"Ngomong-ngomong, apa yang membuat 'Tsurugi no Miko' dan 'Mai Hime' repot-repot mendatangi kami?" ('Gadis Suci Pedang' & 'Penari Perang')
Kemunculan keduanya adalah hal yang tidak terduga. Ditambah keduanya tampak mendatangi mereka seperti telah mengetahui apa yang terjadi.
Akibat gadis itu, Rem tak memiliki niatan lagi untuk memaksakan pertarungan mereka. Di mata Yuka pemuda itu tampak seperti puas dengan sesuatu yang tidak diketahuinya.
"Jangan ingatkan aku pada nama bodoh itu. Aku sama sekali tidak menyukainya."
Balas Kazuha tanpa sedikit pun berusaha menyangkalnya.
"Sebagai sosok yang hangat menjadi pembicaraan publik, bagaimana kami bisa tidak mengenali kalian."
"Hehehe... kita memang seorang idol kan, Kazu-chi."
"Kau diam saja Kume-chan."
Mendengar julukan asing yang dimiliki oleh kedua gadis sekolah menengah saja sudah cukup mengejutkan sehingga keberadaan mereka menjadi pembicaraan hangat dalam beberapa waktu terakhir.
Beberapa rumor menyebar tentang pemilik julukan tersebut, namun kebanyakan menyimpang dari fakta yang ada.
'Yah, siapapun dapat terikat dengan berbagai macam rumor, apalagi mereka yang merupakan orang terkenal.'
Rem semakin yakin begitu dia melihat langsung kedua gadis itu dengan mata kepalanya sendiri. Mereka benar-benar murid sekolah menengah pertama.
"Kirishima-san, Sanada-san. Apa yang kalian lakukan disini?"
Diantara mereka Yuka dan Io yang adalah pemain pemula sama sekali tidak memahami pembicaraan Rem pada Kazuha itu. Apalagi mereka baru mengenal kedua gadis itu beberapa jam yang lalu.
"Yo, Yukihara. Sepertinya ini hari keberuntunganmu. Aku yakin kau pasti mengenal kedua gadis top player di server Jepang ini. Bagi player veteran, kami memanggil mereka dengan kedua julukan tadi."
Mendengarnya langsung, Yuka sontak membelakkan kedua matanya terkejut. Dia menatap tak percaya kedua gadis itu, namun karena tak ada balasan itu berarti semua ucapan Rem benar adanya.
Dilihat dari manapun, mereka hanya terlihat seperti pelajar pada umumnya.
Namun jika Yuka mengingatnya baik, sepertinya hal tersebut dapat menjelaskan kejanggalan yang dirinya rasakan sebelumnya. Tidak Kazuha maupun Kumeha yang sepertinya terkejut dengan situasi mereka saat ini dan mereka terkesan menikmatinya.
Dibandingkan dengan penduduk yang terjebak, mereka dianugrahi kekuatan yang berubah menjadi tekad serta dapat menghilangkan kecemasan mereka.
"Top player? Semuda ini?"
"Mereka mengikuti banyak event sejak game ini pertama kali diluncurkan dan mendapat begitu banyak perhatian banyak orang dari gaya permainan dan perlengkapan yang mencerminkan diri mereka."
Mendengarkan dengan baik perkataan lelaki itu, kini Yuka dibuat penasaran dengan perubahan pribadi Rem yang ditunjukkan padanya sebelumnya. Io yang entah bagaimana sedari tadi hanya terdiam juga menyadarinya.
"Entah mengapa sikapmu yang seperti ini membuat pertarungan sebelumnya seperti tidak nyata."
Menyampaikan pendapatnya demikian, Kazuha yang berada diantara kedua kelompok itu menghela nafas ringan lalu tersenyum seperti baru saja menyadari sesuatu.
"Sepertinya ada yang ingin kau sampaikan, Senpai."
Kalimat itu ditujukan pada Rem yang hanya berdiri dengan sikap tenangnya. Mendapat tatapan meminta penjelasan dari kedua pemula itu semakin membuat Kazuha ingin menggodanya.
"Aku tak tau rupanya kau adalah orang yang menyebalkan, Tsurugi no Miko."
"Sudah ku katakan berhenti memanggilku dengan nama itu!"
Sesaat Kazuha terdengar sebal dengan perkataan Rem yang sengaja mengoloknya dengan julukannya tersebut, namun Kazuha dapat menahan dirinya untuk saat ini.
Tak berselang lama menunggu akhirnya Rem angkat bicara.
"Dengarkan aku baik-baik Yukihara, Yuuna-san. Sistem leveling pada game satu ini berbeda dengan game MMORPG pada umumnya. Counting exp tidak hanya didapat melalui sebuah kemenangan atau partisipasi seusai pertandingan, melainkan 'pengalaman bertarung' seseorang."
"Pengalaman?"
"Kalian tau pepatah 'semakin pedang diasah semakin tajam pula pedang tersebut.' Pada dasarnya seperti itu, hanya dengan mengayunkan pedang saja kau pasti akan mendapatkan exp."
Yuka dan Io tidak terlihat memahami penjelasan yang Rem sampaikan. Untuk memperjelasnya, Rem meminta mereka berdua memeriksa bilah status mereka untuk mengkonfirmasinya.
Hal itu dilakukan mereka berdua tanpa bertanya. Betapa terkejutnya mereka mendapati peningkatan status yang tidak normal dibandingkan sebelumnya.
"Level 23?!"
"Aku juga sudah di level 14!"
Jika Yuka ingat dengan benar, sebelum pertarungannya level Yuka telah mencapai level 11 bahkan Io saja baru mengaktifkan akunnya yang tidak memiliki pertarungan lebih dari setengah jam juga statusnya telah meningkat dengan tidak normal.
Jika memang perhitungan exp berdasarkan pengalaman mereka seharusnya itu tidak akan mencapai sejauh itu, faktor lain yang dapat menjelaskannya sepertinya adalah posisi lawan mereka.
"Asal kau tau aku sudah level 68 dan Kurea adalah level 65. Tidak mengherankan jika levelmu meningkat setelah mampu menyaingi kami berdua."
Katanya dengan ringan.
"Tidak, tidak. Bagaimana pun itu mustahil. Pasti ada yang salah dengan perhitungannya."
"Apa kau akan meragukannya? Bukankah kau sendiri menyadarinya bahwa kau hanya akan sanggup bertahan hidup jika levelmu cukup tinggi. Bahkan jika itu termasuk kesalahan kecil, kau tidak perlu terlalu memikirkannya bukan?"
"Itu..."
Yuka terdiam. Rem benar. Yuka menyadari betapa lemahnya dia sejak pertarungannya menghadapi Tyrant dan membuatnya sadar bahwa cara untuk bertahan hidup adalah dengan menaikkan level mereka.
Dia ingin meyakininya, namun sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa bukan hanya level yang menjadi tolak ukur keselamatan mereka. Justru tekad seseorang lah yang dapat memberikan mereka kekuatan untuk dapat bangkit menghadapi segala bentuk rintangan yang ada.
"Tapi bagaimana dengan Tokyo Tower-nya?!"
"Yah, meski hanya spekulasi, namun sebagian besar penjelasan tadi ada benarnya. Sinyal radio memang dapat bertugas sebagai penghantar, namun hanya sebatas mengirim sinyal SOS. Itu pun hanya berupa sandi morse."
Rem mengungkapkan kebenaran yang dia sembunyikan sebagai alasannya membantu Yuka dan Io naik level.
"Meski kemampuan Kurea nyata, melakukan hacking dengan peralatan minimum itu tidak mungkin. Jadi satu-satunya cara hanyalah..."
"...Melakukannya secara langsung."
Yuka menebak apa yang akan Rem katakan dan sepertinya dugaannya benar. Bahkan untuk Kurea yang sangat ahli di bidangnya dia pasti memiliki celah kecil yang tidak dapat ditutup olehnya.
Karena itu dia membutuhkan dukungan Rem untuk melakukannya.
Namun di samping itu, Yuka yang juga memiliki rencana memilih menceritakannya karena jika tidak dia pasti akan menyesalinya.
"Maksudmu pengaplikasian amplifier? Memang jika kita memanfaatkannya kita dapat melakukan gangguan pada sinyal, namun itu hanya bersifat sementara. Penyelarasan frekuensi juga tidak akan sepenuhnya stabil. Dan satu hal lagi, memangnya kau tak berpikir lawanmu akan memikirkan hal yang sama denganmu?"
Menggantikan Rem yang tidak begitu ahli dengan bidang itu, Kurea menjelaskan kemungkinan dibalik rencana yang dimiliki Yuka dengan pasti.
"Sungguh?"
"Penerapan amplifier itu adalah hal umul untuk memperkuat sinyal. Hampir semua bidang industri telah menerapkannya bahkan benda menyebalkan ini juga."
Mengetuk pada Raft-glass yang terpasang di kepalanya, Kurea segera menyadarkan Yuka yang bahkan tidak menguasai bidang yang menjadi titik utama rencananya.
"Jadi begitu..."
"Namun, aku justru tertarik dengan rencanamu untuk mengambil alih sistem mereka. Dengan menguasai Menara Tokyo yang menjadi pusat dari segala transmisi sinyal, kita akan memiliki kemampuan tempur yang sebanding dengan Se... maksudku Prof. Kimura Makoto."
Nampaknya ada hal yang ingin Kurea sampaikan, namun dia seperti tidak ingin membicarakannya saat ini sehingga tak ada diantara mereka keberatan dengan penjelasannya.
"Bukankah itu berarti sudah diputuskan. Mari kita pergi!"
"Kita? Sanada-san, apa barusan kau mengatakan kau akan ikut pergi?"
"Tentu saja. Ini adalah saatnya bagi seorang idol untuk bersinar, kan Kazu-chi."
Kazuha yang sedari tadi hanya terdiam mendengarkan percakapan senpainya akhirnya angkat bicara.
"Astaga, aku tak akan mengatakan bahwa aku menyetujui pendapatmu, namun itu juga bukan berarti aku tidak setuju untuk pergi."
Alasannya mudah, Kazuha tak akan pernah membiarkan pemain pemula pergi dengan ceroboh apalagi tanpa pengalaman bertarung sedikit pun. Namun sebelum itu, ada hal yang ingin Kazuha lakukan.
Tatapan gadis itu jatuh pada Rem dan Kurea secara bergantian seperti tengah mengisyaratkan sesuatu. Rem dan Kurea saling berpandangan tidak mengerti hingga akhirnya Io mengatakannya pada mereka.
"Aku ingat sepertinya Kirishima-san dan Sanda-san belum mengenal kalian."
Sontak hal itu mengingatkan mereka kalau sedari tadi mereka tidak saling memanggil nama asli mereka masing-masing. Karena itu Rem mengawali pengenalan mereka diikuti Kurea. Setelahnya Kazuha lalu Kumeha sebagai orang terakhir.
"Karena kita sudah saling mengenal, bagaimana kalau kita membentuk sebuah party?"
"Ide bagus, Sanada-san."
Rem menimpali perkataan Kumeha seraya menatap Kurea mendiskusikan sesuatu menggunakan tatapan matanya. Kurea yang memahaminya kemudian mengangguk dan berpaling menatap Yuka.
Yuka yang tidak memahami situasinya hanya bertanya dengan penasaran.
"Kenapa kau menatapku, Amagaki-san?"
"Aku dan Aniki setuju untuk menjadikanmu pimpinan party karena kau yang membuat rencananya."
Mendapatkan pernyataan yang tiba-tiba itu Yuka menjadi kebingungan ditambah dia tidak mengerti kenapa Kurea justru mengirimkan tanggung jawab sebesar itu padanya dibandingkan dirinya.
'Aku tak yakin alasan itu sepenuhnya yang membuat Amagaki-san justru menumpahkan tugas itu padaku.' Duga Yuka.
"Maaf saja, tapi selain itu aku tidak tau cara membuat party."
"Lihat menggunakan peralatanmu. Saat kau melihat bar HP dan nama player, kau cukup menekannya dan opsi mengundang party akan muncul."
Sebelum Yuka dapat mengerti, sebuah pergerakan otomatis kemudian memandunya dalam mengundang orang terdekatnya untuk membuat party. Karena itu berhubungan dengan peralatannya, Yuka langsung mengerti siapa yang melakukan itu untuknya.
Disana dengan tenang, Alice hanya berdiri menatapnya dalam diam dengan tatapan kosong. Alice sepertinya menjaga perilakunya sebagai AI dihadapan orang lain.
"Terima kasih."
Berujar ringan, Yuka kemudian memperhatikan layar bening di hadapannya dan mengikuti petunjuk yang Kurea berikan sebelumnya.
Seluruhnya telah mendapat panggilan bergabung party dan secara serentak pula mereka menekan tombol setuju.
"Ahaha... sekarang aku tau mengapa kau memintaku menjadi pimpinan party..."
Entah Yuka terlambat menyadarinya atau bagaimana, sepertinya terlalu banyak hal yang belum dapat dipahaminya dalam game termasuk tugas pimpinan party yang rupanya tidak sesimpel yang dia pikirkan.
Hampir seluruh bingkai dihadapan matanya dipenuhi oleh berbagai macam statistik juga tampilan lainnya yang tidak dimengertinya.
'Bukankah ini terlihat seperti pimpinan party sungguhan.'
Mengetahui hal tersebut Yuka menatap balik Kurea, namun pemuda itu berpaling menghindari tatapannya. Sepertinya dugaan Yuka benar apa adanya.
Mengatur strategi bukanlah hal yang mudah terlebih dia melibatkan bidak yang merupakan player sungguhan. Dia tak habis pikir hal sesimpel itu dibuat terlalu rumit oleh sistem.
Saat Yuka masih memikirkannya dengan matang, Rem berujar padanya yang membangkitkan kepercayaan diri Yuka.
"Kami mengandalkanmu, Yuka."
Mendengar Rem memanggil nama depannya, Yuka hanya menghela napas. Dia tau dia butuh kekuatan untuk bertahan hidup dan di samping itu Yuka melakukannya karena dia sangat berutang budi pada mereka semua.
"Serahkan padaku, Rem."
Mendapatkan kepercayaan mereka, Yuka sama sekali tak berniat untuk mengkhianatinya. Dia justru bertekad untuk menjadi lebih kuat untuk dapat berdiri tepat di samping mereka sebagai rekan seperjuangan.
———
"Ngomong-ngomong, siapa gadis itu dan apa yang dilakukannya sedari tadi?"
Rem bertanya dengan menunjuk tempat Alice berada. Yuka kemudian menjawabnya.
"Dia AI-ku, namanya Alice."
"Eh?"
Kesalahpahaman itu berakhir dengan segera setelah Yuka menjelaskan kembali semuanya dengan benar.