Chereads / His Presence / Chapter 1 - - O N E

His Presence

guinevereolesia
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 12.6k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - - O N E

"Haiii, I'm Hannah Aileen, welcome back to my channel! Hari ini aku mau review produk skincare ini yang sudah aku pakai selama satu bulan," sambil menunjukkan sebuah produk di depan kamera, "Kalau ada yang ingat, aku sempat upload di story Instagram waktu aku beli produk ini. Seperti biasa, aku jelasin dulu produknya dulu baru aku share review hasil dan cara pemakaian produknya."

Selama sekitar satu jam Han duduk di kursi besar hitam berbulu, berbicara sendiri pada kamera dan menunjukkan cara pemakaian produk yang baru dipakai sebulan terakhir. Seperti itulah pekerjaan Han yang diirikan banyak orang. Awalnya memang menyenangkan, tapi setelah hasil review Han disukai banyak orang, dirinya semakin dikenal banyak orang, hal ini tidaklah semudah sebelumnya.

Dalam satu minggu Han perlu upload tiga video di Youtube dan tiga post di Instagram. Jam terbangnya sudah tidak lagi hanya me-review produk yang memang ingin digunakan. Sekarang perusahaan dari brand-brand itu yang menawarkan kerja sama dengan meminta Han me-review produknya dengan sungguh-sungguh dan jujur. Ditambah, Han juga perlu mempertimbangkan request dari subscriber dan follower-nya yang mengajukan beberapa produk untuk di-review.

Tidak hanya produk skincare, haircare, dan make up saja yang Han review. Dia mendapat banyak kesempatan me-review berbagai produk sampai peralatan rumah tangga seperti microwave, tempat tidur, sampai layanan jasa.

TING TONG!

Han menoleh ke arah pintu apartemennya. "Wah, untung sudah selesai," ucapnya sambil mematikan laptop dan merapikan kamera-kameranya setelah memindahkan file video yang baru saja direkam. Itu adalah bahan yang perlu segera diedit dan di-upload besok sesuai dengan jam yang sudah dijanjikannya.

Han membukakan tamunya pintu yang masuk dengan sendirinya tanpa perlu disuruh masuk. "Apa saja yang kamu beli?"

"Semua yang menurut mata dan hidungku enak," jawab Rachel. Ia mengeluarkan makanan dan minuman yang dibelinya, menatanya di meja makan seperti rumahnya sendiri.

Melihat makanan-makanan yang dibawakan Rachel, mata Han berbinar, "Wah, absolutely you're the best for this!" sambil duduk di kursi meja makan. Membantu Rachel membuka kotak-kotak makanan.

"Nooo, I'm the best in everything!" protes Rachel.

Meja makan yang cukup untuk empat orang penuh dengan pizza ukuran large, satu porsi lagsana, satu porsi salad, satu slice cake, dua float, dan dua mochacinno. Siapa yang mampu menghabiskan itu semua? Mereka berdua jawabannya. Kedua gadis bertubuh kurus ideal ini memiliki perut yang dapat menampung naga selama bertahun-tahun, tidak heran porsi makannya membuat orang lain yang melihat mereka makan sudah cukup kenyang.

Han hanya memiringkan bibirnya menanggapi dan Rachel hanya tertawa singkat. "Sudah siap semuanya...mari makan! Selamat datang diperutku wahai kau kelezatan hakiki!" seru Rachel sambil mengambil sepotong pizza lalu mengigitnya. Ekspresi wajahnya sangat cocok menjadi model iklan pizza. Ia benar-benar sangat menikmatinya.

Begitu pun dengan Han. Tanpa ragu-ragu selesai memejamkan mata beberapa detik ia langsung melahap pizza ditangannya, lupa kalau belum cuci tangan setelah memegang skincare, laptop, kamera, mouse, gagang pintu, dan entah apa saja yang tak dapat disebutkan satu-satu.

"Pas banget aku kepikiran untuk order pizza tadi, eh kamu dateng-dateng bawa beginian. Dabeslah!"

"Kita udah bonding dari orok mungkin, Han." Lalu keduanya tertawa, lanjut ngobrol sambil makan sampai semuanya ludes tanpa sisa masuk ke perut.

Selesai makan siang mereka membersihkan meja dan mencuci alat makan bersama. Rachel yang mencuci alat makan, Han membereskan meja. Topik percakapan mereka tidak ada habisnya, hampir setiap hari bertemu, kalau tidak bertemu pun mereka masih sempat bertelepon, sekalinya ketemu berjam-jam. Sebagian besar waktu bersama mereka dihabiskan untuk ngobrol dan tidak membicarakan orang lain, seperti yang trend sekarang: nyinyir, julid, gibah. Yang dibicarakan pure tentang mereka, bisnis, masalah, percintaan, makanan, film, lagu, buku, masakan, daaan masih banyak lagi. Orang-orang yang mendengarkan mereka bisa keluar asap dari telinga, tapi mulut dan telinga mereka masih kuat layaknya sparepart baru.

Han memeriksa smartphone-nya, sekiranya ada notifikasi yang urgent mengenai pekerjaan. Matanya melebar kaget, "Ohemji, kayaknya Jope sama Olin sudah sampai di kafe, Cel! Kita masih kucel rembes gini!"

Rachel yang masih bergulat dengan air, sabun, dan alat makan di depan zink menoleh cepat. Ia juga kaget, "Ha? Gils! Bukannya jam tiga ya?"

"Sekarang jam tiga!!"

Serempak Han dan Rachel melesat ke kamar mandi. Beruntung apartemen Han memiliki dua kamar mandi, setidaknya Rachel bisa cuci muka. Dalam waktu setengah jam keduanya sudah setengah berlari menuju tempat parkir mobil. 

"Cek maps, Cel. Jalan mana yang gak macet."

Rachel menurut, langsung membuka aplikasi maps dan membantu Han mencari jalan tikus. "Untung pakai mobilmu, mobilku mana bisa masuk gang gini, bongsor gitu."

Han fokus pada jalanan yang sempit, mobilnya berukuran sedang sangat pas di gang itu sehingga harus lebih berhati-hati. 

Ponsel Rachel dan Han dibanjiri chat dan stiker oleh kedua temannya, Jope dan Olin. "Gils, spamming banget. Kita telat sejam, Han."

"Ya, mau gimana kalau udah ngobrol sama kamu gak ada remnya haha. Minta maaf aja, emang salah kita. Udah mau sampe nih, tuh depan kiri jalan."

Begitu memasuki kafe, menemukan Jope dan Olin sangat mudah karena mereka berempat memiliki selera yang sama saat memilih tempat duduk di kafe. Bersofa, wide view, kalau bisa di ujung.

Han melambaikan tangannya sambil menghampiri. Lambaian tangannya dibalas Jope, "Sini, ya ampun, lama banget sih kalian? Ngapain aja??" protesnya langsung sambil bergeser memberi Han tempat untuk duduk di sofa panjang.

"Sorry banget, girls, gak sadar pas lagi ngobrol sambil makan siang tadi. Bener-bener sorry," balas Han sungguh-sungguh sambil menarik menu di sudut meja. "Kalian sudah makan?"

"Whaaat?? Kalian sudah makan siang duluan??" protes Olin.

"Lho, ini sudah sore," sahut Rachel langsung. "Kalian pesen aja sekarang, udah sore belum makan. Nyemil aja, ntar dinner kita makan lagi. Din-din syantikkk..."

Jope dan Olin terlihat kesal sambil membolak balik buku menu. Maklum, singa-singa cantik ini belum makan jadi bawaannya gampang bete ditambah lagi Han dan Rachel terlambat dan makan duluan.

Kelakuan cewek memang, selesai makan mereka berempat berfoto bersama. Han men-set kameranya dan meminta tolong salah seorang waitress untuk memfotokan. Lalu mereka lanjut ngobrol-ngobrol santai sambil menunggu waktu nonton film di bioskop. Olin sudah memesankan tiketnya secara online.

"Dinner gak mau pindah tempat? Coba tempat lain mana gitu? Kamu gak mau sekalian review tempat makannya?" usul Jope.

Han menggeleng, "Sekarang aku cuma mau review sesuatu yang bener-bener pengen aku review atau ketika aku dibayar untuk review sejujur-jujurnya. Itu sudah jadi pekerjaan sekarang, gak cuma iseng-isengan kayak dulu hehe."

"Ohya? Sejak kapan?"

"Sejak dia dapet silver button play dari Youtube dan verified dari Instagram," Rachel bantu menjawab.

"Wah gila, temen kita sekarang memang bener-bener public figure," Olin bertepuk tangan berlebihan yang disambut tawa oleh teman-temannya.

"Apaan sih," Han mengibaskan tangannya. "Jadi famous dan public figure itu gak semudah itu, girls. Aku perlu jaga manner dan behave dimanapun aku berada, bukan jaim ya. Tapi lebih kayak memberi contoh atau teladan yang baik karena jadi pusat perhatian dan lebih disorot oleh banyak orang. Tanggung jawab jadi lebih gede. Tindakanku gak cuma soal aku, tapi bisa influence banyak orang. Bahaya, jujur agak terbeban."

Rachel, Jope, dan Olin terdiam paham mendengar curahan hati Han yang sudah pernah diungkapkannya beberapa waktu lalu. Bahkan jauh sebelum menjadi public figure, ketika ia memulai karir ini dengan niat iseng-iseng berhadiah. Han sudah memikirkan resiko dan keuntungan yang akan didapatnya dikemudian hari kalau yang dilakukannya ini berhasil dan berdampak.

"Terbijak emang." Jope melingkarkan jari telunjuk dan ibu jarinya memuji Han.

"Kerjaan kamu gimana, Lin?" tanya Han.

Olin adalah sport dan healht enthusiast. Pekerjaannya juga dibidang itu, healht catering, bekerja sama dengan kekasihnya, Karlos.

"Berkat bantuanmu review dan endorse waktu itu, sekarang semakin rame bahkan beberapa influencers, youtubers, public figures, selebriti dan artis-artis ada yang order. Review-mu beneran tuh?"

"Gak percaya amat, buk," Han tertawa geli. "Dibilangin aku gak mau review bohong-bohong, dibagus-bagusin karena dibayar. Kalau memang bener enak ya aku bilang enak, terus yang aku bilang seasoning-nya terlalu encer itu aku juga bilang kan. Terus di next review sudah kamu benerin, jadi orang-orang juga ngerti kalau kamu mau belajar dari kesalahan dan teguran, berusaha memberikan yang terbaik, terlepas aku temenmu dan partner kerja waktu itu."

Olin tertawa, "Iya deh, thanks to you haha."

~~~

Seusai menikmati makan malam di dalam mall tempat bioskop yang Olin pesan, mereka langsung menuju bioskop. Kebiasaan aneh mereka adalah menonton iklan di bioskop sambil menikmati pop-corn dan lemon tea. Gaya hidup mereka bisa dikatakan cukup sehat, menghindari soda, gula, dan gorengan sebisa mungkin.

"Dua setengah jam ya ini?" tanya Rachel.

"Iya, lama ini filmnya. Memuaskan!" sahut Jope.

"Asik nih kalau lama gitu," Han juga setuju.

"Shsss, mau mulai, mau mulai..." Olin mencolek lengan Han yang kebetulan duduk di sebelahnya.

Kompak mereka membenahi posisi duduk senyaman mungkin dan siap menonton. Penikmat film sejati memang, mereka menghargai waktu menonton sedemikian rupa. No talk, just focus at the screen, enjoy the movie.

Tepat setelah film selesai dan empat gadis cantik itu sedang antri di toilet, mama Han menelepon. "Iya kenapa, Ma?...Pulang sekarang? Kenapa?" Han terlihat tidak senang. "Oke, aku langsung ke rumah setelah ini."

"Pulang? Gak jadi nge-chill bareng di apart-mu dong," Jope sedih karena tidak bisa menghabiskan waktu bersama.

"Kalau memang urgent, buruan gih, Han," Olin menyuruh Han maju mengambil tempatnya untuk antri meski hanya selisih dua antrian yang tidak terlalu bermakna.

Han tetap menghargai, ia mengambil tempat itu. "Thankyou, sis."

Sedang Rachel berbicara melalui matanya. Ia tahu apa alasan Han dipanggil pulang. Kasus yang sama terjadi dua minggu lalu saat ia sedang mampir ke apartemen Han dan orang tuanya menelepon memanggilnya untuk pulang. Rachel menatap tanpa berbicara dan Han tahu Rachel sedang menguatkannya. Dari empat sekawan, Han paling akrab dengan Rachel. Entah bagaimana ia bisa klop sama Rachel. Nyambung aja gitu, jawabnya kalau ditanya. Mereka bertemu dibangku SMP dan akhirnya berteman sampai sekarang.

Jaman pubertas, labil-labilnya, alay-alaynya mereka berdua berseragam putih biru dongker memiliki sejarah yang buruk. Rachel dan Han tidak akur! Tanpa sebab, tanpa perkara. Rachel tidak suka melihat Han, mengesalkan dan bikin muak katanya. Tidak kenal, cukup saling tahu keberadaan keduanya, dan melihat tingkah laku Han membuat Rachel geram. Tidak suka tanpa alasan.

Sedangkan Han awalnya biasa saja tapi karena Rachel menunjukkan sikap penolakan yang frontal, akhirnya Han terbawa suasana. Ia membenci tanpa sebab, tapi setia ditanya jawabannya selalu: dia dulu yang membenciku.

Usut punya usut ternyata Rachel tidak suka dengan tingkah laku Han yang terlalu gemulai, terkesan centil dan manja. Padahal itu hanya gaya Han yang memang terlalu feminin. Sedangkan Rachel biasa saja, tidak tomboy dan tidak feminin. Menurut Han itu adalah suatu bentuk iri hati tapi Rachel mengelak, baginya itu karena perbedaan paham dan karakter saja yang dibumbuhi dengan kealayan pada masanya.

Hubungan keduanya mulai membaik semenja Rachel dan Han berada di kelas yang sama, saat kelas tiga SMP atau kelas sembilan. Akhirnya Rachel mengenal Han dan persepsinya mengenai Han berubah perlahan. Didukung dengan kebetulan mereka menjadi satu kelompok belajar yang dibentuk secara acak oleh guru walikelasnya. Dari situlah Rachel mulai memahami Han dan sebaliknya. Ternyata sebenarnya mereka cocok!

~~~

Han mengantarkan Rachel ke apartemen agar bisa mengambil mobilnya yang tadi ditinggal, lalu segera menuju rumahnya.

"Ada apa lagi, Ma?" tanya Han begitu kedatangannya langsung disambut oleh sang bunda di ruang tamu.

"Yang lain sudah menunggu di ruang tengah."

"Hm?"

Dari ruang tamu suara televisi masih terdengar bersamaan dengan suara tawa tiga pria dewasa. Papa dan kedua kakak laki-lakinya. Entah apa yang sedang dinikmati di layar kaca itu, tapi cara Mama berbicara dan raut wajahnya tidak sesantai itu.

Jangan bilang hal itu dibahas lagi?? Han merasa khawatir.

"Anna sudah datang." Mama memberi tahu ketika mereka berdua sudah berada di ruang tengah. Di rumah Han dipanggil Anna sejak kecil, nama itu mudah diingat dan diucapkan anak-anak. Namun seiring berjalannya waktu dan pertunbuhan, Han lebih nyaman cukup dipanggil "Han" saja. Simpel dan mudah diingat.

Suasana seketika berubah. Papa yang awalnya tertawa melihat acara di televisi langsung menjadi serius, kedua saudaranya juga langsung membenarkan posisi duduk dan televisi segera dimatikan.

Mama mempersilahkan Han mengambil tempat. Han duduk tepat disebelah Mama dan Shawn, kakak keduanya. "Ada apa?" tanya Han hati-hati.

Ia meletakkan tasnya di sofa agar lebih santai. Menuang teh hangat ke cangkir kosong yang disediakan di meja tengah.

Sungguh menegangkan, berharap pertemuan malam ini lekas selesai dan dapat kembali ke apartemen dengan tenang tanpa terjadi keributan apapun. Han merasa tidak nyaman dan hanya menatap cangkirnya yang tanpa sadar sudah mau habis isinya karena sedikit-sedikit diminum untuk mengurangi kecanggungan. Semua mata seolah tertuju padanya.

Han terbiasa menjadi pusat perhatian tapi tidak dengan tatapan yang menyerangnya sekarang.

"Oh Tuhan, tolong aku. Beri aku hikmat dan kekuatan..." doanya dalam hati.