah mengeluarkan senapan laras panjang jenis M-16 miliknya dan memberiku semi auto shotgun.
"Perhatikan, Al. Aku ingin kau menembak di tiga titik. Lihat mansion besar di depan itu? Seluruh jendelanya tertutup dan aku ingin kau menembak masing-masing satu peluru di setiap tingkat jendela. Tunggu aba-aba dariku dan aku ingin presisi 95% untuk setiap tembakan. Kau paham?"
Aku mengangguk dan menuruti perkataan ayah. Langit mulai gelap dan matahari kini sudah menghilang sepenuhnya. Tak susah untuk mengintip dari pisir besi di senapanku sebenarnya sebab seluruh jendela yang menjadi targetku terang akibat lampu dari dalam bangunannya. Aku membungkuk dan menanti tanpa melepaskan sedetikpun pikiranku. Jari telunjukku bahkan telah siap untuk menarik pelatuk tanpa ragu dan ketika kilat pertama menyambar, tiga detik kemudian ayah berkata "sekarang!" dan aku melepaskan tiga tembakan dengan jeda hampir dua detik diiringi bunyi guntur yang memekakkan telinga. Ketiga jendela pecah dan angin mulai menerbangkan tirai-tirainya. Butuh sekitar semenit penuh untuk melihat dua pria muda di jendela paling atas, satu wanita paruh baya di tingkat dua dan seorang pria tua dengan janggut putih menjuntai melongokkan kepalanya dari jendela paling bawah.
Ayah telah bersiap di sebelahku dan tak menarik napasnya saat melepaskan satu tembakan jitu yang menembus jantung pria tua itu. Darahnya mengotori tirai yang beterbangan dan dalam hitungan detik pria itu roboh ke belakang. Itu pertama kalinya dalam hidupku aku melihat seseorang terbunuh.
Dan pembunuhnya adalah ayahku.