Putri yang tidak bisa diam di kamarnya, hanya berjalan-jalan mengelilingi kamarnya. Mencoba memahami surat yang baru saja dia baca. Mega, nama itu terus bermunculan dibenaknya. Terus berpikir apa yang harus dia lakukan, haruskah dia diam saja atau memutuskan untuk mengikuti diam-diam Wira agar bisa bertemu dengan Mega.
"Aarrgggggh...." Putri memegang kepala dengan kedua tangannya, kali ini raut wajahnya benar-benar stress. "Tapi bagaimana kalau Mega tidak mau bertemu dengannya" Pikir Putri. Kali ini Putri tanpa sadar menggigit jempol kanannya sambil berpikir keras.
"Ok, Put. Exhale... inhale..." Ucap Putri sambil menarik dan menghembuskan nafasnya dengan sangat panjang. Putri berpikir ini adalah moment yang tepat untuk bertemu dengan Mega, dan mungkin mengucapkan maaf atas apa yang pernah dia lakukan sebelumnya. Dan berharap hubungannya dengan Wira semakin membaik.
Entah apa yang dipikirkan Putri saat itu, tapi dia memutuskan untuk membututi Wira dengan diam. Ya, malam ini Wira dan Mega akan bertemu harusnya ini bisa menjadi momen yang pas bagi Putri (Dia mengulang-ngulang pernyataannya sendiri).
Tidak cukup lama Putri berganti baju, dengan rambutnya yang disembunyikan dibalik topi, kacamata, jaket, hingga celana semuanya serba hitam. "Sepertinya, cukup dengan penyamaran ini." Putri berucap dan memandang dirinya dalam cermin, tetap meyakinkan dalam hatinya bahwa semuanya akan berjalan sesuai dengan rencana.
Putri mengintip dari balik tembok yang berada dekat dengan tangga, memperhatikan Wira yang bergegas keluar dan menuruni tangga. Masih mengintip, Putri melihat Wira mengenakan kaos putih dan jaket biru. Pakaian yang dikenakan Wira tampak rapi, dan Putri yakin Wira sudah pasti akan menemui Mega. Putri berjalan keluar, mengendap-ngendap agar Wira tidak curiga kalau ia membuntutinya.
Putri melihat Wira yang mengambil kunci mobil, dan pergi ke arah garasi. Terlihat Wira memutuskan untuk mengendarai sendiri kendaraannya. Tidak Lama terlihat Wira keluar dari pekarangan rumah. Putri langsung bergegas menuju pintu luar.
"Pak Bimo.." Teriak Putri, mengagetkan supirnya yang sedang bersantai didalam mobil. "Ya Non, kenapa." Jawab Pak Bimo dengan bingung. "Pak Buruan, kita ikutin kak Wira. Barusan tadi keluar." Putri menepuk bahu Pak Bimo dengan cukup keras, membuat supir pribadinya semakin bingung. "Tapi non, bapak baru aja sampai, 5 menit lagi boleh.." Putri memandang keji supirnya.
"Pak Bimo!! Buruann, nanti ketinggalan ka Wiranya. Nanti Putri kasi uang rokok deh." Ucap Putri dengan cepat dan memaksa. "Uang Kopinya jangan lupa ya non." Pak Bimo menyeringai lebar ke arah Putri.
"Iyaa,, buruann,, kejar dulu.." Putri langsung masuk kedalam mobil, dan duduk berdampingan di sebelah supirnya. Mobil pun langsung melaju kencang, dan berusaha menyusul Wira yang sudah berada di luar rumah.
"Pa Bimo, pokoknya jangan sampai ketahuan sama Ka Wira ya." Putri menjelaskan ke supirnya yang masih sibuk menatap jalan di depan. "Tenang non, gini-gini Pa Bimo mantan agen rahasia." Celetuk Pak Bimo, dan Putri menatap aneh supirnya.
"Itu pak, belok kanan. Cepat pak, nanti keburu hilang jejaknya." Putri menunjuk ke arah mobil Wira yang terlihat mulai menjauh dari pandangan.
"Siapp Nonn," Pa Bimo pun mengikuti instruksi Putri, "Lagian Non, kenapa pake ngumpet-ngumpet. Kalau mau mah barengan aja tadi sama den Wira. Trus pakai hitam-hitam, ada yang meninggal ya Non." Tanya Pak Bimo dengan polos.
"Aduhh, Pak Bimo jangan kebanyakan tanya. Hilang konsentrasi Putri nih." Jawab Putri dengan nada kesal. Pak Bimo pun hanya bisa berdeham bingung dan menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku Putri yang aneh.
Tidak lama mereka sampai di sebuah Coffe Shop, Putri menginstruksikan Pak Bimo agar memparkirkan kendaraan mereka untuk lebih jauh dari kendaraan Wira. Putri belum masuk kedalam coffe shop tersebut. Masih mengintip dari jarak jauh, dan melihat dimana Wira akan duduk.
Putri melihat Wira memilih tempat duduk tidak jauh dari meja bartender, terlihat Wira masih sendiri, dan belum ada Mega yang muncul. Sesekali Putri melihat kakaknya melirik ke arah handphone dan jam tangan yang ia kenakan.
Putri melihat Wira sudah mulai memesan pesanan, dirinya pun melihat ada bangku kosong yang letaknya tidak jauh dari tempat Wira, dan Putri berpikir itu tempat yang strategis untuk penyamarannya.
Posisi Wira saat itu tidak berhadapan dengan Putri, dan Putri dengan pelan-pelan masuk kedalam dan segera mengambil posisi duduk membelakangi Wira. "Kalau begini pasti Kak Wira gak liat aku kan." Bisik Putri pada dirinya sendiri.
"Maaf anda berbicara apa mba, apa sudah mau pesan sekarang?" Seorang pelayan yang melintas dan mendengar Putri berbisik, mengira Putri memanggilnya untuk memesan. "ehh,, saya?" Tanya Putri bodoh, dan pelayan itu hanya mengangguk dengan senyuman.
"Iya, saya mau pesan mba." Jawab Putri masih dengan suara pelan. "Tiramisu coffe, satu ya, with ice, no cream." Jawab Putri dengan cepat, pelayan tersebut pun mulai mencatat pesanannya.
"Ada tambahan lainnya?" Tanyanya kepada Putri.
"Enggak ada, itu saja dulu." Jawab Putri sambil memandang Wira yang masih duduk sendirian. Pelayan pun meninggalkan Putri, serta menginformasikan pesanannya akan diantar segera.
Sesekali Putri menurunkan topi yang dikenakannya, dan memandang ke buku menu. Pura-pura terlihat sibuk, agar tidak mencurigakan. Tapi dia merasa apa yang dia lakukan saat ini justru membuat orang-orang sekitarnya memperhatikannya dengan aneh.
Bagaimana tidak, dengan kacamata, topi, baju, celana semua serba hitam. Putri lebih mirip dengan penjahat yang seperti ingin merampok ketimbang tamu dari coffe shop tersebut.
Tidak lama pelayan mengantarkan pesanan Putri. "Terimakasih." Ucap Putri masih dengan suara yang sangat pelan, sehingga Pelayan sempat berpikir bahwa Putri mengucapkan "Mau pipis."
"Bukan Mba, ma-ka-sihh." Ucap Putri diperjelas kepada pelayan yang sudah mulai membuatnya jengkel. Tiba-tiba saja ada sosok wanita yang melintas tepat ketika Putri sedang berbicara dengan pelayan tersebut.
Terlihat rambut hitam yang ikal dengan panjang se-dada, dibiarkan teruntai tanpa ada ikatan rambut sama sekali. Tubuhnya yang tinggi, dan ramping mengenakan dress berwarna biru membuat sosok wanita tersebut seperti model.
Sosok wanita tersebut, mendekati Wira dan kini wanita tersebut menyentuh bahu Wira. Hampir saja Putri tidak mengenali sosok wanita tersebut, Mega terlihat sangat cantik.
Dari dulu pun Putri tau kalau Mega cantik, tapi kali ini Mega terlihat berbeda dengan Mega yang dulu. Terlihat ada rasa percara diri yang tinggi di raut wajahnya. Sorot matanya yang menatap Wira dengan tajam, bahkan membuat Wira terdiam untuk beberapa detik.
Mega masih tersenyum memandang Wira, dan kini memutuskan duduk berhadapan dengan Wira. Putri masih menatap dari balik kacamatanya, berharap Mega tidak menyadari kehadirannya.
Wira dan Mega terlihat asik mengobrol dan cukup lama, mereka juga terlihat memesan makanan tambahan. Putri masih sangat penasaran dengan apa yang mereka perbincangkan. "Siall.."Ucap Putri kesal, "Aku gak bisa dengar apa-apa dari sini." Kali ini Putri menatap ke arah meja Mega, dan tanpa sadar melepaskan kacamatanya untuk mengelapnya dengan tissue.
Saat itu juga Putri merasa Mega menatapnya (Putri langsung terburu-buru mengenakan kacamatanya). Kali ini jantungnya berdebar cepat, dan Putri mengangkat buku menu hingga menutupi wajahnya. "Gawat, ketahuan deh.." Putri masih memegang buku menunya.
Selang beberapa detik, Putri menurunkan pelan-pelan buku menu yang dia pegang. Tampaknya Mega tidak menyadarinya. Karena kali ini terlihat Mega masih asik berbincang dengan Wira. Putri justru melihat Wira sesekali memegang tangan Mega.
Cukup lama Putri memperhatikan mereka berdua, tapi tidak ada satu pun percakapan yang dia dengar. Terlihat mereka sudah menghabiskan makanan dan minuman mereka, Putri melihat Wira sudah meminta bill kepada pelayan. Dan sepertinya makan malam mereka sudah akan selesai.
Tidak lama setelah Wira membayar tagihan, Mega dan Wira keluar bersama. Putri langsung menyembunyikan wajahnya dibalik meja, berharap dengan cemas kakaknya tidak menyadari kehadirannya.
Dan Putri bisa bernafas lega, ketika melihat Mega dan Wira sudah tidak berada di restoran. Aman – pikirnya, tapi apa yang dipikirkannya. Putri malah tidak ada kesempatan untuk berbicara dengan Mega, hanya sebagai penonton bisu.
Putri sedikit kesal, dan memutuskan untuk mengakhiri aksi detektifnya hari ini. Baru saja dia akan beranjak dari bangkunya. Ada sosok yang menghalanginya, membuat dirinya duduk kembali.
Putri tidak bisa berkata apapun, bagaimana tidak. Mega sudah berada persis didepannya. Dia benar-benar terlihat berbeda, cantik dan terlihat lebih percaya diri. Bahkan Putri seperti melihat ada keangkuhan yang diperlihatkannya.
"Putri kan, tepat dugaanku. Wira pasti gak tau, kalau adik tersayangnya ada disini." Kali ini Mega tersenyum. Tapi bukan senyuman ramah yang Putri rasakan. "Mega, apa kabarnya?" Ucap Putri dengan bodoh, Mega tidak bereaksi dengan pertanyaan Putri. Ekspresinya terlalu datar.
"Kamu gak pernah berubah ya Put, well aku gak ada banyak waktu lagi buat bincang-bincang sama kamu." Mega berhenti berbicara, dan kali ini melepas kaca mata yang Putri kenakan, dan Putri hanya bisa diam terpaku melihat Mega melakukan hal tersebut.
"Kaca mata ini gak cocok buat kamu." Mega tersenyum, dan meletakkan kaca matanya persis di depan Putri. "OK deh kalau begitu Sampai ketemu lagi." Ucap Mega yang langsung berdiri, dan pergi meninggalkan Putri begitu saja. Putri hanya bisa diam dan bingung dengan kejadian yang terjadi begitu cepat.
Selama perjalanan pulang pun Putri tidak banyak berbicara. Pak Bimo yang memperhatikan perubahan Putri yang lebih banyak diam, juga menghormati Putri tanpa banyak bertanya.
Terlalu banyak yang Putri pikirkan, ia menyangka akan ada kesempatan untuk berbicara dengan Mega. Kesempatan untuk meminta maaf, dan menjalin hubungan yang lebih baik. Tapi yang kini Putri rasakan saat bertemu dengan Mega, seperti melihat sosok Putri dahulu.
Terlihat ada rasa angkuh, ada keegoisan, dan Putri yakin ada dendam yang masih tersimpan lama untuknya. Belum lagi dengan ucapan Mega sampai ketemu lagi. Putri benar-benar tidak paham, apa dia akan bertemu lagi dengan Mega. Tapi bagaimana dan dimana? Itu yang selalu menjadi pertanyaan Putri.
Putri pun melewati hari minggu dengan kegundahan, Wira tampak terlihat senang dan sering memberikan senyuman kepada Putri. Malah Putri melihat ekspresi Wira yang sangat jelas bahagia setelah bertemu dengan Mega. Andi – sahabat karibnya di hari Minggu pun tidak bisa diganggu olehnya. Sahabatnya masih sibuk mempersiapkan untuk perlombaan di hari Senin, bahkan di minggu pagi-sore masih ada beberapa pelajaran tambahan yang harus diikuti.
Jelas Putri tidak akan mengganggu temannya, hanya untuk membicarakan kegundahannya yang belum jelas. Dan akhirnya Putri memutuskan untuk memenuhi undangan Renata dan menemaninya berbelanja di Minggu Siang.
Raja, Rafa, dan Rian mereka tidak terlihat di rumah. Entah apa yang mereka kerjakan sampai Putri tidak boleh mengetahuinya. Sedangkan Minggu siang Wira pun ikut menghilang. Putri pun yakin kalau Wira pasti menemui Mega.
"Sial,, harus temanin nenek lampir ini." Ucap Putri dengan kesal, sambil menatap sepatu-sepatu yang berserakan di lantai toko. Renata tidak hentinya mencoba semua sepatu yang ada di toko tersebut, bukan hanya para pelayan toko para pengunjung pun menatap keheranan ke arah mereka.
"Put, gimana cocok gak?" Ucap Renata, setelah sekian kalinya mencoba beberapa sepatu. "Cocok kok – Bagus," Putri berbohong dan tersenyum lebar menatap Renata.