Chereads / Cinta Akan Membawamu kembali / Chapter 3 - 2. Mengikuti arah hidup

Chapter 3 - 2. Mengikuti arah hidup

"Ada lalat di pipi kamu tadi." Ucapan terkesan datar dan dingin itu membuat Genta menganga, berkedip. Ibunya memperlihatkan telapak tangannya yang sudah terdapat lalat mati.

"Ayo kita pulang sudah mau sore. Ibu harus mengambil hasil sadapan lagi." Wanita itu tersenyum tipis sambil merangkul pundak putranya yang tingginya sudah hampir menyamainya.

Genta hanya termangu melihat ibunya yang kembali tersenyum padahal amarah tadi sempat terlihat saat dia membentak ibunya. Dengan sedikit malas anak itu duduk di gerobak yang tergandeng disamping motor agak besar milik ibunya. Sambil mengangkat sebelah kakinya.

Sekilas anak tanggung itu melirik pada seorang pria dewasa dengan kemeja rapi yang datang dengan mobil yang termasuk mewah untuk kota kecil itu. Dari balik bola mata hitam jernih menyimpan kesedihan. Dia menatap Kiara, teman sekelasnya yang dengan riang memeluk ayahnya sambil berputar. Luka-luka lebam tak lagi dia rasa.

Sampai motor butut ibunya melaju, Genta tak lepas memandang Kiara dan ayahnya. Gadis itu juga ikut menatapnya dengan raut yang sulit diartikan. Antara kasihan atau kagum.

Genta cepat-cepat menyadarkan dirinya. Lagipula apa pentingnya memperhatikan Kiara yang selalu melihatnya diam saja jika Badrun, sepupu jauhnya juga temannya selalu membullynya. Dengan cepat dia kembali memalingkan wajahnya ke depan. Memandang lurus jalanan asri kota kecil itu yang ramai dengan anak-anak sekolah yang pulang.

Setelah motor butut itu melaju meninggalkan halaman sekolah. Ibunya kembali buka suara. "Nanti kamu habis pulang, ganti baju, langsung makan, belajar." Lagi nada suara ibunya tak pernah berubah selalu tegas. Walau suara motor butut itu nyaring. Tapi suara ibunya yang keras masih terdengar oleh Genta.

Dalam perjalanan, diiringi gaduh suara motor, debu, dan asap kendaraan menjadi kawan dekat mereka. Melihat wajah kusam dan dingin ibunya yang sedang menyetir. Anak itu tetap memasang raut cemberut. "Aku sudah tahu. Sudah hapal perintah itu. Tidak usah terlalu mengaturku. Memang aku masih anak kecil." Ucap Genta tak kalah nyaring.

Anak itu membiarkan saja rambut hitan gondrongnya ditiup angin. Wanita itu tak peduli dengan bentakan putranya. Tetap konsen menyetir motor dengan serius.

Tak berapa lama mereka sudah sampai di halaman rumah sederhana itu yang jauh dari kata mewah walau bukan geribik. Dengan cepat anak itu melompat dari gerobak samping motornya.

Wanita itu membuka helm hitam besarnya mendesah pasrah pada anak satu-satunya itu. Lalu turun dari motor segera menangkap pergelangan tangan Genta. Merapikan rambut tebal Genta dengan lembut dengan tatapan sayang. "Rambut kamu berantakan, nak. Itu lihat seragam kamu kotor kan? Udah ibu bilang jangan duduk di gerobak. Masih ngeyel. Nanti ibu obatin lukanya."

Genta langsung menghindar rasanya risih dengan perlakuan ibunya. "Lebih nyaman di gerobak, bisa santai, selonjor kaki, atau tidur sekalian."

Setelah berucap judes. Anak lelaki itu pergi meninggalkan mereka masuk ke dalam rumah. Wanita itu menengadah ke langit mencoba meredam emosinya menghadapi sikap anaknya yang mulai pintar. Justru semakin besar dan bertambah pintar membuat Genta juga mengerti tentang hidupnya. Perbedaan dirinya dan teman-temannya membuat rasa kecemburuan sosial perlahan bangkit dalam dirinya.

Genta justru malah tiduran di kursi panjang ruang tamu yang jauh dari kata empuk. Menjadikan kedua lengannya yang terlipat sebagai bantal. Dalam benaknya, seiring waktu berjalan. Dia selalu menyalahkan ibunya, hidupnya, juga Badrun dan ganknya yang selalu menghina Genta.

Di luar, wanita itu langsung melaju lagi pergi dengan motor bututnya. Biarlah, dia tak ingin mengganggu putranya. Nanti jika waktunya tenang dia akan kembali memberi pengertian dengan tegas. Sekarang dia harus bekerja juga menemui seseorang untuk urusan penting.

Dalam perjalanan melewati perkebunan teh yang asri. Masa lalu itu kembali menyeruak. Perlahan mengubah wajah dewasa, kusam, dan dingin itu menjadi cantik, rambut panjang bergelombang itu dulu masih ada. Sebelum rambut yang dia potong pendek sekarang ini.

Masa yang lalu.....

Tiga bulan kemudian setelah masa berkabung. Sebuah pesta resepsi pernikahan mewah diadakan di hotel berbintang. Wajah bahagia terpancar dari pasangan muda itu. Tamu yang datang lumayan banyak. Dari teman-teman kuliah hingga rekan bisnis yang dikenal hadir saling bercanda, mengobrol dan menatap kagum pada Dominica dan Sofyan.

"Hmm... Sayang, aku ke toilet dulu ya. Kamu kalau lapar bisa makan atau apapun. Oke." Ucap Sofyan yang hanya melirik wanita cantik itu sebentar lalu kembali konsen pada ponselnya.

Dominica mendekati suaminya ingin merangkul sebentar. "Tapi jangan lama ya... Nanti ada sesi foto lagi. Terus..." Ucapan wanita itu terputus dan usahanya untuk merangkul pria itu tak tersampai. Senyumnya memudar melihat Sofyan terburu-buru, gelisah.

Beranjak pergi meninggalkan Dominic di pelaminan. Bersamaan itu bahu Sofyan menyenggol buket bunga di sisi kursi pelaminan. Melihat bunga cantik yang jatuh itu dia sedikit sedih.

Sambil menunggu Sofyan kembali, Ica bergabung dengan para tamu. Walau kesal karena Intan juga hanya datang di pemberkatan pernikahannya saja. Memang apa urusan yang lebih penting daripada sahabat sendiri.

Wanita cantik itu juga ikut bergabung larut dalam obrolan bersama tamu. Ica tampak cantik dengan rambut digelung modern, gaun silver manik panjang dengan tali spagheti di lehernya. Sedikit menampilkan punggung telanjangnya yang mulus. Make up flawless semakin menambah kecantikannya.

Sambil sesekali melihat ke berbagai arah menunggu Sofyan yang tak juga kembali. Rasa cemas, gelisah, takut menjalar dalam hati. "Ihh... Sofyan, kamu ke toilet tapi lama banget."

.................

Di sebuah kamar sederhana, seorang gadis cantik dengan pakaian tidur berbaring lelah. Suhu tubuhnya tampak demam. Dan Sofyan dengan telaten menyuapi bubur juga memberi obat gadis yang disayanginya itu. "Maaf... Kalau baru datang. Tadi kamu tahu sendirikan aku lagi apa?"

Gadis berselimut tebal dan berwajah pucat itu tersenyum kecut. "Menyaksikan kamu dan dia mengikat janji hidup selamanya. Aku harus kuat menahan rasa sakitnya?" lirih suaranya dengan tatapan sendu.

Sofyan yang duduk di sisi kasur. Mengusap wajahnya kasar. "Aku peduli dan sayang hanya sebatas kakak adik, sahabat. Aku juga lebih tua dua tahun dari kalian. Sudah jangan dipikirkan lagi. Sekarang lebih baik kamu istirahat." Pria itu mencoba tegar sambil membenarkan selimut dan mengecup keningnya dalam.

"Kenapa kamu gak jujur tentang kita dari dulu." Balas gadis itu agak sinis.

"Ica itu sensitif, dia itu punya asma. Kamu mau dia kenapa-kenapa? Lagipula dia juga udah banyak baik ke kita." Ucap Sofyan menatap lembut gadis itu. "Kalau waktunya tepat dan aku bisa mengubah sifat negatifnya itu menjadi lebih dewasa maka aku akan jujur."

Suara ponsel kembali berdering nyaring. Beberapa kali diabaikan. Tapi berdering lagi. Pria itu mengetatkan rahangnya. Lalu mematikan ponselnya tak peduli itu dari gadis menyebalkan bernama Dominica Raynad. Gadis yang terpaksa menjadi istrinya.

Mereka berdua tersenyum lalu kembali berciuman di malam ini. Hanya bulan dan Tuhan yang menjadi saksi mereka.

..............

Ica harus merasakan rasa sesak. Ketika pria itu mematikan ponselnya. Rasanya ingin menangis.

"Maaf, Non Ica. Kira-kira berapa lama lagi suaminya datang. Sesi foto sudah lewat sekarang hanya sesi lempar bunga." ucap seorang WO berhati-hati di atas pelaminan bernuansa ungu dan kelap kelip lampu itu. Dia takut menyinggung gadis yang sepertinya sedang tak enak hati.

Setelah menghentakan kaki Ica menatap tajam wanita berblouse itu. "Ini buat kamu aja. Terserah mau diapain. Lagian udah malam  pengantin bebas ke mana saja!"

Tak peduli pandangan beberapa tamu yang tersisa atau WO yang menatapnya heran sekaligus iba. Dengan gaun panjang yang dia genggam sendiri dan sepatu high heels yang dia lempar pegang juga. Ica berlari meninggalkan pelaminan. Tangis pecah terdengar ketika gadis itu sudah berlari menjauh masuk ke koridor kamar hotel VIP.

.......................

Saat ini....

Tok...tok... Tok...

Dengan tegas wanita itu mengetuk pintu rumah yang termasuk bagus di kota kecil ini. Tak berapa lama seorang wanita dewasa berdaster, dengan gaya pongah sambil menggigit tusuk gigi muncul membuka pintunya. Dia tersenyum mengejek.

"Eehh... Domi...."

"Aku Jian... Jangan berani kamu sebut nama itu lagi disini. Aku sudah bayar nyicil hutang pemalsuan surat palsu sama kamu." Dengan geram wanita itu mencengkram leher wanita itu.

"Cihh... Udah miskin masih belagu! Loe aja gak inget masih punya saudara. Walau jauh. Sekarang loe dapet hukuman jatuh miskin karena keluarga loe yang sombong itu. Masih mending sekarang gue bantu ngurus surat palsu!" Wanita bernama netta itu tampak marah

"Tapi aku bayar kan walau nyicil?!" Ucap tajam Dominica alias Jian.

"Oke... Mana uangnya?"

Dominic menyerahkan kasar uang itu padanya. Lalu melirik sekilas pada Badrun, anak Netta bertumbuh tambun yang sedang makan dengan lahap. Dia tersenyum sinis. "Pantes.... Anak kamu subur. Kerjaaan kamu memang menjanjikan."

Netta mengedikkan bahu sombong. "Gue cuma mengikuti arah hidup. Kalau jalannya mulus dan bahagia, walau terjal, buruk, dan rusak. Gue akan ikuti itu."

"Kalau aku lebih baik melewati jalan rusak, buruk dan terjal asal selamat. Ya begitulah... Aku juga harus menghadapi topan kejam demi Genta." Balas Dominic tak kalah sengit.

...................

Di sebuah ruang kantor luas dan mewah seorang pria langsung membuka tirai merah di ruangan khusus setelah menyelesaikan semua pekerjaannya. Ada lukisan indah dengan hasil karya pelukis terkenal yang bisa menyerupai wajah wanita yang selalu dia rindukan. Lukisan dengan wanita bahu telanjang lalu kelopak bunga di sekitarnya dengan senyum sensual.

Pria itu tersenyum, mendekat lalu menempelkan wajahnya di bahu telanjang lukisan Dominica. "Karma yang lebih menyakitkan adalah. Saat kamu terlambat menyadari  cinta pada seseorang yang sudah hilang bak ditelan bumi." Ucapnya lirih

Bersambung.....