"Kamu masih bersikeras gak mau kuliah?" tanya Papa to the point ditengah-tengah keheningan yang dahsyat. Bahkan detik jam dan degup jantung dapat terdengar jelas di rumah yang cukup besar.
Han menunduk perlahan. Ia tahu ia salah tapi tidak seratus persen.
"Jawab, Anna!" panggil Papa tegas.
Han terjingkat kaget sedikit tapi tetap mengontrolnya. Stay cool... "Anna gak tertarik dengan jurusan yang Papa minta. Itu alasan kenapa Anna gak mau kuliah, daripada Anna tetep nglakuin harapan Papa tapi hasilnya gak maksimal kan juga percuma."
Papa memejamkan mata menahan nafas dengan merapatkan rahangnya keras. Dia tampak kehabisan kata-kata dan kesabaran.
Lalu Mama mencoba menetralkan suasana. "Terus kamu mau masuk jurusan apa? Apa minatmu?"
Hati-hati menjawab, "Anna sudah pernah bilang dulu, tapi Papa sama Mama gak setuju."
"Apa itu?" tanya Mama memegang lengan Han lembut. Mungkin dia lupa atau memastikan kembali?
"Tourism, Ma."
Rahang Papa semakin mengatup keras. Amat keras.
"Anna," Shawn bersuara, "Apa tujuanmu masuk tourism?"
"Aku berencana untuk traveling, terus jadi tour guide. Aku juga sudah bisa bahasa Inggris dan Mandarin. Itu—"
"Itu Papa persiapkan untuk kamu berbisnis," sahut Richard, kakak kedua. "Sebenernya Papa gak maksa kamu untuk nerusin bisnis Papa, kamu boleh kok bikin usahamu sendiri, dimodalin Papa. Pokoknya ber-entrepreneur."
"Tapi kenapa Papa minta aku kuliah hukum, kedokteran sama IBM?" IBM adalah International Business Management.
"Hukum dan IBM berguna banget untuk bisnis. Tapi sebenernya kalau kamu gak mau berbisnis pun, Papa pengen persiapin kamu masa depan yang oke. Kamu anak cewek satu-satunya, kamu tau sendiri seberapa sayang mereka," Shawn menunjuk Papa Mama, "sama kamu dibanding aku dan Richard." Shawn melanjutkan, "Dengan berbekal hukum kamu jadi cewek yang gak mudah ditipu orang atau direndahkan orang, kamu ngerti cela-cela hukum. Dengan menjadi dokter, kamu gak dipandang rendah orang karena profesimu yang mulia dan biaya pendidikannya mahal. Jujur, pemikiran itu memang terkesan kolot," Shawn melirik Papa untuk melihat reaksinya, "tapi ya itu kan memang pemikiran Papa yang notabene pernah hidup di jaman lampau. Mama, aku, sama Richard sih bebas yang penting kamu sukses, ada penghasilan, hidup happy."
Papa balas melirik Shawn dengan tidak enak.
"Aku sebenernya ada rencana untuk ber-entrepreneur. Aku pengen punya cosmetic and skincare brand. Tapi aku gak ada minat untuk kuliah." Han menunduk tidak berani melihat reaksi Papa.
Jika di-flashback dari ketika Han masih duduk dibangku SMA, Papa sudah buru-buru menyuruh Han memilih jurusan dan universitas. Iya awalnya dibebaskan, Han memilih jurusan pariwisata dan DKV (Desain Komunikasi Visual). Tapi Papa tidak begitu suka, sehingga pelan-pelan Papa berusaha mengajukan jurusan-jurusan yang Papa ingin Han pilih.
Sore hari dalam perjalanan pulang ke rumah setelah menjemput Han sekolah. Papa menanyai minat Anna untuk lanjut ke perguruan tinggi.
Sebentar lagi kamu kelas dua SMA, bulan September nanti pendaftaran universitas sudah dibuka, kamu pengen kuliah apa?
Anna pengen masuk tourism, Pa. Anna pengen traveling, enjoying life, terus bisa disambi jadi tour guide.
Tourism bagus, tapi kalau kamu juga belajar hukum lebih bagus lagi. Dengan belajar hukum kamu bisa blablablabla...kamu jadi ngerti blablablabla...nanti lapangan pekerjaannya blablablabla....
Han tau itu penolakan halus. Lalu ia coba yang lain.
Kalau DKV, Pa? Gimana? Itu juga oke, Anna bisa bantu kerjaan Papa dengan branding, advertising, terus kalau Papa butuh didesainin sesuatu gak perlu bayar orang, Anna bisa. Kayak banner, packaging gitu.
Papa terdiam beberapa saat menatap jalanan yang sedikit padat.
Boleh juga itu, bagus juga sih. Hmm, kamu gak minat hukum ya? Kalau dokter gimana? Nanti kelas dua kamu mau ambil IPA kan? Sekalian, bisa dilanjut itu. Blablablabla...
Saat itu juga Han mengurungkan niatnya untuk masuk IPA. Ia tau itu adalah penolakan yang membawanya harus memilih ke jurusan-jurusan yang Papa ajukan.
Tidak ada jawaban dari Han, Papa mencoba lagi.
Gak minat dokter juga ya? IBM gimana? Kamu bisa bahasa Inggris dan Mandarin, pasti gak begitu susah ambil IBM. Nanti blablablabla...
Coba Anna pikirin dulu ya, Pa.
Beberapa hari kemudian Papa kembali menanyakan minat Han. Kemauan Han tetap sama, dan kemauan Papa tetap sama. Papa menolak halus lagi. Mulai dari situ berlanjut terus sampai akhirnya Papa tidak lagi menolak halus tapi mengharuskan, sedikit memaksa.
Kenapa Papa suruh Anna masuk hukum, dokter, IBM??
Papa menjelaskan seperti yang dijelaskan Shawn tapi dalam versi yang lebih lengkap dan detil kala itu. Papa berusaha memberi pengertian kenapa jurusan-jurusan itu begitu penting.
Han diberi waktu untuk berpikir kembali sampai jatuh pada hari-hari pendaftaran universitas. Han memutuskan tidak kuliah langsung setelah lulus SMA. Ia merasa tertekan denga kemauan Papa. Menjadi anak perempuan satu-satunya, tidak membuatnya sehabagia itu dengan sikap yang orang tuanya berikan. Terlalu dijaga, terlalu diatur, terlalu dikekang, terlalu disayang, terlalu dimanja. Han merasa tidak bebas.
Mulai dari situ Han yang awalnya memang sudah rajin menabung, mulai menabung lebih giat bahkan mencari pekerjaan diam-diam. Ia bertekad untuk keluar dari rumah, hidup sendiri agar lebih mandiri. Ia ingin membuktikan kalau jalan yang ia pilih tidak salah dan tidak buruk. Han ingin bebas dengan hidupnya sendiri.
Tuhan, tolong bantu aku. Aku gak bisa lalui ini sendiri. Aku gak punya kekuatan untuk itu. Bimbing aku. Meskipun yang kulakukan ini seperti memberontak, tapi bukan itu maksudku. Aku hanya ingin memiliki hidupku sendiri sesuai kehendak-Mu, bukan kehendak Papa.
Kembali ke masa sekarang, dimana ruang tengah terasa semakin dingin dengan aura yang Papa keluarkan.
"Ini juga sudah kelamaan untuk kuliah. Anna gak mau jadi yang paling tua dan lagi tanpa kuliah Anna juga sudah bisa mendapatkan penghasilan yang oke sebagai influencers dan youtubers." Han memainkan jari-jarinya gelisah. Ia siap diamuk habis-habisan melihat Papa sampai memejamkan mata menahan emosi.
Papa berdiri dari sofa dengan mata dan wajah memerah. Ia menatap Anna dengan sorot yang tidak bisa dimaknai dengan pasti. "Hari ini selesai cukup sampai disini, pulanglah." Lalu Papa langsung meninggalkan ruang tengah masuk ke ruang bacanya.
Han menghela nafas lega. Nafasnya tertahan dari pertama kali datang ke rumah. Ia tau ini belum selesai, ada kemungkinan besar ia akan dimarahi habis-habisan saat datang lagi. Hari ini Papa menahan emosinya dan mungkin berusaha untuk tidak membuat keributan, apalagi sudah jarang bertemu Han.
Pilihan Han keluar dari rumah dan memilih hidup sendiri memang memberi banyak perubahan yang melampaui ekspetasinya. Han beryukur atas hal itu. Pekerjaan Tuhan sangat nyata dalam hidupnya.
"Udah malem banget, besok pagi aja pulangnya. Malem ini tidur di rumah," pinta Shawn. "Kamu gak kangen sama aku?" godanya.
Dari kedua kakaknya Han paling akrab dengan Shawn karena sejak kecil yang lebih sering meluangkan waktu untuk bermain, belajar, dan menjaga Han adalah Shawn. Richard saat masih kecil sangat suka membuat Han menangis, merebut barangnya, dan sangat cuek. Sekarang membaik, Richard tidak lagi secuek dan semenyebalkan dulu.
Mama memegang lengan Han, "Iya, istirahatlah disini malem ini. Besok setelah sarapan baru pulang. Mama kangen kamu, Anna."
The power of mother, every single word that she said is meaningful. Han tidak bisa menolak jika sudah Mama yang memintanya demikian meskipun ia juga respect dan menyayangi Shawn.
Han balas memegang tangan Mama dengan lembut sambil mengusapnya pelan. "Iya, Ma, Anna pulang besok. Mama mau ngobrol semaleman? Tidur di kamar Anna?"
"Mau! Yuk," Mama langsung berbalik senang. Han mengikuti, tangannya masih dalam genggaman Mama.
Setelah mandi, memakai skincare, dan berdoa Han berbaring di sebelah Mama yang sudah menunggu di ranjang. Menunggu putrinya bercerita banyak hal yang tidak ia ketahui karena Han tinggal sendiri di apartemen, menyelesaikan sendiri setiap masalah yang didapat, bergumul sendiri pada Tuhan, dan tidak lagi banyak bercerita pada Mama seperti sebelumnya.
Memiliki putri tunggal membuat Mama amat senang. Kehadiran Han dalam hidupnya seolah memberinya sahabat sejati dan menunjukkan replika dirinya. Han sangat mirip dengan Mama.
Dalam beberapa saat keduanya saling menatap tanpa bicara, mengobati rindu meskipun cukup sering bertelepon. Biasa seminggu tiga sampai empat kali seperti olahraga rutin. Kadangkala bisa hanya dua kali atau bahkan sampai lima kali, tidak pasti. Keputusan Han untuk hidup mandiri sempat membuat Mama sangat sedih, dirinya merasa gagal membesarkan Han sehingga Han tidak betah di rumah. Tapi Shawn berhasil menghibur Mama, itu karena Han tidak cocok dengan peraturan yang Papa buat. Papa menunjukkan rasa sayangnya dengan amat protektif sehingga Han merasa sesak.
"Besok ada waktu? Mama pengen jalan-jalan sama kamu. Sekarang mau ketemu kamu susah kayak mau ketemu presiden, harus buat janji dari jauh hari."
"Maaf, Ma. Mama tau sendiri ini pekerjaan Anna sekarang, jadi ya mau gimana lagi. Besok spesial deh untuk Mama, mau pergi kemana? Shopping, jalan-jalan di mall atau nongkrong cantik di kafe?"
"Keduanya..." Mama menitikkan air mata dari sudut matanya yang mulai terlihat garis-garis setipis rambut.
Hati Han terasa perih dan matanya berkaca. Bukan karena melihat Mama bersedih, tapi karena sadar Mama sudah mulai menua dan dirinya tak bersama Mama setiap harinya.
"Ke tempat Anna dulu ya, Ma. Ada kerjaan yang harus dislesaiin dulu, setelah itu kita bisa bebas seharian."
"Boleh, boleh," Mama bersemangat kembali. "Yuk tidur, besok kita perlu bangun pagi biar bisa habisin waktu sama kamu seharian."
"Siap, Bu Bos. Good night, Ma," Han mencium pipi Mama.
"Good night, sayang," Mama balas mencium pipi Han dan mengelus-elus rambutnya. Menarik selimut yang masih berada di batas perut sampai menutupi leher Han, menepuknya lembut dan memejamkan matanya.
Han tersenyum menikmati malam bersama Mama. Thankyou, Lord.
~~~
Mama, Shawn, Richard dan Han sedang sarapan, kemudian Papa datang terlambat. Ia langsung duduk di sebelah Mama tanpa bicara apapun. Mama membantu Papa mengambilkan lauk yang letaknya agak jauh.
Suasana yang awalnya santai tiba-tiba terasa canggung. Shawn dan Han saling pandang, lalu bergantian Shawan dengan Richard, Han dengan Mama, terakhir Han dan Richard saling melirik karena mereka duduk bersebelahan.
Shawn dan Richard berdehem bersamaan, sehingga membuat suasana semakin canggung. Han terus makan, berusaha cuek saja.
"Pop, nanti aku pergi sama Anna seharian," tiba-tiba Mama membuka suara.
Shawn, Richard dan Han saling pandang. Lucu, seperti waktu kecil ketika Papa marah karena anak-anaknya main play station semalaman, tidak belajar dan bangun kesiangan sampai bolos sekolah.
"Hm oke, hati-hati, Mom," balas Papa singkat. Pop dan Mom adalah panggilan sayang mereka sejak menikah.
Kompak ketiga anaknya langsung bernafas lega. Mereka tahu Papa sudah tidak semarah tadi malam, suaranya sudah biasa dan tidak ada penekanan sama sekali. Tapi Papa tetap berusaha stay cool menjaga pride-nya. Sudah paham.
Selesai sarapan bersama, Papa langsung kembali ke kamar berganti pakaian untuk ke kantor bersama Richard, Shawn dan Richard langsung pergi bekerja, Mama meminta Bi Inah memasukkan kotak-kotak masakan ke bagasi mobil dan Han sibuk merespon notifikasi social media-nya.
"Anna, sudah siap?" tanya Mama.
"Sudah," jawabnya sambil beranjak dari kursi di meja makan. Han bersama Mama menuju kamar untuk pamit ke Papa. "Pa, Anna pergi dulu."
"Pop, pergi ya, kamu hati-hati. Jangan telat makan siang, jangan minum kopi banyak-banyak."
"Hm, ya. Hati-hati," balas Papa.
Apartemen Han sebenarnya tidak jauh dari rumah karena Han sudah nyaman dengan lingkungan rumahnya. Tidak butuh waktu lama untuk sampai apartemen. Han memarkirkan mobilnya di dekat pintu masuk lalu membantu Mama membawa kotak-kotak masakan.
Saat keluar dari lift Mama berkomentar, "Kok bisa kamu tahan sama dengungnya? Sakit sakit telinga Mama."
"Udah biasa sekarang, Ma. Hehe. Maklum tinggi."
"Ya kamu kok pilih di lantai dua puluh."
"Murah, Ma. Gak ketinggian sampai tiga puluh, tapi juga gak kerendahan yang mahal itu. Ini sudah sampai."
Han menempelkan kartu akses dan ibujarinya pada gagang pintu. TILULIT. Pintu terbuka, Han da Mama segera menyimpan kotak-kotak masakan ke dalam kulkas.
"Panasi setiap kali mau makan ya," pesan Mama sambil menata kulkas.
"Thankyou, Ma. Anna jadi gak perlu repot-repot masak seminggu ini. Masakan Mama itu pasti cukup sampe minggu depan. Banyak banget."
"Sama-sama, sayang."
"Anna tinggal kerja dulu ya, nanti kalau Mama mau nonton tv nyalain aja. Itu remote di meja. Kalau Mama mau tiduran langsung masuk aja, cuma mungkin aku gak denger pas Mama ngomong."
"Oke."
Han buru-buru menyiapkan video dan post yang perlu di upload hari ini. Han orang yang cukup disiplin dan konsisten. Mengikuti jadwal bukanlah hal yang susah baginya, justru itu memudahkannya.
Mama memilih untuk berkeliling, melihat-lihat apartemen putrinya. Sudah lama ia tidak berkunjung. Ia memeriksa balkon, kamar mandi, alat masak, mesin cuci, rak sepatu, lemari, dan hampir setiap sudut apartemen tak luput.
Menghabiskan waktu dua jam bergulat dengan laptop dan ponselnya, Han akhirnya keluar menyusul Mama yang asik menonton tv di ruang tengah. "Ma," panggilnya.
Mama menoleh, "Oh, udah selesai?"
"Udah, videonya uploading. IG juga beres. Mau kemana nih, Ma?"
"Hmm, Galaxy Mall?"
"Oke. Mau nonton film skalian gak? Kita puas-puasin quality time hari ini."
"Boleh! Mama ikut aja deh. Kamu yang biasa punya banyak ide."