Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Medical Falling Love

pinky_clarissa
--
chs / week
--
NOT RATINGS
6.4k
Views
Synopsis
Medica Soraya, gadis yang berprofesi sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta besar, zenith's Hospital. Tidak ada kisah asmara dalam hidupnya sampai suatu hari takdir seolah mengirimkannya seorang pria yang bisa membuat jantung Ica berhenti bedetak. "Saya nggak mau tahu. Kalau saya mati karena serangan jantung, dokter orang pertama yang bakal saya hantui." . . . . . "Tenang, Medica. Kamu berada di tangan yang tepat."
VIEW MORE

Chapter 1 - Medica-l Falling Love | Part 1

Matahari sudah nyaris berada tepat di atas kepala ketika Ica menggeliat. Suara bising alarm tiba-tiba menyentak tubuh Ica sampai terbangun dari tidur. Dengan rambut dan pakaian acak-acakan Ica segera menyambar ponsel yang setiap sepuluh menit berdering sejak dua jam yang lalu itu.

"Sial!"

Tanpa mempedulikan ponsel yang dilempar asal, Ica bergegas melompat dari ranjang dan berlari ke kamar mandi. Dia sudah terlambat bekerja!

"Sial...sial...sial!"

Sekali lagi Ica mengumpat ketika kakinya terantuk palang portal di depan gang kontrakannya. Kalau saja bukan karena Bu Diana yang sudah pasti akan memarahinya karena keterlambatan ini, Ica tentu saja sudah berjalan dengan hati-hati sejak tadi.

"Bang, Zenith's Hospital!"

Tanpa sadar Ica berteriak menyampaikan tujuannya pada sopir angkot yang berhasil ditemui sejak tiga puluh menit Ica mencari-cari. Tapi bukannya segera menjalankan kendaraannya, sang supir yang masih asik mengepulkan asap dari bibir hitamnya itu malah dengan santai mulai menyalakan musik dari ponsel yang tersambung ke stereo butut.

Suara musik dangdut koplo langsung terdengar mengisi kendaraan roda empat itu dan berhasil membuat darah Ica mendidih.

"Bang! Kok nggak jalan-jalan?"

Ica menepuk keras bahu sang supir sampai menoleh kearahnya dengan pandangan malas.

"Coba neng, lihat."

Pandangan sang supir yang mengitari mobilnya membuat Ica melakukan hal yang sama.

"Ada yang naik enggak?"

Sang supir kembali menghadap depan, mengabaikan Ica yang mulai merasa semakin tidak karuan.

"Angkot saya mogok. Neng masuk setelah penumpang lain sudah pada turun buat cari kendaraan lain."

Kalimat datar sang supir saat ini terdengar bagaikan nyanyian kematian di telinga Ica. Bagus, Ica baru saja menambah daftar kelakuan buruknya di daftar hitam Bu Diana.

-----

"Apa kamu mengerti yang saya katakan?"

Ica mengangguk pasrah sebelum suaranya kembali terdengar.

"Saya mengerti, bu."

Ica mengangkat kepala, wanita dihadapan Ica itu mengenakan seragam yang sama dengannya dan tampak lelah dibalik sikap tegas barusan.

Setelah perjuangan mencari kendaraan--Ica menemukan tukang ojek yang kebetulan lewat--itu akhirnya Ica bisa sampai di tempat kerja satu jam lebih dua puluh menit dari waktu yang seharusnya.

"Kamu akan membuat teman-teman yang lain tidak nyaman dan mengganggu pergantian shift yang ada."

Ica memilih diam mendengarkan, sepanjang nasihat kepala Ica menunduk menatap ujung sepatu fantofel warna putihnya.

Suara nafas yang dibuang kasar menarik perhatian Ica hingga kepalanya mendongak menatap tepat ke arah Bu Diana.

"Gaji kamu bulan ini akan dipotong sesuai jam keterlambatan. Lalu besok kamu harus lembur untuk mengganti jam kerja yang hilang. Kamu boleh kembali bekerja."

Setelah mengucapkan terima kasih Ica berniat meninggalkan ruangan, tapi belum mencapai pintu suara Bu Diana kembali terdengar dan menghentikan Ica yang bersiap membuka pintu.

"Ingat ini peringatan terkahir untuk kamu, Medica!"

-----

Medica Soraya...

Name tag seorang gadis yang sibuk melakukan pengukuran tekanan darah pada pasien yang sudah mengantri untuk diperiksa di poliklinik dokter spesialis syaraf.

"Tekanan darah Pak Indra 130/90 mmHg."

Medica--Ica tersenyum sebelum kembali bersuara.

"Tekanan darahnya sudah lebih stabil, pak."

Ica sama sekali tidak melunturkan senyum profesional ketika bicara dan mencatat data-data hasil dari pemeriksaan vital yang baru saja dia lakukan.

"Kalau sekarang yang dirasakan apa, pak?"

Ica memberikan perhatian, melihat pasien di atas kursi roda itu dengan tatapan profesional. Hal yang sudah dia pelajari selama tiga tahun mengenyam pendidikan.

Ya, Ica adalah seorang perawat profesional. Bekerja di sebuah Rumah Sakit swasta besar yang mana banyak diminati orang-orang berprofesi sama atau dalam bidang medis seperti dirinya.

Zenith's Hospital...

Entah keberuntungan dari mana Ica bisa diterima bekerja di tempat ini. Selain ujian dan syarat yang ketat, rumah sakit ini terkenal hanya mempekerjakan lulusan terbaik dan mengingat diri sendiri membuat Ica membuang nafas kalah. Dia bagai ujung rambut bercabang diantara helaian kuat rambut-rambut yang lain.

"Selain tangan kanan yang masih sedikit sulit digerakkan. Saya baik-baik saja."

Ica mendengarkan, memperhatikan semuanya. Pasien didepannya masih menekuk kaku tangan kanannya dan bicaranya masih pelo. Mengangguk sebentar Ica menuliskan keluhan dan apa yang berhasil matanya tangkap dalam berkas sebelum kembali bicara.

"Dokter sedang visite ke IGD, ada pasien yang harus mendapat penangan darurat." Ica dengan sabar meminta pengertian pasien di depannya. "Saya akan memasukkan berkas anda ke dalam dan menghubungi dokter segera agar mengetahui kedatangan anda."

"Terima kasih, suster. Saya akan menunggu."

Dengan bantuan pengasuh, kursi roda pasien didorong sampai ditempat bangku-bangku tunggu berjajar rapi. Ica mengamati semua dalam diam, pasien-pasien yang menanti datangnya seseorang yang menolong mereka dengan pengetahuan yang didapat dari tahun-tahun penuh buku besar dan praktik.

Bagaimana orang-orang membiarkan nyawa mereka ke tangan-tangan manusia lain dengan harapan yang terbaik untuk dapat bertahan menghirup kehidupan tanpa sadar menarik Ica larut dalam pikirannya.

"Opa Irawan belum datang?"

Tepukan di bahu dan bisikan di telinga manarik perhatian Ica kembali ke dunia nyata. Soraya berdiri di belakangnya dengan tangan penuh map rekan medis yang sepertinya baru selesai dari kamar periksanya.

"Sebuah panggilan, tanpa suara...setidaknya aku sudah memberi tahu kalau si tua itu punya pasien yang menunggu."

Ica mendesah pasrah, sudah tiga puluh menit lebih dua detik sejak terakhir kali dia mencari keberadaan dokter tua spesialis syaraf yang bertugas jaga dengannya saat ini.

Dokter Irawan, pria tua yang seusia kakek Ica sudah cukup lama bekerja sebagai spesialis syaraf dan membuat beberapa generasi perawat dan pekerja medis lain kehilangan "syaraf" setiap bekerja dengannya.

Tabiatnya cukup buruk meski memiliki reputasi baik dengan pasien. Jangan kira senyum ramah dan kata-kata penuh kelembutan keluar dari mulut tajamnya itu. Bila ada yang tidak disukai, jangankan rekan kerja, atasan akan dengan mudah dia lawan dengan tegas, bahkan pasien-pun tidak luput dari amukan sampai dia terkenal sebagai orang penting di lingkungan kerjanya. Tidak ada yang dia takutkan, tidak ada yang bisa menghentikan, kecuali istri dan.....penyakitnya.

Sepertinya Tuhan tahu bahwa butuh sesuatu untuk menghentikan sikap "berani" yang dimiliki makhluk ciptaan-Nya ini dan sebuah penyakit menjawab semuanya.

Hampir satu rumah sakit tahu kalau setiap dokter Irawan pergi dalam waktu yang lama, dia akan "menghilang" ke bagian ecochardiogram.

"Mana pasien saya!"

Bentakan keras mengejutkan Ica dan Soraya sampai terlonjak dari duduk. Ica yang pertama sadar langsung bergerak bangkit menyiapkan nomer urut dan mengikuti dokter Irawan berjalan.

"Kalian ini bukannya kerja malah ngerumpi. Saya laporin atasan baru tahu rasa."

Bukannya takut Ica malah bersiap menjawab sambil menata rekam medis pasien di meja tepat dihadapan sang dokter.

"Laporin aja, nanti saya juga bilang dokter lama-lama di echo sampai tiga puluh menit lebih dan membiarkan pasien menunggu."

Kekehan dokter Irawan membuat Ica tersenyum simpul, "pasien pertama bapak Sanusi post rawat inap satu minggu lalu." Karena kondisi antrian pasien yang cukup banyak Ica membiarkan dokter Irawan membaca berkas yang sudah dia siapkan dan bergegas memanggil pasien agar tidak semakin lama menunggu.

-----

"Saya masih ada pasien tidak?"

Suara dokter Irawan baru terdengar setelah sepuluh menit antrian pasien menghilang. Ica yang sibuk memeriksa kelengkapan rekam medis mendongak dan menggeleng menjawab pertanyaan dokter Irawan yang memperhatikannya.

"Tidak, untuk sekarang sudah semua. Tapi dokter harus visite ke rawat inap. Mereka menelepon saya dari tadi."

Ica kembali menekuni rekam medis di hadapan ketika suara dokter Irawan kembali terdengar, kali ini sedikit menggerutu.

"Mereka itu, padahal sudah kubilang aku akan visite setelah jam enam."

Secara impulsif Ica melirik jam di dinding. Hari ini dia mendapat shift siang dari jam dua siang--meski pada praktiknya Ica sudah harus di rumah sakit sejak satu jam sebelum waktu dinas--dan dokter Irawan memiliki jadwal praktik di poliklinik jam empat sore sampai jam jam tujuh malam. Saat ini tepat pukul setengah tujuh malam dan tiga puluh menit lagi dokter tua itu pasti akan pulang.

"Dan sekarang sudah 'setelah jam enam', dok."

Ica mengingatkan. Merapikan tumpukan rekam medis yang tersisa untuk diambil petugas bagian rekam medis, Ica melangkah keluar ruangan sambil kembali bicara.

"Saya akan bilang pada bagian depan untuk menutup pendaftaran jadi dokter bisa segera visite."

Mendengar perkataan Ica mau tak mau dokter Irawan beranjak bangkit dari bangku berputarnya. Ica tanpa sadar mengulum senyum, salah satu kesukaannya dalam bidang ini adalah "mengatur" jadwal dokter selama waktu kerja. Setidaknya membuat Ica sedikit merasa bisa bersikap seenaknya.

"Untung cara kerja kamu bagus, Ca. Kalau tidak sudah kusuruh atasan memindahkan kamu dari poliklinik saya."

Ica terkekeh mendengar gerutuan pak tua Irawan, terkadang Ica merasa sedang bicara dengan kakeknya sendiri ketika menggoda pria tua itu.

"Untung hanya saya yang bisa bertahan mendengar gerutuan dokter. Kalau tidak saya sudah rotasi kemana-kemana, dok."

Setelah menepuk pelan kepala Ica, dokter Irawan bergegas keluar. Pintu yang tadi tertutup kembali terbuka ketika Soraya melangkah masuk.

"Ada apa?"

"Tidak. Aku cuma mau tanya kamu sudah dengar kabar terbaru?"

"Kabar apa?" Kening Ica mengerut dalam. Hari ini dia terlambat jadi tidak bisa mengikuti briefing siang.

"Kamu tahu akan ada dokter sub spesialis jantung baru yang bergabung bersama kita mulai besok."

"Lalu kenapa? Bukankah sudah biasa ada dokter baru?"

Kerutan di dahi Ica semakin dalam. Tidak mengerti dengan tujuan teman sejawatnya ini memberikan informasi yang sudah biasa terjadi di tempat kerja.

"Kali ini yang bikin heboh adalah dokter itu adalah anak dokter Irawan."

"Kamu mau bilang kalau dokter itu masuk karena KKN?"

Sekarang Ica benar-benar tidak tertarik dengan apapun yang akan disampaikan Soraya. Sudah banyak yang tahu untuk kalangan petinggi sangat mudah memasukkan "orang" mereka karena banyaknya "penjilat" di beberapa bagian penting di kalangan direksi.

Tidak seperti Ica dan karyawan biasa yang bekerja keras agar bisa bertahan, apa yang terjadi di lantai teratas gedung rumah sakit ini sangat mudah berubah tergantung suana dan hal itu tidak menarik perhatian Ica sama sekali.

"Kamu ini pikirannya jelek terus." Soraya menggerutu sambil bergerak membantu Ica memasukkan beberapa alat ke dalam lemari penyimpanan. "Kali ini dokter itu masuk kemari karena memang punya kemampuan, dia sudah mendapat citra di mata beberapa pasien dan lagi..."

Suara Soraya mendadak berhenti ketika pintu ruangan diketuk dari luar. Ica menoleh menatap Soraya yang juga tengah menatapnya. Tidak lama pintu ruangan itu terbuka menampilkan kepala dokter Irawan di ambang pintu.

"Bagus, kamu masih disini."

Salah satu alis Ica terangkat mendengar kalimat pertama dokter Irawan. Sebelum bisa mengeluarkan suara, kepala dokter Irawan berganti seluruh tubuh ketika pria tua itu melangkah masuk. Satu sosok dibelakang punggung sang dokter menarik perhatian Ica.

Seorang pria dengan garis wajah tegas, bulu mata lentik dan hidung mancung...oh, jangan lupakan bibir penuh itu, langsung perhatian Ica. Sepertinya bukan hanya Ica karena suara terkesiap di sebelahnya meyakinkan Ica bahwa bukan hanya dirinya yang terpesona.

Pria itu mengikuti dokter Irawan dengan ekspresi tidak peduli. Pengamatan Ica turun ke leher jenjang dan jakun yang tanpa sadar membuat Ica ingin melumat benda itu. Eh, apa yang baru saja dia lakukan?

"Saya ingin mengenalkan putraku. Mulai besok dia akan bekerja disini tolong bantu dia sebaik mungkin." Dokter Irawan bersuara, ada nada bangka ketika mengenalkan putra tertuanya itu kepada para pegawai malam ini. "Ayo Maxilion, kenalkan dirimu."

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Ica merasa seakan asupan udara dalam paru-parunya langsung hilang begitu mata hitam kelam itu menatap tepat ke manik matanya. Ya Tuhan, ini tidak akan mudah!

-----

tbc